6.8.16

Konspirasi Tai Kucing #12: Makhluk Bingung



Bandung, Aug 2016
Memutuskan untuk menyudahi suatu hal karena ternyata melepaskan itu diperlukan demi kenyamanan diri sendiri. Mungkin awalnya akan sangat sulit tapi dengan bersiteguh ternyata bisa. Ternyata memang kebiasaan itu dibentuk. Ternyata segalanya itu dilakukan dengan pola. Dan ketika kamu stop lakukan, kamu akan membuat pola baru. Lalu hidup bergulir seperti biasanya. Seolah tidak ada apa-apa dan semuanya tergantikan lagi.

30.7.16

Tulisan Tentang Perempuan Sekali Lagi


diambil dari pameran foto MRT Station Taipei


Akan menuliskan tentang perempuan dan akan sedemikian menyebalkannya karena banyak kealpaan di sana sini. Namun Dallas Clayton pernah menulis: Don't let the details be your undoing. Akhirnya memutuskan untuk menuliskannya karena merasa perlu. Sekali lagi.

Berita yang berkoar di media seminggu ini cukup menyita perhatian saya di tengah sibuknya pekerjaan dan urusan printilan ini itu. Atau mungkin mendengarkan berita jadi semacam hiburan sok sokkan ngerti padahal hanya berpartisipasi telinga dan mata namun absen otak. Berita dalam negeri yang menyita perhatian saya adalah reshuffle kabinet kerja dan diikuti kopi Mirna yang tidak kunjung selesai itu. 

Masih segar diingatan akan berita tentang Ibu Sri Mulyani beberapa tahun lalu dan kini beliau kembali menjadi Menteri Keuangan. Saat itu saya sedang di kantor dan mendapatkan pesan dari teman baik saya, Thesa. Saya membaca pesan viral berbahasa Inggris ini dengan isi bahwa beliau telah bersedia untuk menjadi menteri keuangan. Oh saya terhenti sebentar dan merinding sekali di tengah kesibukan kantor yang bising itu. Sedikit terharu karena seseorang yang sedemikian berdedikasinya pada negaranya meski pernah dikecewakan dulu. Namun ketika tanah airnya memanggil kembali dan membutuhkan bantuannya, beliau berani berkata: Ya, saya sanggup. 

Berapa banyak orang yang berani pulang ke tanah air untuk Indonesia? Tanpa seegois itu akan kenyamanannya.  namanya yang telah besar di dunia, dan kembali dengan dengan komitmen untuk membangun tanah airnya sendiri? Saya sedikit sentimentil  dengan orang-orang yang kembali ke tanah air for good. Betapa ada perasaan tidak yakin, tidak tahu hari depan, ketakutan sedikit akan tanah air, perlunya beradaptasi lagi, meninggalkan kenyamanan induk semang negara sebelumnya, dst, dll, dsb. Namun diluar perasaan itu semua ada rindu tanah air.

Beberapa hari lalu saya sempat kesal sendiri karena membaca artikel menjelang hari kemerdekaan. Pendek kata artikel ini adalah artikel dengan topik tahunan yang bikin tepok jidat berkali-kali. Isinya adalah di umur Indonesia yang sudah sekian tua merdekanya namun baginya belum merdeka sama sekali karena masih banyak kemiskinan, ekonomi yang tidak stabil, lalalala. Yak, kalian pasti sudah bisa membayangkan isi artikel ini yang membosankan ini, tapi saya kok baca juga. Saya jadi ngomel-ngomel sendiri karena sedemikian miskin research hingga penulis lupa mencari definisi merdeka itu sendiri dan tentu tidak bisa disandingkan dengan Amerika dan Eropa. Dan saat saya baca artikel ini eh ternyata yang nulis saya sendiri saat masih kuliah semester 2 (hehehe). Kan saya jadi tambah sebel dan semakin tepok jidat berkali-kali ya kan? 

Dengan membandingkan tulisan saya ribuan waktu silam itu saya jadi sedikit tersentil jangan-jangan pikiran itulah yang dimiliki sebagian besar orang Indonesia ya? Semoga tidak. Semoga kita bukan orang yang mudah menyimpulkan tanpa research, tanpa kembali ke akar. Semoga jika tanah air membutuhkan kita berani menjawab: Ya, saya sanggup. 

Kemudian saya perhatikan kini perempuan cukup menjadi media darling entah karena kekuatannya, entah karena tubuhnya, entah karena karyanya dan banyak hal. Namun banyak hal juga yang timpang seperti misalnya saat ada celebrity sex tape yang mencuat di media terutama di Indonesia, si perempuan ini pamornya menurun dan si laki-laki malah jadi bintang iklan shampoo. Lalu saya jadi teringat akan pandangan Aristoteles tentang perempuan. Setelah membaca lebih jauh, saya jadi ilfil pada beliau. Beliau berpandangan bahwa perempuan adalah "pria yang belum lengkap". Dalam hal reproduksi, perempuan bersikap pasif dan reseptif, sementara pria aktif dan produktif. Beliau percaya bahwa anak hanya mewarisi sifat bawaan laki-laki. Aristoteles menyimpulkan bahwa perempuan adalah ladang yang siap menerima dan ditanam benih, dalam bahasanya  pria menyediakan "bentuk" sedangkan perempuan menyediakan "substansi". Dan gawatnya pandangan Aristoteles ini justru yang berpengaruh dan diadaptasi hingga kini. 

Kira-kira ada berapa banyak laki-laki di dunia ini yang sedemikian yakin akan dirinya sendiri hingga mereka tidak takut akan gerakkan feminism atau riot grrrl? Lalu mereka mendukung karena melihat ada ketimpangan nilai di sana sini? Atau contoh kecilnya ada berapa banyak laki-laki yang bersedia melakukan pekerjaan domestik dan tidak melulu harus merasa itu adalah pekerjaan perempuan?  Menurut Simone de Beauvoir, upaya penyetaraan perempuan dan laki-laki tidak akan berhasil apabila tidak ada dukungan dari masyarakat. Karena menurutnya manusia tidak dilahirkan sebagai perempuan, namun menjadi perempuan. Mendefinisikan perempuan sebagai manusia utuh bukan hanya karena kepemilikan ovarium dan uterus saja. Dan sudah seharusnya perempuan sendiri tidak bergantung dan mandiri karena eksistensinya sebagai manusia utuh yang memiliki kebebasan. 

Pentingnya mengkaji ulang bahwa tubuh adalah bagian dari manusia namun manusia tidak hanya sekedar tubuh saja, begitu pun perempuan dan laki-laki. Sempat melihat perdebatan akan peranan perempuan yang dikatakan bahwa kesetaraan gender adalah ketika perempuan bisa bekerja di luar tidak melakukan pekerjaan domestik saja dan menyalahkan perempuan yang misalnya ingin menjadi ibu rumah tangga. Menurut saya bukan kesetaraan gender yang demikian, melainkan kemampuan perempuan untuk memilih hidupnya sendiri tanpa harus ada paksaan dari pihak luar. Entah mau menjadi wanita karir, pilot, tentara, atau ibu rumah tangga, itu merupakan pilihan perempuan sebebas-bebasnya sebagai individu. 

Perlunya menanggalkan berbagai macam label untuk perempuan karena sebenarnya definisi itu hanya melimitkan perempuan sendiri. Mengapa tidak perempuan dibiarkan menjadi perempuan? Tanpa embel apa-apa terutama lepas dari tubuh itu sendiri. Bahwa perempuan cantik, dandan apik, sexy, make up genah bukan berarti mereka hanya mengurus dandanan saja dan bukan berarti mereka tidak punya otak. Dan begitu pula sebaliknya. 

Perempuan berhak memilih hidupnya. Ingin atau tidak menikah, ingin atau tidak punya anak, ingin atau tidak berpasangan, ingin atau tidak menjadi ibu rumah tangga, ingin atau tidak menjadi wanita karir, ingin atau tidak berdandan, ingin atau tidak menjadi seorang ibu, ingin atau tidak menjadi istri, ingin atau tidak bekerja domestik, ingin atau tidak berhubungan seks, ingin atau tidak memeluk agamanya, ingin atau tidak memilih ideologinya. 

Dan mengutip Simone de Beauvoir, "Bahwa hal pertama yang harus aku katakan adalah: Aku seorang perempuan."



23.7.16

Daisy


Saya merasa beruntung sekali karena dikelilingi oleh orang-orang yang mengetahui passion dan mimpinya. Mungkin memang belum gamblang bagaimana untuk bisa meraihnya, namun merekalah orang-orang gelisah yang memenuhi aplikasi komunikasi saya setiap hari. Merekalah orang-orang terkasih yang ingin mewujudkan impian mereka dan mengikuti kata hati. Saya sangat bersyukur sekali. Dengan begitu maka saya memiliki reminder hidup yang akan mengingatkan saya untuk terus berada di track saya. Tidak mencong sana sini. 

Orang-orang terdekat dan juga saya sendiri nampaknya seperti orang bingung yang mencari-cari celah untuk bisa mewujudkan mimpi masing-masing. Dan lalu gemetar sendiri dengan mimpinya. Terkadang sesekali rembeslah air matanya karena ada rasa ketidakberdayaan untuk sampai ke sana. Segar betul di ingatan, Thesa sahabat saya pernah mengutip opini pacarnya begini: Kamu berada di jalan yang benar: meraih mimpimu, ketika begitu banyak halangan dan masalah menghadang, namun tetap kamu lakukan dengan sukacita. Iya.

Akan banyak hambatan dan halangan namun kamu akan berkata pada diri sendiri: Tenang, yang ini pasti berhasil, yang ini pasti bisa. Dan kamu akan memberikan diri sendiri satu kesempatan lagi dan tidak putus-putus berdoa. Saya tidak pernah mempunyai keinginan untuk seserius itu dalam menulis. Sedari dulu saya merasa menulis adalah hobi asyik yang saya tekuni lama. Namun pandangan berubah dan pengalaman bertambah, saya menjadikan hobi ini menjadi alter ego saya. Saya sibuk bekerja di siang hari dan saya sibuk menulis dan membaca di malam hari. Itu yang membuat saya hidup. 

Kembali lagi, menjalaninya bukan tanpa hambatan dan tantangan. Dari jam tubuh saya yang membutuhkan tidur tujuh-delapan jam hingga terkadang jam sembilan malam saya sudah seperti mumi. Memandangi layar laptop atau menekuni buku namun sumpah setengah mati saya ngantuk. Akhirnya lebih memilih waktu lain entah di jalan menuju kantor atau di pagi hari. Demikian juga dengan membaca, apabila tidak diselipkan, tidak akan ada waktu. Jadi membawa buku bacaan ke mana-mana dan duduk membaca seperti kutu buku adalah nama tengah saya. Itu tidak bisa ditawar lagi. 

Tiba-tiba akibat saya super kepo dan kejemawaan diri, sempat kemarin saya sedikit google diri saya sendiri dan menemukan ada karya saya di blog yang dicontek orang entah satu paragraf entah seluruh tulisan. Ini bukan yang pertama kalinya memang karena saya pernah merasakan tulisan liputan saya naik cetak namun yang ditulis bukan atas nama saya. Di tulisan itu saya seolah menjadi narasumber. Semua kata 'saya' diganti menjadi nama saya, seolah beliau yang menuliskan. Lalu beliau memberikan honor naik cetak pada saya. Dan beliau adalah wartawan suatu majalah besar, guru menulis saya. Sempat saya tidak mau menulis lama, tidak ingin menjadi penulis, tidak ingin menerbitkan karya sama sekali dan benar-benar berhenti menulis. Namun, suatu hari yang biasa tahun 2009 saya dikenalkan dunia blog dan saya kembali menulis. Inilah blog gadis payung kuning saya, yang dibuat dengan drama dan tangis haha. Mungkin kini saya ingin berterima kasih kepada beliau karena berkat beliau saya bisa memurnikan ketertarikan saya akan menulis. Kalau ini bukan sekedar menulis namun menelanjangi diri sendiri, membagikan perasaan, pengalaman, pemikiran pada pembaca tulisan.

Menemukan tulisan yang dicontek orang lain membuat saya berpikir, benar tidak ya menulis di blog ini sebagai medium menulis saya? Karena saya sebal sekali dicontek sana sini. Seolah mereka tidak mempunyai pabrik ide dalam otaknya. Seminggu ini saya berpikir banyak hal, hingga lelah sendiri dan tergerak untuk bertanya penulis lain yang memiliki jam terbang lebih tinggi. Namun saya kelewat malu dan tidak enak hati. Saya tidak punya kenalan baik penulis untuk dimintai pendapat dan diskusi. Sedih.

Hal yang saya pelajari beberapa hari ini adalah pentingnya menyelami segala hal hingga tuntas. Tidak bisa kita menemukan sesuatu tanpa terjun lebih dalam mencari ke akarnya yang terujung. Mencari permulaan untuk bisa mengenali hasil. Bergerak masuk ke dalam dan mengenali semua sisi. Menurut saya ketika kita merasa penasaran akan satu hal upaya mengenal tidak hanya melulu mencari hal tersebut. Kita juga perlu melihat dari seberang pandang dan arah sebaliknya. Jadi tidak hanya satu sisi saja yang menjadi perhatian namun sisi sebaliknya pun bisa kita lihat dengan objektif.

Seminggu ini saya sedang merenung kalau manusia adalah pencipta. Dia pasti akan menciptakan hal-hal baru dan karya baru. Saya kembali meluncur ke akar untuk apa saya menulis? Saya ingin berbagi pada orang lain. Lalu saya tersadar bukankah ini yang sudah saya lakukan, berbagi? Meski misalnya tulisan dicontek. Bukankah itu sebuh resiko ketika karya diberikan ke publik maka dia akan menjadi milik publik. Mungkin ini salah satu wajah dari berbagi. Semoga saja tulisan saya tetap berjiwa yang sama sebagaimana saya hembuskan di setiap katanya, semoga saja tulisan itu berguna bagi orang lain. Semoga saja tulisan saya tumbuh subur meski di ladang yang berbeda. 

Beberapa waktu lalu saya melihat sebuah foto bunga di instagram milik teman SMA saya yang lembut, Vina namanya. Gambarnya adalah bunga daisy. Menurutnya bunga daisy adalah bunga yang tumbuh di tengah-tengah rumput dan sebagai penanda musim semi akan tiba. Saya suka bunga daisy dan arti dibaliknya. Mungkin dia tergolong bunga liar yang tumbuh dengan cerianya ditengah-tengah rumput hijau. Berkarya dalam dirinya semaksimal mungkin dengan segala keapaan dia yang bermakna. 

Bukankah kita juga adalah bunga-bunga liar dengan keinginan untuk bertumbuh? Yang mungkin mati diinjak atau dipetik, namun keesokan harinya akan keluar tunas muda sebagai harapan hidup? Bunga liar yang tidak takut tumbuh meski sekelilingnya adalah rerumputan,  meski banyak tangan jahil yang gemas, ingin petik lalu akhirnya dibuang. Namun dia tetap tumbuh secantik-cantiknya, memberikan semua yang dia punya, memaknai hidupnya dengan seluruh daya menjadi: bunga liar.

Saya dan kamu pasti memiliki mimpi dan passion masing-masing. Memiliki hal-hal yang disukai dan ingin digeluti. Lakukanlah. Apapun yang membuatmu sedih dan putus asa akan kamu lupa di beberapa tahun mendatang. Percayalah. Kamu hanya ingat pernah melewatinya dan mengingat rasanya, namun hatimu sudah bertumbuh lebih kuat lagi. Keputusasaan yang dirasakan di setiap jalannya atau mungkin orang-orang sekitar yang tidak mendukung pasti akan selalu ada. Itu tidak bisa dicegah. Semua kembali lagi pada diri sendiri yang menentukan. Kamu tidak akan pernah terlepas dari usaha dan perjuangan apapun itu.

Mimpi dan berkarya berjalan berdampingan. Membuat sesuatu artinya kamu telah melewati proses yang banyak untuk sampai pada penemuan. Salah satunya adalah pengalaman pribadi dan pemahamanmu akan suatu hal. Pengalaman yang mendewasakan. Semua bisa dicuri, namun segala kedalaman dan pemahaman tidak. Karya yang dibuat adalah kekasih hati, mungkin bukan yang terbagus dan terhebat. Tapi kamu sudah mengirim pesan kasih untuk hati lainnya yang membutuhkan. Karena kita semua terhubung.


pic: Vina. IG: jsvnw



16.7.16

Yang Terdekat dan Diakrabi

Dalam draft ketikan yang tak kunjung selesai ditulis, lalu cangkir kopi kedua yang telah diseduh dan dingin diam-diam tanpa izin. Berubah masam dengan sisa ampas di sekeliling cangkirnya. Selapis lipstik merah muda kemerahan mengecupi bibir cangkir yang disesapi perlahan. Terlihat tumpukkan buku di kiri kanan tergeletak setelah beberapa kali dibaca dan diusap-usap dengan belaian yang berbeda. Sesekali menciumi baunya, membenamkan hidung ke dalam dan menghirupnya dalam satu hisap nafas. Setiap orang memiliki fetish-nya masing-masing dan bagi perempuan ini fetish-nya adalah mencium buku, terutama buku yang baru dibeli.

Tujuh ratus tiga puluh hari telah dilewati sedari keterpisahan dengan lelaki sudah lampau. Sudah lampau. Sudah berdebu di ingatan. Lalu sangat mengerti bahwa perempuan suatu hari akan mencintai seorang laki-laki harum laut yang sebebas-bebasnya demi apa pun dan tidak akan bisa dimiliki. Cocoklah untuk si perempuan yang terus berlari dan tertarik akan bahaya-bahaya yang merangsang otak korteksnya. Sebegitu membutuhkan aliran adrenalin yang berdesir di sum-sum tulang belakang lalu kegelian sampai batang otak. Si perempuan bukan definisi cantik milik society dan bukan kebutuhannya untuk menjadi pemanis atau pelengkap kecantikan yang bergelayut manja di lengan prianya. Rasanya dia tidak seperti itu, jikalau menggambarkannya si perempuan adalah humor sarkasme gelap di labirin otak. Dia tidak akan menyuguhkan romantisme legit kemanisan karena dia khawatir lelakinya akan sakit gula karenanya.

Si perempuan dan lelakinya yang harum laut itu sedang duduk bersamping-sampingan di kereta menuju kota yang memiliki banyak pantai dan mereka akan menziarahinya satu-persatu. Ngobrol santai tidak penting dan lalu memandangi wajahnya lekat-lekat dengan kumis tipis yang alurnya sudah dihafal mati si perempuan lewat ujung jari dan bibirnya, kemudian sesekali bergidik kegelian setiap kali bertukar kecupan yang harus dicukupkan.

Pantai yang ditunggu-tunggu hadir di depan hidung dan langit sore sudah turun mengisi ruang-ruang dekap mereka berdua. Duduk- duduk dengan pantat lembab karena duduk di pasir pantai dan membenamkan kaki mereka di pasir yang basah dan dingin namun rasa nyaman tetap hadir lugu.

“Saya di kehidupan selanjutnya rasanya akan menjadi semut hitam pekerja, yang bekerja sedemikian rajinnya untuk koloni dan Ratu. Terkadang saya merasa sedikit ada perasaan bersalah jikalau tidak sibuk, tidak hectic, tidak produktif atau hanya santai-santai saja. Rasanya tubuh saya ketagihan untuk kerja. Bagaimana ya?”tanya si perempuan sambil menggulung rambutnya menjadi konde kasual.

“Memangnya kamu menghindari diri dari apa? Ada yang kamu takutkan?”tanya laki-laki itu.

“Ketakutan? Oh tentu banyak! Rasanya dia mengintai dan selalu ada di samping saya seperti bayangan lekat-lekat lalu akan merasuki dan menyatu dengan tubuh saya, kamu tahu kan rasanya?”ujar si perempuan sambil menatap mata laki-laki itu. Tidak. Rasanya laki-laki ini tidak pernah takut apapun.

“ Oh tentu, saya tahu, rasa seperti takut menyerah pada ketakutan itu sendiri. Seperti tersedot masuk ke ruang tertutup sempit tanpa jendela dan pintu lalu waktu rasanya tidak bisa diukur. Ya kan?  Jadi kamu sebenarnya menghindari apa?”

“Bukan menghindari hanya saja rasanya, diri sendiri adalah seorang sahabat sekaligus musuh yang erat di kulit saya. Saya tidak suka membiarkan diri saya sekosong itu tanpa melakukan apa-apa rasanya saya sudah terbentuk demikian. Seperti work ethic saya mengharuskan fokus, detail, dan kerja keras. Saya terdengar seperti perfectionist bitch ya?”

“Iya sih haha. Tapi jikalau kamu nyaman demikian kenapa tidak?”tanya laki-laki itu diplomatis.

“Atau jangan-jangan saya bukan seseorang yang mencari aman. Saya kadang sebal dengan diri saya sendiri yang selalu mencari tantangan, rasa penasaran dan rasa takut itu sendiri. Saya mencari rasa takut dan ingin dekat-dekat dengannya. Kamu percaya ?”

“Ya, bisa saya lihat dari matamu. Kamu bukan pemain di garis aman mungkin kau ingin menjadi tuan atas rasa takutmu dan menjadi manusia bebas sebebas-bebasnya. Tidak tanpa rasa takut, namun melakukannya dengan rasa takut dan memerdekakannya. Dengan cara itu kamu merasa hidup” kata laki-laki itu lagi.

“Eh kamu suka serial BBC Sherlock Holmes gak, yang episode istrinya John Watson bohong habis-habisan ke dia? Lalu menariknya ya ada satu dialog Sherlock ke John begini : John, you are addicted to a certain lifestyle. You’re abnormally attracted to dangerous situations and people…so is it truly such a surprise that the woman you’ve fallen in love with conforms to that pattern. Gila, saat mendengarnya rasanya saya mau jedotin kepala sambil teriak: Yo mamen itu gue banget!”ujar si perempuan sambil tertawa.

“Ya, mungkin ada benarnya kamu demikian” kata laki-laki itu lagi sambil ikut tertawa.

***

Gurat wajah dan tubuh laki-laki yang dikenal perempuan itu setiap inchinya; gelung rambutnya yang terurai sesekali; nafasnya yang harum cengkeh dan tembakau, punggungnya yang melekuk ke dalam dan pinggangnya tempat si perempuan menyelipkan tangannya sesekali.  Mereka berdua selalu berlekatan tak terpisahkan dan saling mengisi. Bertukar pagut dan berpegangan tangan. Berbagi cerita dan senyum. Laki-laki ini selalu hadir di mana pun perempuan itu berada tanpa kecuali. Kehadirannya adalah puncak tersepi di selat mata si perempuan. Kenyamanan yang dibagikan sebagai bentuk pertahanan diri, semata-mata hanya untuk menjadi waras. Memelihara apapun itu yang menghidupi hangat tubuhnya dan kerling matanya.

Di satu senja itu, di ceruk sebuah pantai terujung, si laki-laki meretas kancing kemeja perempuan satu persatu, mengeja jemari di kedua payudaranya, menggenggam jantungnya dan mendikte ritme di setiap degupnya. Bersisi-sisian dan menyatu. Dan laki-laki itu bernama : Fear.



2.7.16

Nenek Napti


pic: Ilham Sidartha
Liburan ini Nenek sempat menginap tiga hari di rumah karena saya dan Aga tidak pulang kampung ke Ciamis lebaran ini. Ada beberapa rutinitas yang tidak bisa diganggu gugat atau mungkin kami berdua yang seegois itu memilih tidak menyempatkan waktu. Di sepanjang ingatan saya Ciamis adalah kampung halaman yang memiliki segala hal yang didambakan untuk menjadi kampung halaman. Sesungguhnya Ciamis adalah kampung halaman Ibu saya, si gadis Sunda asli dari gunung. Letaknya di pegunungan, jauh dari bising kota, jalan darat yang berkelok dan curam, sawah dan hutan di sisi kanan kiri, serta wangi masam aci yang akan khas tercium apabila mendekati pasar Panawangan. Lalu pasti kami sekeluarga akan mampir makan bakso di pasar Panawangan karena sudah mampus setengah mati dikocok-kocok di jalan. Dan pasti Nenek menunggu di teras rumahnya sambil minum teh. 

Nenek adalah seorang petani. Memiliki rumah luas dengan pekarangan sekebon sendiri seperti orang desa pada umumnya. Dia memiliki sawah, kebun, ladang, kolam ikan, kambing dan beberapa ekor anjing. Lalu wangi rumah Nenek sangat khas dengan udara sejuk dan dingin khas pegunungan. Apabila berjalan ke jalan raya sisi kanan kiri sekitar rumahnya adalah pepohonan tinggi yang menurut saya adalah hutan karena cukup lebat dan gelap. Menariknya ketika pagi hari, saat berbicara nafas kita akan ngepul asap seperti di film-film Korea itu. Was wes wos gitu.

Sosok Nenek bagi saya adalah sosok perempuan yang kuat dan pekerja keras. Dia adalah pelindung keluarga, motivator yang handal dan mencintai Yesus sepenuh hati. Sepertinya Nenek baru memeluk agama Katolik saat orang Indonesia harus memilih agama masing-masing karena Kepercayaan Sunda tidak diperbolehkan dipeluk lagi pada masa itu. Nenek memilih Katolik dan beberapa kakak dan adiknya memilih Muslim. Menariknya Nenek sangat suka menggunakan jilbab saat berpergian atau acara-acara besar, takut masuk angin katanya. Saya rasa Ibu sudah belajar pluralisme dari Nenek sedari usia dini. 

Hidup di desa sebagai petani dengan segala kesederhanaannya membuat pencarian uang untuk sekolah anak-anaknya jauh lebih sulit. Saat itu sawah dan ladang belum dimiliki sebanyak sekarang hingga akhirnya tenaga menjadi alat tukar yang utama. Biasanya akan menawarkan tenaga saat mencangkul sawah, membantu panen raya dan menyemai bibit. Apabila sedang tidak ada tawaran kerja, maka Nenek akan mencari daun sereh dan menjualnya berkeliling setiap hari. Dia perempuan kuat hingga saya dan Ibu adalah fans setia Nenek.

Kini Nenek sudah berumur 78 tahun, tubuhnya kian kurus, jalannya sedikit diseret dan perlahan, lututnya sering sakit tua dan rematik sering kambuh. Kini Nenek sudah pelupa dan sering melamun. Sering bercerita berulang-ulang dan bertanya berulang-ulang karena lupa. Kadang menangis karena ingat masa lalu dan mengira itu nyata. Sudah seperti anak kecil yang keinginannya harus dipenuhi. Saya sedikit terkejut karena pada bulan Desember saya pulang, Nenek belum seperti itu. Sudah berkali-kali diajak tinggal di rumah anak-anaknya namun tidak mau. Dan sangat bisa dimengerti. Rumahnya sudah menjadi bagian dari nafasnya. Pekarangan rumahnya yang luas sudah menjadi bagian dari hidupnya. Pekerjaan sehari-harinya, sawahnya, ladangnya, kambingnya dan anjingnya sudah menjadi bagian dari Nenek dan tidak bisa dipisahkan. Hidupnya sudah terabadikan di sana dan tidak bisa dicabut begitu saja hanya karena Nenek sudah tua dan anak-anaknya ingin merawat dia.

Betapa saya merenungi bahwa ternyata kita masih tergagap-gagap dengan fase 'menjadi tua'. Padahal itu adalah hal yang alamiah dan kita akan melewatinya suatu hari nanti apabila diberikan kesempatan umur panjang. Saya melihat bahwa ada ketakutan untuk menjadi lemah dan tidak berdaya karena selama ini dunia sudah sebegitu berisiknya meneriakkan untuk menjadi yang superior dan paling kuat mengalahkan manusia yang lainnya. Nietzsche memperkenalkannya menjadi Ãœbermensch , super human. Hingga akhirnya kita tidak terbiasa dengan kelemahan itu sendiri dan ditutup-tutupi sekuat tenaga.

Saya sedikit kebingungan melihat fase penuaan Nenek. Seolah merasa dia sudah perlahan menghilang dan tidak berada di sini. Sosok kuat itu kini pudar berganti dengan cara berjalan yang terseret. Saya tidak tahu bagaimana menyikapinya dan sedikit ketakutan menyelinap bahwa saya dan kamu suatu hari nanti pun akan mengalami hal yang sama. Betapa saya sedikit terusik mencari-cari jembatan pemahaman saya dan Nenek. Meraba-raba untuk bisa meraih sampai ke sana dan saya merasa seolah menjadi karbitan dan melompat banyak anak tangga. Saya tahu jelas beliau sudah berada di level sekian dengan kebijaksanaan yang dia miliki yang sudah teruji oleh zaman sedangkan saya masih mengintip takut-takut dari kejauhan. Mengamati dari jauh fase yang baru ini bagi saya.

Kita tinggal di timeline kita masing-masing, bisa saja timeline saya dan kamu bersinggungan suatu hari nanti namun bisa saja itu menjauh. Mungkin ini yang dialami saya dan Nenek. Namun bukan berarti saya tidak bisa menjangkau timeline Nenek, tetap bisa dengan saya ‘nyebrang’ ke sana sesekali dan belajar mengalami. Melihat dunia dari sudut pandangnya dan pemahamannya. Mengenal arti Tuhan dan iman dari lensanya dan kembali mengalami dan merasakan ziarah hidup dia. Hingga mengingatkan saya bahwa untuk sebuah kehidupan manusia berjuang mati-matian dan betapa hidup itu berharga meski sulit. Meski pada akhirnya kita hidup untuk mati di suatu waktu yang telah ditentukan namun ternyata manusia tetap sedemikian takut akan kematian padahal itu adalah sesuatu yang pasti. Kita menghindar dan sedikit ngeri karenanya. Menunda penuaan dan menunda kematian. Sedikit lagi. Selalu sedikit lagi. Padahal segala sesuatu di bawah langit ini ada waktunya.

Saya sampai pada sebuah kesimpulan sendiri, ya memang benar kita sudah pasti akan mati. Suatu hari nanti tanpa kecuali dan mungkin memang sifat dasar manusia adalah untuk bertahan dan berjuang hidup. Seputus asa apapun orang itu memutuskan untuk mengakhiri hidupnya ia tetap berusaha dan bertahan untuk hidup dengan cara yang berbeda, mengakiri penderitaan dalam arti harafiah. Mungkin kita sering kali lupa, bahwa untuk kita hidup sampai hembusan nafas ini ada keajaiban dan kinerja ribuan sel dalam tubuh yang berkerja keras agar kita tetap hidup dan kita tidak tahu bagaimana cara kerja ajaib itu. 

Sampai suatu ketika di suatu malam saat sedang berdoa malam dengan Abhimanyu. Dia berdoa seperti biasanya agar tidak mimpi buruk atau dinakali temannya saat bermain. Lalu di akhir doanya dia berkata, “Oh iya, lupa berdoa untuk Nenek.Ya Tuhan, juga berdoa untuk Nenek karena dia sudah tua semoga bisa tidur nyenyak dan sehat selalu. Amin.”

Mungkin dengan mengirimkan doa untuk Nenek menjadi jembatan yang kokoh. Dan tanpa kita sadari sampai hari ini pun kita tetap bertahan dan berjuang karena doa-doa dari orang lain.


26.6.16

Konspirasi Tai Kucing #11: Unlearning


Hai, sahabat! Apa kabar ya? Apakah masih ada sukacita di antara kalian semua? Ya, semoga apa pun yang sedang dihadapi dapat segera menemukan pencerahan, apabila belum menemukan saya sarankan banyak-banyaklah mandi air dingin agar otak segar kembali. Jangan malas mandi. Ini saya serius.

Lama juga ya saya tidak menulis di sini. Ya begitulah terkadang pasang surut itu ada. Namun yang terpenting adalah jangan lupa kembali. Jangan lupa pulang. Ke mana pun itu. Beberapa lama ini saya sedang refreshing dengan diri saya sendiri karena merasa keseharian benar-benar membosankan hingga akhirnya yang menarik diri sejenak dan berpikir.

Pernah tidak merasa kalau di luar diri kita banyak sekali yang bertubrukan dengan system dalam diri kita? Lalu akhirnya membutuhkan sedikit waktu untuk mengosongkan diri dan mereview ulang semua. Mengkaji ulang lagi dan menyelaraskan dengan system dalam diri masing-masing. Saya mengakui kalau saya memang agak menyebalkan karena untuk beberapa hal saya sangat saklek dan perfeksionis. Hingga jika beberapa hal tidak selaras dengan system saya, harus diperbaiki dan ditelusuri dulu hingga akhirnya bisa masuk ke logika dan pemahaman saya. Iya, saya sedemikian ribet dan rewelnya. Saya akan butuh waktu untuk berpikir dan riset sana sini. 

Hal yang menggelisahkan akhir-akhir ini adalah saat saya merasa betapa membosankannya rutinitas. Ketika tidak lagi menemukan sesuatu yang baru dan menarik untuk dipelajari dan membuat penasaran. Dan saya cukup sering merasa bosan, jenuh dan selalu butuh hal-hal segar. Semacam keserakahan dan tidak pernah cepat puas. Yak, dengan sedemikian sadarnya saya mengaku. Setiap orang mempunyai parameternya masing-masing akan kepuasannya akan suatu hal. Barangkali inilah penyakit orang macam saya, lupa bersyukur. 

Menariknya dari kebosanan ini saya semakin mengenal diri saya, kalau saya ini 'mengalir'. Perasaan saya mengalir. Hidup itu mengalir. Tidak tetap. Mengingat betapa frustasinya saya ketika menyadari ada banyak hal di luar diri ini yang sudah ada sejak lama namun tidak saya ketahui. Namun untuk memulai keluar dari dalam diri sedemikian sulitnya, biasanya mungkin takut atau merasa sudah nyaman. Padahal menjadi nyaman, tidaklah nyaman sama sekali. Lalu tiba-tiba perasaan kembali menuntut untuk liburan, padahal mungkin sebenarnya yang dibutuhkan adalah liburan dari perasaan ingin liburan. 

Mungkin ya, saya ini harus belajar hal yang baru dan kembali mengosongkan gelas saya sendiri untuk siap-siap dipenuhi lagi. Banyak hal yang tidak kita ketahui dan itu menggelisahkan sekali. Saya jadi tersadar bahwa saya akan terus menerus belajar dan menjadi murid karena sungguh sedikit yang diketahui dan sebenarnya seperti yang Socrates pernah bilang: Hal yang saya tahu adalah saya tidak tahu apa-apa. Menyadari hal itu sebagai titik awal agar tidak menjadi lembam.

Proses yang sedari kemarin cocok untuk saya adalah unlearning, yakni proses menghapus, mereview, mengkaji ulang dan mempertanyakan lagi. Ini sungguh-sungguh proses yang penting dalam belajar. Kenapa? Karena tidak semua hal bisa selaras dan diperlukan kita lagi. Jikalau sudah kadaluarsa baiknya dihapus dan diganti yang baru. Seiring dengan bertumbuhnya kita, akan banyak hal yang harus ditinggalkan atau mungkin didalami lagi. Sehingga yang namanya pribahasa menjilat ludah sendiri, mungkin sudah tidak relevan. Saya rasa akan banyak pemahaman saya yang berganti dan berkembang. Ingat, kita ini mengalir dalam proses belajar. 

Dalam belajar baiknya kita banyak bertanya dan bisa menerima pandangan orang lain karena tidak ada salahnya mendengarkan mereka dan mengajukan pertanyaan lain. Jangan takut untuk berdiskusi dan menjadi sedikit bego karena tersesat di pertanyaan. Itu akan menjadi salah apabila kita tidak cukup banyak mempertanyakan? Coba sesekali tanyakan pada diri sendiri: Am I enough questioning something? Dan pentingnya belajar bertanya dengan pertanyaan yang tepat. Itu sih. Sebab pemahaman yang sejati harus timbul dalam diri sendiri, ia tidak bisa ditanamkan oleh orang lain dan hanya wawasan yang timbul dalam diri sendirilah yang menghasilkan wawasan yang tepat. Itu kata Socrates. 

Lalu dengan sangat random kemarin saya membeli buku soal matematika SMP kelas VII karena saya bosan dan saya menyadari keterbelakangan saya akan matematika. Saya tidak suka matematika sebegitunya, namun kemarin pasti saya agak sengklek otaknya hingga dengan impulsive saya membeli buku bank soal itu. Dan kemarin teringat ada foto instagram kakak kelas saya yang keren, Syafitudina. Beliau foto sebuah quote mahakeren, begini bunyinya:

Unlearning is not forgetting. It is neither deletion, cancellation nor burning off. It is writing bolder and writing anew. It is commenting ans questioning. It is giving new footnotes to old and other narratives. It is wiping off the dust, clearing the grass and cracking off the plaster that lays above the erased. Unlearning is flipping the coin and awakening the ghost. Unlearning is looking in the mirror and seeing the world. 


Atau saya sudah sedemikian perlunya dengan bulat hati dan berani ikut program master. Ya ampun tapi universitas ini isinya orang pinter semua, heran saya orang-orang pinter ini kira-kira mereka belajarnya gimana sih? *garuk-garuk kepala*


4.6.16

Konspirasi Tai Kucing #10: Idealisme kita adalah sisa dari yang tersisa


Hai. Apa kabar? Semoga damai sejahtera selalu ada di hati dan kebaikan selalu ada padamu. Tidak terasa kita sudah melewati setengah tahun dari tahun 2016 ini. Gimana resolusi atau cita-cita sudah terwujud? Jikalau sudah selamat ya dan jikalau belum mari kita tos bareng dulu. Saya juga. Heu.
 
Pasti ada stage dalam hidup kita yang sebegini dan sebegitu perlunya untuk memperjuangkan sesuatu yang menurut kita berharga. Tantangannya banyak namun yang paling berat adalah diri sendiri. Meyakinkan bahwa kamu mampu, kamu sekuat itu dan kamu deserve to get what you want. Itu semacam PR saya yang seringnya failed berkali-kali. Sepertinya ya, saya ini rada-rada penakut dan omong doang deh, tapi apa sih yang kita harapkan kalau seandainya kita takut melulu dalam segala hal dan tidak yakin dengan kemampuan sendiri? Lalu ada lagi, saya banyak komplain inilah itulah hingga akhirnya saya merasa sudahlah mungkin memang seharusnya saya mencukupkan diri dengan ini saja. Jangan diikuti ya tidak baik untuk kesehatan! 

Setiap dari kita pasti menginginkan suatu hal dan sebenarnya kita tahu seharusnya berjalan ke arah sana dan memperjuangkannya sekuat tenaga. Namun, memang perjalanan pasti berliku dan berputar ke sana ke mari rempong muter-muter belum lagi kalau gagal. Kegagalan dan penolakkan itu biasa. Kita harus membiasakan diri dengan hal itu karena akan banyak  penolakkan dan kegagalan akan terjadi selama kita masih hidup. Kemarin ini saya baru ditolak oleh suatu hal yang saya inginkan. Padahal saya sudah yakin 100% saya pasti bisa dan inilah suatu kesempatan untuk memulai hal yang baru dan pasti lebih mudah. Namun ternyata rencana saya dan rencana Tuhan tidak sejalan. Untuk keinginan ini bisa jadi menurut Tuhan akan membuat saya manja karena bermain-main di comfort zone. Saya kecewa sih sesungguhnya. 

Kita tidak akan selalu mendapatkan apa yang kita mau. Itu satu. Yang kedua ingatlah, jikalau kamu ditolak bukan berarti kamu tidak mampu dan tidak berkualitas namun tempat kamu bukan di sana. Dan penolakkan ini biasanya akan mengantar kamu ke jalan yang seharusnya ditempuh. Coba digali lagi sebenarnya keinginan kamu apa? Keinginan yang murni dari dalam bukan karena pertimbangan keinginan tersebut sesuai dengan comfort zone kamu. Sayang, comfort zone adalah tempat yang buruk untuk bertumbuh dan berkembang. Percaya deh!

Saya merenungi kegagalan dan penolakkan ini bagaikan godam besar tapi inilah...inilah sebuah alarm untuk saya kalau jalan saya bukan ke sana. Selesai. Lalu saya tersadar kalau ada satu hal yang terselip dan sudah lama tidak saya otak-atik karena merasa saya tidak akan mampu melakukannya karena ini sungguh-sungguh diluar batas nalar dan kemampuan saya. Pernah dengar kan sebuah quotes : If it's still in your mind, it is worth taking the risk . Jika kamu ingin sesuatu sebegitunya hingga setiap hari terus kepikiran setiap saat, seharusnya kamu berjuang untuk mendapatkannya.

Jangan takut berjuang. Jangan takut untuk kerja keras sekuat tenaga. Jangan takut menjadi ambisius. Lakukanlah bagianmu dan serahkan sisanya pada Tuhan. Dan jikalau masih gagal, lakukan terus menerus hingga Tuhan akhirnya berubah pikiran. Kadang kamu harus bergulat dengan Tuhan untuk mendapatkan apa yang kamu mau, yang kamu punya adalah upaya dan doa. Satu lagi, kita tidak bisa terus menerus lembek pada diri sendiri dan mengikuti semua keinginan hati cengeng kita. Menjadi kuat adalah pilihan terakhir yang harus diambil untuk pertanggung jawaban kita pada diri sendiri karena pada akhirnya hanya diri sendiri yang bisa menolong kita. Terdengar arogan? Ya memang, tapi di sisi lain kita belajar untuk menghargai diri sendiri. Mengasihani diri sendiri sebagai korban dari hidup adalah kegagalan awal kita. Ini saya serius. Dan hal yang paling menakutkan menurut saya adalah merasa bersalah pada diri sendiri. Menyesali mengapa tidak mengupayakan sesuatu hingga akhir rasanya tidak enak.

Di sebuah teguk kopi di hari Sabtu ini, saya sedang menjaga api dalam diri saya. Jangan sampai padam. Jadilah radikal, jadilah liar, jadilah nyala itu. Suatu hari nanti kamu akan tua lalu mati. Dan adalah kesalahan terbesar jikalau kamu mengetahui suatu hari kamu akan mati tapi tidak bisa benar-benar hidup. Aroma kerja keras, tangis dan keringat sudah kita hafal, kenapa harus ditiadakan? Idealisme kita ini adalah sisa dari yang tersisa. Kadang terasa perih dan sewaktu-waktu menyakitkan. Tapi kadang alasan manusia mencintai karena ada rasa sakit itu sendiri kan? Pesan saya hanya satu: Kejar dan jangan menyerah kalah, masih ada sisa darah di nadi yang belum mengering.    



Clean Bandit- Stronger

And I think I don't really get it
I think it's all just a peculiar game
And soon I'll wake up and I'll forget it
And everyone will know me by a different name

I wanted to be stronger!

1.6.16

Konspirasi Tai Kucing #9: Marriage 101


Hari Senin kemarin saat perjalanan menuju kantor, saya mendengarkan lagunya Chrisye berjudul Cintaku dan dengan impulsive saya berjanji, lagu ini adalah lagu wajib yang harus diputar saat  saya menikah. Tsah. Lalu saya jadi menoyor kepala saya sendiri menduga otak ini agak bergeser atau sedikit kejedot kemarin. Atau mungkin ini karena hari Senin pagi yang sedemikian boring dan tidak menggairahkannya dan lalu munculah lagu kasmaran seperti ini. Atau barangkali saya sedang ovulasi. Pasti gitu deh.

Jadi begini, saya ingin menikah suatu hari nanti namun tidak seburu-buru itu sih. Saya menghormati pernikahan karena menikah itu artinya berjanji pada Tuhan, pasangan, keluarga dan jemaat yang menyaksikan saat kata janji itu terucap. Menurut saya mengucap janji di altar itu sebegitu sakral dan romantisnya. Melihatnya, berbahagia sekali kedua mempelai dan lalu mereka terharu. Pernikahan yang amat sempurna, bahagia dengan teman-teman dan keluarga. Berhubung akhir-akhir ini saya menghadiri banyak pernikahan teman-teman saya, saya jadi memperhatikan bahwa arti ucapan itu bukan sekedar kata-kata belaka namun maknanya lebih dari itu. Lalu saya berpikir lagi, janji itu diucapkan saat sedang happy, keduanya gagah dan cantik, sehat dan subur, dalam keadaan bahagia, siapa yang akan  mengira apabila kenyataannya pernikahan akan tidak semudah itu dan janji itu mungkin saja bisa longsor oleh waktu? Saat segala rintangan, masalah datang, dan pasangan kita menjadi sesulit itu untuk dicintai, apa kita akan tetap mengingat janji itu beserta maknanya? Jawabannya: Mau gak mau harus iya! 

Kadang saya berpikir apakah pernikahan semacam sebuah goal dalam hidup manusia? Karena rasanya banyak orang yang mengukur kebahagiaan dari apakah sudah berpasangan, menikah dan punya anak atau belum. Rasanya itu adalah sebuah ketentuan yang ada di masyarakat. Saya kemarin sempat mengingat semua situasi kondangan dan lalu rentetan pertanyaan pada saya: Mana nih calonnya?  Kapan nyusul? Ayo jangan lama-lama lho! Ini calonnya mana nih kok gak diajak? Yang lalu saya jawab seenak udel sambil ketawa-ketawa cekikikan.

Apa mungkin karena saya sedang tidak ngedate dengan siapa-siapa, lalu saya jadi berpikir sejujurnya menikah bukan suatu keharusan. Seseorang seharusnya boleh memilih mau menikah atau tidak. Dan jikalah seseorang memilih tidak menikah dengan pasangannya saya pun merasa itu sah-sah saja. Menikah adalah panggilan hidup menurut saya dan buat saya menikah haruslah seserius itu, jika tidak yakin ya jangan. Bukan karena diburu-buru tante-tante cerewet, orang tua, teman atau usia. Ayolah, masa kamu menikah hanya karena alasan sudah diburu-buru bukan karena itu adalah kehendak bebasmu secara sadar dan waras. Dan apabila menikah hanya untuk melegalkan sex, saya kok tidak setuju ya. Sepertinya menikah lebih dari sekedar prokreasi dan kenikmatan saja. 

Beberapa waktu lalu saya sempat ngobrol singkat dengan seorang perempuan berusia 30 tahun, dia sudah seperti kakak sendiri. Lalu bertukar cerita tentang banyak hal hingga akhirnya sampailah pada sebuah topik, pasangan. Dia berkata bahwa  hanya ada perbedaan tipis antara loving dan using. Terkadang itu nyaru menjadi satu tanpa kita sadari. Ternyata dalam cinta, bisa saja kita digunakan oleh orang lain. Seolah pernikahan hanyalah sebuah cara untuk lepas dari semua masalah dan belenggu seseorang misalnya belenggu ekonomi. Apabila salah satu pihak merasa 'digunakan' dan tidak lagi saling bahu membahu atas nama cinta, mungkin itu sudah menjadi egois dan timpang, baiknya putus saja. Atau misalnya si pria sedemikian mengatur urusan kehidupan perempuannya tanpa memberikan sedikit ruang, tipe-tipe pria yang harus diakui bahwa dia paling benar. Atau mungkin perempuan yang sedemikian bossy ngatur ini itu pasangannya, sedemikian cerewetnya dan kalau saya bayangkan malah saya jadi merinding sendiri. 

Sebenarnya saya merasa ada sedikit rasa khawatir jikalau pernikahan bisa sedemikian mengikatnya. Lalu sedemikian singupnya namun karena sudah terlanjur menikah jadi tidak ada pilihan lain selain  menjalani komitmen. Atau mungkin saya sedemikian egoisnya untuk menyerahkan kebebasan saya pada seseorang? Seharusnya pernikahan itu bukan suatu sangkar kan? Seharusnya dua orang bisa bertumbuh berdua dan berjuang bersama, meski dunia luar kadang tidak berpihak pada kita. Hingga saya terkadang bingung sendiri bagaimana caranya kedua orang tua saya sedemikian hebatnya bisa tetap bersama dan akur meski kadang suka ngomel-ngomel padahal mereka berasal dari keluarga yang berbeda, Ibu saya Sunda dan Ayah saya Jawa. Tapi mereka bisa tetap bersama meski dengan bahasa campur aduk. 

Mungkin benar, carilah orang yang tepat. Even somehow the right person, won't make it easier. Apalagi kalau tidak tepat udah ambyar semua. Lalu orang yang tepat seperti apa? Hmmm... saya juga tidak tahu sih. Tapi mungkin saya membayangkannya begini, seseorang yang bisa diajak argumentasi, debat heboh mempertahankan pendapatnya namun tetap bisa compromise. Seseorang yang kekurangannya bisa kamu tolerir dan bisa kamu lengkapi dengan kelebihan kamu. Seseorang yang menurutmu sexy sehingga sex life pun menyenangkan. Seseorang yang bisa mengingatkan dan menegur apabila kamu salah. Seseorang yang humoris karena menertawakan hidup adalah salah satu cara mudah menjadi bahagia. Seseorang yang membuat nyaman dan ketika bersamanya bisa menjadi diri sendiri. Dan adalah seseorang yang saat kamu pandangi dari jauh lalu dalam hati kamu berkata: Anjrit, this amazing guy kok mau ya sama gue? 


28.5.16

Konspirasi Tai Kucing #8: Pilek di akhir pekan dan selipan pikiran


Saya pikir saya akan menyimpan sedikit rasa kecewa karena belum bisa kunjung menetap di Bandung, kota kelahiran saya yang romantis itu. Mimpi untuk bisa tinggal di sana, bekerja, punya rumah, menikah, kawin, beranak dan duduk-duduk di terasnya yang adem saat sudah lansia rasanya harus dikunci dalam-dalam karena ketidakberjodohan saya dengan kota Bandung. Mungkin Aga, adik saya lebih berjodoh dengan Bandung. Saya pikir saya akan kecewa, ternyata tidak. Mungkin pada akhirnya BSD sudah menjadi saksi mata sedari kecil saya bertumbuh dan sudahlah, biarkan kota Bandung menjadi tempat yang romantis dan sendu-sendu hujan enak berpelukan di sepanjang ingatan saya dan sebagai kota di mana ari-ari saya ditanam. Saya harus mencari pengembaraan makna sendiri di sini. Sayang, kita tidak akan pernah tahu untuk apa kita di sini kan? Namun ternyata dengan menjalani hari ke hari pun rasanya saya sudah senang sendiri dan lalu menjumpai akhir pekan lagi meski pada akhirnya saya menjadi manusia penunggu hari Sabtu-Minggu. Kita semua ini sedang menunggu, meski menunggu hal yang berbeda-beda. Lalu kita semua harus bersabar dan bersabar. 

Semenjak kemarin saya rasanya nge-fly terus-terusan karena minum obat pilek dan radang tenggorokan namun malah membuat saya jadi manusia beler seharian. Hidung mampet, meriang dan panas tubuh yang semelenget. Akhirnya sepulang kantor saya ketiduran hingga pagi menjadi suatu harga yang tidak bisa saya tawar-tawar karena tubuh saya sedemikian remuk redamnya, barangkali. Ada masanya memang sebuah siklus pilek berulang agar mengingatkan saya jangan kebanyakan minum es atau kecapekkan sana sini. Etos kerja yang harus dimiliki setiap harinya agar setidaknya dianggap orang genah sedikit saja lalu menyembunyikan serangkaian alter ego. Saya rasa tidak apa-apa demikian karena realitasnya terkadang kita harus sedikit berpikir menjadi mereka si penanam modal dan lalu berjuang sendiri untuk hidup yang menghidupi. Maafkanlah saya, yang kian realistis setiap harinya dan mungkin bisa menyakiti hati kalian karena saya jadi menyadari untuk membangun rumah di dunia harus menggunakan batu, fondasi yang kuat. Dan untuk menuju ke sana saya harus jadi serombongan kelas pekerja nguli terlebih dahulu. Bekerja adalah ibadah, kamu ingat kan? Sampai di sini saya jadi semakin mengenal diri saya, kalau ternyata endurance saya terhadap rasa sakit, ketidaknyamanan dan kecewa bisa setinggi itu. Lalu saya jadi merasa itu adalah kekuatan saya. Kelemahan-kelemahan picisan yang kelewat sensitif hingga banyak perasaan atau saya yang memperhatikan kelewat detail hingga sampai detik ini menyadari itu tidak bisa di-uninstall atau merestorasinya kembali. Manusia terdiri dari serangkaian pengalaman, kemampuan dari otak reptilnya untuk terus bisa survive dan lalu menariknya ya, output pada setiap manusia bisa berbeda-beda. Mungkin ini yang membuat Tuhan asyik melihat dari atas. 

Tidak tahu, saya rasanya tidak bisa berpikir melampaui apabila bicara  Tuhan karena pada akhirnya saya hanya mampu menulis Tuhan, itu pun sifatnya fluktuatif, tidak mantap. Mungkin Tuhan itu seistimewa itu ya hingga saya tidak habis-habis menuliskannya dan menyangsikannya. Saya kadang merasa konyol sendiri karena saya sedemikian penasarannya dengan Sang Pencipta dan ini mungkin karena manusia juga adalah maha pencipta sehingga ada kebutuhan dalam diri saya untuk menyelami Dia yang terlalu dalam lalu akhirnya saya berakhir dengan mentok dan berpikir sendiri siapalah saya. Akhir-akhir ini saya sedang sok-sok serius mencari-cari jawaban yang tidak saya membuat saya menyimpulkan ini dan itu, begini ada beberapa orang yang meniadakan Tuhan dan ada yang percaya Tuhan itu ada. Dengan berbagai teori di antara keduanya dan berbagai pertanyaan dan fakta yang dijabarkan, namun tetap Tuhan tidak terdefinisi. Tidak ada yang bisa menjelaskan kalau Tuhan itu tidak ada dan tidak ada juga yang bisa menjelaskan dengan fakta keberadaan Tuhan. Seberapa istimewanya Dia hingga keberadaan-Nya pun tidak diketahui namun tidak membuat Dia menjadi ada dan tidak membuat Dia menjadi tidak ada. Ini konspirasi macam apa pula?

Saya akhirnya tidak tahu lagi mau cari ke mana dan menyudahi sejenak kalau keberadaan Dia tidak karena ada yang percaya dan tidak. Keberadannya tidak melalui batas-batasan jikalau seseorang tidak percaya, lalu Tuhan menjadi tidak ada dan sebaliknya jikalau seseorang percaya maka Dia jadi nyata. Dia sesungguhnya mungkin sedemikian rumitnya. Lalu kenapa saya percaya Tuhan ya? Mungkin karena saya merasa pada dasarnya manusia mendambakan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri tempat dia bergantung, mungkin sebagian orang menyebutnya Semesta. Tapi kalau saya, mengimaninya Tuhan. Saya jadi gemas sendiri. Kebenaran-kebenaran yang kita anut juga tidak valid 100% benar karena kebenaran itu ideal dan sesuatu yang ideal belum tentu nyata. Kebenaran kita ini  sesungguhnya hanya didefinisikan dari ciri-ciri abstrak bukan quintessentially truth. Hingga tidak bisa dikatakan valid.

Seperti misalnya kita mengajarkan seorang anak menggambar lingkaran, kita akan memberikan banyak cara misal pakai jangka, meniru benda bulat, menggambar lewat kertas yang sudah ada titik-titiknya dan lalu memberikan ciri-ciri lingkaran seperti apa, hitungannya bagaimana dan sebagainya. Lalu anak ini buatlah lingkaran, sama-sama lingkaran bulat, sesuai dengan ciri-ciri lingkaran dan hitungan juga sama namun perbedaannya adalah itu belum  quintessentially truth karena hanya sesuai ciri-ciri abstrak lingkaran. Demikian juga dengan kebenaran dan keyakinan.

Sebenar-benarnya hingga saya sampai pada pemikiran, ada baiknya kita tidak terlalu sehitam-putih itu karena kita jadi abai dengan segala hal. Dan lalu meneriak-neriakkan kebenaran yang diyakininya sebagai ungkapan meyakinkan diri sendiri versi berisik. Mungkin kupingnya sudah terlampau budeg sehingga harus meneriakkan ke sana ke mari agar kuping dia juga ikut mendengar. Dan memang baiknya kebenaran dan keyakinan dimulai dari penghayatan spiritual masing-masing individu bukan koar-koar yang tak perlu.

Kira-kira sampai di sini dulu meski banyak kealpaan logika di sana sini. Dan kayaknya pilek ini sungguh butuh istirahat di sebuah akhir pekan. Selamat berakhir pekan, jaga kesehatan ya!


25.5.16

Konspirasi Tai Kucing #7: Karena saya perempuan dan tubuh sering diperbincangkan


Pagi ini saya tergesa-gesa berangkat ke kantor hingga tidak menyadari ternyata kuku jempol kaki saya berdarah-darah. Sepertinya saya tidak sengaja menendang kursi meja makan, saya terkaget-kaget dan ngeri sendiri melihat darahnya. Awalnya tidak sakit, namun setelah melihat darah mengalir segar saya baru berasa pedih. Sambil mengobati jempol kaki saya dan membersihkan darahnya, saya jadi berpikir apa jangan-jangan sebenarnya ada banyak pedih yang sebenarnya kita rasa namun tidak kita rasa-rasa karena itu tersembunyi, kasat mata? Lalu setelah menyadari ada luka di sana, sensor rasa panik dan sakit baru menyeruak keluar hingga berjengit sesaat dan buru-buru mengobati. Pentingnya kesadaran dan membuka indera lebar-lebar pada setiap peristiwa, agar bisa diperbaiki dan diobati.

Mengingat kemarin malam saya marah-marah dan panas sendiri karena membaca tweet seorang Bapak yang sedang kultwit penyebab pemerkosaan adalah berpakaian sexy serta berbagai rentetan argumen sexist yang dia punya. Ih sebal sekali rasanya hingga yang tadinya Twitter saya gembok untuk privasi, pada akhirnya saya buka lagi karena saya mau komen ke Bapak-bapak itu, tapi rasanya sih tidak dibaca. Ya sudahlah, belum saatnya saya dan Bapak itu berkenalan. Eh tapi saya akhirnya unfollow Bapak itu demi tidur-tidur nyenyak saya di hari depan. 

Kemarin saya jadi berpikir sebegitu istimewakah tubuh perempuan hingga akhirnya kepemilikan tubuh pun akhirnya harus diambil alih? Hak atas memiliki tubuh yang didogma serentetan hukum dan norma. Seolah tubuh perempuan ini salah dan menyebabkan hilangnya akal sehat laki-laki. Saya sebenarnya gemas sekali dengan pemikiran 'perempuan harus menjaga' apapun yang ada di dirinya. Aduh, bahkan bagaimana isi otak laki-laki pun harus kita jaga? Oke saya paham jikalau laki-laki itu visual dan memiliki alat kelamin yang mudah terangsang, lalu apakah kiranya itu juga harus dijaga oleh perempuan? Saya sendiri percaya bahwa laki-laki memiliki pertahanan sendiri untuk bisa tetap mengutamakan akal budinya dari pada penisnya. Tidakkah ingat bahwa manusia diciptakan dengan akal budi dan perasaan. Lalu ini menjadi timpang ketika laki-laki merasa memiliki kuasa atas perempuan, bahwa itu sah-sah saja. Dan yang paling mengagetkan adalah ternyata banyak orang yang memiliki pemikiran seperti Bapak di Twitter itu. Duh semakinlah saya tepok jidat berkali-kali.

Mengapa saya sebegitu responsif dengan issue perempuan ini? Karena saya perempuan dan itu adalah tubuh saya. Itu adalah bibir saya, itu adalah rambut saya, itu adalah leher saya, itu adalah tangan saya, itu adalah payudara saya, itu adalah perut saya, itu adalah pinggang saya, itu adalah pinggul saya, itu adalah paha saya, itu adalah kaki saya dan itu adalah vagina saya. Mengapa saya tidak punya hak atas itu semua yang ada di diri saya? Saya tidak paham. Saat saya remaja, saya diberi tahu bahwa tubuh saya ini harus dijaga karena bisa saja 'mengundang', saat itu saya tidak tahu artinya. Sampai akhirnya saya berjalan sendirian dan sekelompok anak laki-laki tidak dikenal berseloroh nakal tentang tubuh saya. Hingga ada satu masa saya sebal setengah mati menjadi perempuan, terlebih karena payudara saya yang bertumbuh, dengan pantat saya yang semakin berbentuk, dengan rambut saya yang ikal dan tubuh saya yang semakin feminin. Saya dulu merasa ini salah tubuh saya yang menggoda mereka, pasti demikian. Sejak itu saya menjadi paham akan keberadaan tubuh perempuan di society. Sedari kecil anak perempuan diajarkan untuk menjaga, duduk rapat-rapat, baju tidak menggoda, perilaku santun dan satu lagi jangan jadi manusia seksual. Perempuan tidak diajarkan untuk menjadi penasaran atas tubuhnya hingga sedari kecil ketika tiba-tiba tanpa sadar bermain dengan alat kelamin sendiri, diberi tahu eits.... jangan! Ya kita tahu kenapa banyak perempuan tidak tahu tubuhnya sendiri dan akhirnya sulit orgasme ya kan? Setiap inchi tubuh kita ini seksual dan bisa juga tidak, itu tergantung dari perspektif kita. 

Lalu kemarin mendengarkan kembali lagunya Anggun yang In Your Mind begini lyricnya: I don't want to believe and I don't want to live by the excuses of your weakness. 'Cause a women should do what she wants to do, there is no reason for your shallow aggravation. Seharusnya perempuan bisa melakukan apapun sesuai keingiannya tentu dengan tanggung jawab dan sudahlah berilah ruang untuk perempuan memilih dan memiliki. 

Susah-susah gampang menjadi perempuan, terkadang saya pun harus banyak belajar menjadi perempuan yang sebegitu banyak label dan tuntutan ini itu. Bahkan tuntutan tersebut lebih kejam dilayangkan dari perempuan ke perempuan lainnya. Gila itu kejam sekali, seolah menjadi tuhan atas perempuan lainnya. Terlebih jikalau kamu gadis. Lalu berusaha untuk mengerti nilai-nilai masyarakat ini yang sepertinya tidak adil sedari lahir. Gadis-gadis yang berusaha hidup di dunia yang lebih condong ke laki-laki ini dan semuanya berpihak pada mereka. Gadis-gadis yang sebenarnya merasa pedih sendiri dengan siulan nakal, dengan pandangan yang menelanjangi, dengan celotehan melecehkan, dengan tangan yang usil. Ketika kegadisan seharusnya dirayakan dengan penuh sebagai lambang kesuburan hidup namun akhirnya mereka salah kaprah dengan tubuhnya sendiri. Mencari makna lain dari tubuhnya agar diterima oleh laki-laki, agar dicintai, dikasihi bukannya dilecehkan. Meski dengan cara yang berbeda-beda. Hingga seorang gadis sedemikian butuhnya diakui keberadaannya oleh laki-laki dan akan menjadi keprihatinan apabila mental itu terbawa sampai dia menjadi dewasa. 

Satu titik awal mengapa saya berubah pikiran tentang keberadaan saya sebagai perempuan adalah saat Oma saya meninggal di masa awal remaja saya. Melihat saat beliau tersengal memanggil 'Mama' dan menghembuskan nafasnya yang terakhir, lalu saya menangis keras sekali hingga sesegukkan. Betapa tubuh sebegitu rentannya, sebegitu fananya ketika ruh tidak ada. Itu hanya kendaraan yang digunakan roh untuk berkarya di dunia ini. Pada prosesi memandikan saya pun mengintip, tubuh telanjang kaku perempuan. Air terus mengalir-mengalir membersihan tubuh. Mungkin kita manusia sebegitu terobsesinya dengan tubuh tanpa menyadari bahwa ada jiwa di dalamnya. Jiwa itu sama-sama yang memiliki ketakutan, cita-cita, trauma, sakit hati, kekhawatiran, kesenangan, kesedihan, cinta yang juga sama dengan kita. Lalu masihkah kita manusia tidak bisa saling menghargai karena pada dasarnya kita ini hanya manusia dengan berburuan makna hidup masing-masing yang tidak kita tahu artinya?

***

Dan ya, inilah saya
Saya gadis, saya perempuan 
Dan ini adalah keapaan, keberadaan dan tubuh saya
Dan saya pun menghormati dan menghargai kamu, Laki-laki
Dengan keapaan, keberadaan dan tubuhmu. 


22.5.16

Tidak Ada Judul karena Ketidakbernamaanku yang Kau Ingat


Ada selongsong rindu di dadaku yang tidak kunjung rampung menggantung
Kukira itu akan habis dalam semalam dan selesai

Ada selongsong rindu di jantungku yang mengkhawatirkan degupku
Seharusnya tidak semudah ini jatuh

Ada selongsong rindu di mataku yang menginginkan pertemuan kedua
Mencuri-curi kebetulan yang tidak ada

Ada selongsong rindu di kepalaku yang mengintai penasaran
Meregang di antara singkat percakapan

Ada selongsong rindu yang terbawa pulang olehku
Ini sepertinya milik kamu

Namun kau tak ingat namaku
Tak ingat namaku



Serpong,2016

21.5.16

Sebuah Aphrodisiac


Terbangun di satu sisi tempat tidur. Serta merta membutuhkan kehangatan hingga mencari selimut yang terjatuh di mana entah, kedua pucuk payudara yang mengeras kedinginan, kaca mata yang masih bersandar di hidung dan buku yang tergeletak di samping badan. Semalam tertidur dengan lampu menyala dan kembali bermimpi meniduri laut, menciumi tengkuknya dengan bibir berpasir, membelai lekuk punggung ombaknya dan mengecup sepi di matanya. Tiada lagi yang dibutuhkan, ketika sejumlah puisi wangi runtuh dingin di sudut kamar dan aksara sia-sia tentang cinta yang tidak lagi dipertanyakan. Mengawini laut tanpa ketakutan dan mencintai menjadi sebebas-bebasnya. Bukankah itu yang kita butuhkan?

Hiruk pikuk di sebuah kota yang bising, menyusuri jalan dengan lampu yang kekuningan dan bunyi klakson kendaraan yang memekakkan telinga. Pekerjaan-pekerjaan yang tak kunjung usai dan kecemasan di setiap kening orang yang dijumpai. Mungkin kita manusia hanya bisa sedikit-sedikit cemas lalu menelusup di malam hari mencari tuhan, entah dengan wujud t kecil atau T besar. Kesendirian yang tidak sebegitu menakutkan karena masih mengalun lagu Tiny Dancer-nya Elton John dari kejauhan "Hold me closer tiny dancer, counts the headlights on the highway, lay me down in the sheets of linen, you had a busy day today." 

Perempuan yang menulis pukul setengah empat pagi tidak akan mampu lagi menyangkal ritualnya yang diam-diam dicintai dan dinikmati. Pagi yang awal tanpa riuh: ayam berkokok, bayi yang menangis minta susu, bunyi air yang gemericik, wangi masakan di dapur, cengkrama singkat dan ketergesaan yang lompat meminta perhatian. Semuanya dijalani pelan-pelan-lalu-detik---mengalir---lambat----lambat---sekali.

Menyibukkan diri dengan tuts-tuts keyboard yang berbunyi tik-tik-tik-tik dan suara diri sendiri yang menggaung di kepala. Meyakini akan tiba saatnya seseorang yang sungguh mengerti ritual singkatnya tanpa banyak bicara dan si perempuan akan memandanginya sesekali ketika ia sedang tertidur lalu akhirnya mengecup keningnya, meski si laki-laki tidak terbangun dan menyadarinya. Ketika menelusup jemari di tubuh laki-laki itu adalah kenyamanan itu sendiri dan memeluknya menjadi energi ratusan watt untuk menjalani hari. Dan laki-laki itu kini belum datang, belum datang. 

Apakah akan ada seseorang yang sedemikian lelahnya mencari dan lalu berhenti mencari hingga akhirnya duduk di sisi perempuan karena sudah merasa cukup? Karena si perempuan sudah lelah mencari dan tidak membutuhkan pertemuan mubazir yang hanya mengunci ketertarikan dari pandangan mata dan tubuh saja, ia sudah selesai membicarakan tubuh. Ketika ciuman-ciuman sudah selesai di malam yang lampau dan tidak lagi menjadi hangat lalu. Pengalaman seketika menjadi guru killer yang mencoret seluruh kertas ulangan matematikanya dengan tinta merah dan melingkari semua jawabannya yang salah. Perhitunganmu salah, Perempuan! Logikamu amburadul, Perempuan! Dan si perempuan tahu dia bukan seseorang yang dianugerahi otak secemerlang itu hingga terus menerus penasaran dan bertanya menjadi keahliannya.

Apakah masih ada seseorang yang sudah usai dengan kesombongan alpha male-nya yang harus memenangkan segala hal dari si perempuan termasuk sedikit nalar dan otaknya? Lalu akhirnya mencintai bukan alasan sebuah karena namun diri itu sendiri. Lalu ketika ciuman-ciuman gairah selesai, kecupan di tengkuk sudah luruh, pelukan tidak lagi diketatkan dan persenggamaan sudah membosankan. Apalagi yang tersisa? Percakapan-percakapan yang lahir dari cerebrum, otak besar kita. 

Mungkinkah ada seseorang yang sederhana saja, biasa saja, dengan segala penziarahan hidupnya, duduk di sini sejajar. Di samping. Tidak duduk di depan dan tidak di belakang. Berbagi sedih dan tawa di ujung hari, membicarakan hal-hal yang sederhana namun tidak sesederhana itu, bergandengan tangan lalu sesekali berpandangan tersenyum, mengetatkan peluk dari jarak dan mengakhiri segala tanya yang tidak perlu. Dan memulai. Karena rasanya si perempuan tidak seromantis itu untuk segala banyak tetek bengek sia-sia candle light dinner yang canggung, hadiah-hadiah berkilau dan bouquet mawar. 

Hadirilah dengan realitas dan mimpi yang getir karena cuka asam sudah biasa di mulutnya, pemandangan kota yang biasa saja, tukang soto ceker di pinggiran jalan, temaram lampu kota, kedai kopi kecil, pasar, atau perpustakaan yang penuh buku lalu pemikiran-pemikiran yang menjadi keingintauan untuk dijelajahi dan dipertanyakan. 

Adakah seseorang yang sedemikian bisa diajak bercakap-cakap tanpa ada prasangka dan meyakinkan diri bahwa dia paling benar dan pintar? Dan adakah seseorang yang mampu menawarkan si perempuan aphrodisiac yang memberikan getaran pertama pada sanggurdinya akan pembicaraan panjang tentang: Tuhan, manusia, mimpi. manifestasi cinta, berita-berita yang berkoar-koar di tivi lalu menertawakannya, artikel panjang tentang nalar ketuhanan dan keyakinan yang banal, kapitalisme yang tentu akan berbicara tentang Karl Marx dengan: 'Derita termasuk kenikmatan manusia', berbicara tentang humanisme, berbicara tentang idealisme, berbicara tentang filsafat yang tidak kunjung dimengerti namun dinikmati dengan sisa-sisa otak si perempuan. Dan jikalau sudah selesai marilah kita berbicara tentang hidup. 

Hingga akhirnya mengerti, bahwa si perempuan membutuhkan laki-laki yang bisa bersenggama dengan pikirannya. Sebuah aphrodisiac


Serpong, 2016

gadispayungkuning



18.5.16

Konspirasi Tai Kucing #6: Hidup Seperti Minggu Sore


Saya sedang sedikit canggung untuk menulis karena rasanya hari ini bukan hari yang tepat untuk menulis karena mood saya sedang tidak untuk itu. Namun saya ingat kalau saya janji mau sok-sok serius menulis rutin yang tadinya mau hari Selasa, Jumat dan Minggu saya sunat seenak hati menjadi Rabu dan Jumat karena saya merasa berat. Gila. Lalu sekarang saya menemukan diri saya tidak dalam kondisi sebegitu bergairahnya untuk menulis karena banyak rasa-rasa yang seharusnya tidak dirasa-rasa, semelankolis itu. Kan saya jadi malu kalau saya menulis layaknya orang curhat. Tapi sudahlah, saya sudah rela ditelanjangi dan berbagi perasaan, mengingat pasti yang membaca blog saya adalah kalian yang 'dekat' di hati baik sahabat atau orang tidak saya kenal namun memiliki kembaran rasa. Hai!

Saya sangat ingin memulai tulisan ini dengan keceriaan yang sama seperti tulisan sebelumnya namun nyatanya saya sedang tidak seceria biasanya hari ini. Manusiawi sekali saya rasa ketika seseorang bersedih akan sesuatu dan bersuka ria akan sesuatu. Mungkin porsinya saja harus seimbang dan bersedia untuk bisa kembali ke titik nol. Zero, seperti di zen. 

Pagi ini saya mendapat kabar bahwa Om saya, kakaknya ayah saya, sebut saja Pak Harto, ternyata menderita sakit kanker paru-paru stadium empat, setelah selama ini didiagnosa sakit jantung. Lalu saya jadi kepikiran seharian. Kami tidak sedekat itu memang, namun mengingat dia adalah sosok yang lucu, jenaka, ceria dan rupawan lalu harus terbaring sakit cukup berat, rasanya kok tidak cocok ya? Meski saya tahu sakit kanker paru-paru itu bukan masalah cocok atau tidak cocok. Mungkin karena beliau adalah perokok yang cukup aktif, namun setelah saya pikir-pikir lagi rasanya banyak perokok aktif yang tidak sakit juga, ya rokok salah satu faktor pemicu juga tapi bukan inti. Duh pokoknya saya tidak tahu. Saya hanya berdoa semoga semua baik-baik saja sesuai dengan rencana Allah. Sudah. 

Kalian tahu kan, apabila memulai hari dengan suatu perasaan negatif maka rasanya semua energi negatif jadi ikutan merasa diundang, nah itu yang terjadi hari ini. Rasanya saya seperti membawa satu kaca pembesar dan men-zoom-in semua pandangan saya, sehingga melihat semua serba detail. Ada baiknya hingga akhirnya saya aware dengan keadaan sekitar, namun akhirnya saya jadi kewalahan karena capek semua terlihat buruk. Kembali lagi ini masalah jarak pandang dan cara memandang sih, ya ya saya tahu. Saya serta merta menyadari beberapa hal yang sengaja tidak saya kulik lebih dalam karena takut. Padahal bukankah ketakutan itu seharusnya semakin didekati hingga semua jelas sebenarnya apa yang membuat takut? Saya sedikit tersentak kaget dengan keadaan kalau saya sudah tidak lagi bertumbuh karena merasa inilah comfort zone saya. Padahal setelah saya telaah, comfort zone ini bukanlah kenyamanan yang sedemikian nyamannya bagai rahim Ibu namun segala hal yang sudah saya kenal dan familiar saja. Ketakutan-ketakutan saya akan perubahan karena harus beradaptasi lagi dan pasti harus belajar dari awal lagi. Kenyamanan yang kita kira nyaman namun sebenarnya ini hanyalah persoalan terbiasa dan kebiasaan. Saya tidak tahu sih dengan pemikiran ini apakah saya menjadi tidak bersyukur?

Hal kedua adalah saya sedang dalam stage berusaha melihat segalanya realistis namun pandangan saya malah bias, kabur dan tidak lagi menemukan garis pemisah tipis antara realita dan mimpi. Seperti berlari-lari menuju mimpi namun realitanya harus sedemikian adanya, hingga agar tetap waras saya harus menjaga diri agar tetap realistis. Duh saya tidak tahu bagaimana cara mendeskripsikannya dengan mudah. Mungkin begini momennya ketika saya berkata pada diri saya: “Anjing, mamam deh tuh mimpi!” 

Kata orang, kenikmatan terakhir yang dimiliki oleh anak muda adalah idealisme, lalu serta merta saya merasa pahit sendiri karena idealisme itu hanya akan menjadi 'ideal' saja tanpa bisa kita raih, mungkin hanya mendekati. Kemarin tiba-tiba saya tersadar dari seorang teman yang sedang bekerja di Taiwan bahwa dia pun memiliki pergulatan sendiri yang kurang lebih tidak jauh beda. Mungkinkah usia-usia saya ini adalah usia berdarah-darah menyelaraskan idealisme dan realitas? Karena itu sungguh bertolak belakang dan saya tidak tahu bagaimana mendamaikan keduanya dalam diri saya. Pergolakan yang pasti dimiliki karena ada masanya menjadi sedemikian riuhnya pertanyaan kita dan harus disederhanakan dengan berpikir setuntas-tuntasnya. Lalu datanglah sebuah pencerahan di suatu garis waktu tertentu, entah datangnya terlambat, lebih awal atau malah tidak sama sekali dan memulai suatu perubahan adalah kesulitan yang nyata. Di setiap mimpi pasti ada rasa-rasa tolol karena merasakan aliran penggerak yang tak disangka-sangka hingga akhirnya yang terbaik adalah mengikuti arusnya dan menjalani jalan-jalan yang sudah ditetapkan.

Hari ini saya menemukan sebuah ayat kecil Yakobus 4:14b-15, begini bunyinya: Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap. Sebenarnya kamu harus berkata: “Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu."

Sedikit bengong karena menemukan ayat ajaib ini, kok bisa sekebetulan itu. Mungkin ini bukan kebetulan tapi wahyu. Tsah. Uap itu sesuatu yang bisa dilihat namun cepat menghilang juga. Lalu hidup disamakan dengan uap yang bisa hilang cepat hingga semua kembali lagi pada Tuhan. Aduh kepala saya pening sekali. Dalam hidup ini banyak sekali yang tidak bertahan lama, kita tahu itu. Lalu bisa saja seseorang merasa bahagia dengan hanya mendapatkan sedikit dari hidup karena sudah merasa terbiasa dan takut keluar dari zona nyaman. Entah itu bersyukur dengan keadaan atau semata-mata bodoh saja. Bukankah Tuhan juga menginginkan kita bahagia dan menjadi penuh dalam hidup? Entahlah. Saya tidak bisa membedakannya.

Lalu kata penulis favorite saya Paulo Coelho, melepaskan mimpi adalah kedamaian. Hidup seperti Minggu sore, ketika kita tidak menginginkan sesuatu yang luar biasa. Saat itu kita merasa inilah menjadi dewasa meninggalkan impian masa muda dan mengejar pencapaian pribadi dan profesional. Kita sudah merasa cukup meski di nurani kita telah menyerah pada impian kita. Lalu impian malah mati dan merusak jiwa dan hanya kematian yang dapat membebaskan kita dari segalanya, mendamaikan segalanya. Hingga sebenarnya yang membunuh mimpi kita adalah diri kita sendiri yang takut berjuang sekuat tenaga. Seperti Minggu sore, suasana tenang nyaman namun besok pada akhirnya harus terus berjuang. Keindahan yang terselubung dan jangan kira perjuangan bukanlah sebuah keindahan. 

Baiknya saya catat dan saya ingat baik-baik bahwa: Janganlah berhenti bermimpi. Dan berjuanglah untuk mendapatkannya karena itu adalah upaya mengasihi diri sendiri. Dan baiknya juga besok saya ke kantor pakai sedikit make up dan eyeliner karena mata saya sudah sembab luar biasa.

15.5.16

Seandainya nih ya,







Seandainya saja tidak ada sejarah kau dan dia
Apakah kita akan tetap punya rasa?

Seandainya jarak itu hanyalah fatamorgana
Dan waktu bukanlah soal penyekat
Akankah hati kita tetap mencinta?

Jikalau memang kamu bajingan
dan seandainya saya ini jalang
Yakinkah kamu kita seimbang?

Seandainya misi kita sama
Apakah kita sejalan?

Sandainya kamu tidak mengecup sepi
Dan saya terbiasa sendiri
Apakah kita akan saling mengusik
dan bermain api?

 Kaohsiung, 2012

new post

ganti blogspot

 YAK  pemirsah, maapin banget nihh udah ga punya blog.com karena......hhh yaudahlah kayaknya gapapa hehe. tadinya aku mau melatih pemikiran ...