28.12.19

Libur Natal dengan Degdegan Kecil







Mengunjungi Jawa Barat artinya pulang ke kampung halaman. Mengunjungi Bandung artinya pulang pada kota kelahiran dan bernafas menikmati udara adem-adem yang menyenangkan. Bandung sekarang macet sekali dan menguji kesabaran untuk setiap pergi ke sana-sininya. Lalu kata tanteku, "Ya sudah, dinikmati saja macetnya." Iya juga sih, menikmati kemacetan Bandung dengan membuka jendela mobil dan membiarkan angin dingin masuk lalu berkata dalam hati: 'Apakah suatu hari nanti bisa menetap di Bandung?' Aku tahu sih, jawabannya sudah pasti tidak karena semua keseharianku di BSD-Jakarta. Namun, tentu kita selalu bisa meromantisir kota dengan berpikir, kalau aku beneran jadi warga lokal seperti apa ya rasanya? 

Libur Natal ini sebenarnya tidak selow-selow amat karena aku harus membereskan essay kuliahku yang banyak itu, lalu memikirkan abstrak thesis, lalu sedikit khawatir apakah bisa mengerjakannya dengan baik atau tidak. Lalu aku jadi berpikir mungkinkah aku akan selalu sedikit-sedikit khawatir tentang hari depan?

Dua hari sebelum Natal aku berkeliling Bandung dan duduk mengerjakan tugasku dengan adikku yang juga sibuk kerja. Sebenarnya tugas kuliahku  ini simple hanya memberikan tanggapan kritis akan pemikiran Sigmund Freud. (Meski pasti tanggapan kritisku jadi mentah-mentah apaaaaan banget aku gak puas tapi otakku udah senut-senut). Menurut Freud, agama adalah neurosis dan ilusi. Aku suka dengan pemikiran Freud tentang agama ini karena menurutku menarik sekali terlepas bahwa ia adalah seorang atheis dan tidak mempercayai Tuhan. Baginya orang yang percaya Tuhan dan memeluk agama lalu menjalankan ritual seperti orang neurotik/sakit jiwa (haha). Menurutku lucu juga ya, karena agama rasanya kini sangat rentan dihajar banyak issue dan seseorang bisa sebegitu fanatiknya akan satu kepercayaan apapun itu. Mengacu pada agama yang dikatakan sebagai ilusi-karena hanya memberikan perasaan aman yang sumir-sumir bahwa akan ada Tuhan yang lebih besar akan selalu melindungi kita dari bencana dan Takdir, menurut Freud itu seperti trauma kanak-kanak yang meminta perlindungan pada ayahnya karena merasa tidak berdaya. Menurutku, Freud barangkali gemas dengan orang-orang sekitarnya yang memuja agama dan kepercayaan sebagai suatu kebenaran tunggal mengingat keluarganya adalah Yahudi dan harus sembunyi-sembunyi menjalankan ritual agama dari ancaman agama Kristen pada masa itu. Pasti lelah, harus terus menjalankan agamanya, tapi ada agama lain yang memberikan 'tekanan' pada orang lain demi peradaban Eropa yang begono begini. Rasanya pemikiran suatu tokoh tidak bisa lepas dari pengalaman historis seseorang pada masanya dia hidup karena pasti dia akan mengidentifikasi kejadian pada zamannya. Lalu, untuk urusan agama dan kepercayaan menurutku kembali lagi pada pemahaman seseorang. Apakah dia memilih untuk memandang dari kacamata intelektual ataukah reflektif? Kalau intelektual pasti rasio dan logika bermain di dalalamnya, sedangkan pengertian reflektif artinya menghadirkan Yang Transenden dalam setiap pengalaman yang terjadi. Ada iman di sana. Jadi, bisa dipilih gitu menurutku. Sehingga besok-besok kalau mau diskusi agama, bisa banget nih membedakan mau ambil dari sudut pandang yang manakah.



Bandung dan segala keramah tamahannya, suasana yang adem tapi aku sedang degdegan kecil dan perasaan rawan menyelindap. Mungkin khawatir hari depan, tugas kuliah yang deadline semua jatuh di akhir tahun dan awal tahun 2020. Aku dan adikku memilih anteng duduk-duduk di sebuah cafe kecil dekat ITB namanya Yumaju. Aku memesan Cappuccino double shot yang ternyata sudah double shot dari sananya sehingga aku tidak perlu tambah espresso atau apapun lagi. Lalu, adikku memesan Hot Americano, tapi aku lupa beans nya namanya apa ya. Kami duduk dan membuka laptop masing-masing bekerja. Aku memikirkan baik-baik akan essayku yang njelimet ini hingga kesal-kesal sedikit. Lalu jadi berpikir bahwa aku terlalu menarik diriku dan tinggal di masa depan sehingga lupa duduk menikmati masa ini, atau aku menarik mundur diriku di masa lalu berusaha memperbaiki ini itu. Padahal harusnya memang saat inilah yang pantas dinikmati, ya kan? Sepertinya aku gak bakal lulus-lulus jadi mindful kalo begini caranya. 

Pernah beberapa waktu aku ngobrol dengan teman kuliahku bahwa rasanya Desemberku tidak memberikan hawa libur dan damai sejahtera Natal. Aku hanya merasa rawan dan terburu-buru. Lalu, kata temanku dia berkata memang sebenarnya Natal bisa jadi adalah masa di mana rasa rawan dan rapuh itu terjadi, karena Bunda Maria hamil tua dan melakukan perjalanan panjang ke Betlehem. Pasti was-was dan khawatir akan melahirkan di manakah, bagaimanakah, seperti apakah rencana Tuhan bekerja. Mungkin ini hanya interpretasi ngaco di hari Sabtu beberapa hari setelah Natal saja, jadi kurasa tidak usah diambil pusing, ok? Mungkin yang seharusnya diambil jadi jalan ninja adalah: mindfulness itu tadi. 





Kemudian sorenya aku ke Kineruku, sebuah sanctuary buatku. Kurasa surgaku sudah pasti adalah perpustakaan luas yang dipenuhi buku, lalu aku bisa berlama-lama membaca banyak buku di dalamnya. Kineruku adalah tempatku untuk tarik nafas dan hhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh yang panjang. Di sana aku memesan teh poci dengan gula batunya dan mendapatkan tempat duduk favorite menghadap taman. Senang sekali. Di sana aku melihat-lihat bukunya yang banyak sekali dengan mata berbinar (kuyakin), kemudian aku membaca bukunya Alain de Botton judulnya On Love. Buku ini manis kesel-kesel, memanjakan intelektual, dan charming sekali, tentang essay realitas cinta dan nggak picisan. Dalam buku ini yang menarik adalah pembahasan akan Heidegger tentang waktu, lalu Platonic Love, serta Marxism. Kemudian ada salah satu quote yang menarik buatku "The longing for a destiny is nowhere stronger than in our romantic life" Duh tapi belum selesai baca karena keburu pulang huhu. Apabila ke Bandung, datanglah ke Kineruku ya. 









Selama perjalanan pulang dari misa malam Natal, kurasa memang Natal adalah masa-masa berkumpul dengan keluarga, sahabat, dan orang-orang terdekat. Kalaupun tidak, kurasa Natal tetap adalah hari pelan-pelan sedunia dan perayaan sudah menjalani setahun dan masih survive. Menepuk-nepuk bahu sendiri, melihat keluar, dan mensyukuri hidup dan peristiwa satu tahun yang sudah dijalani. Tidak melulu melihat segala hal selintas dan permukaan saja, tapi berani masuk ke dalam. 

Kemudian kemarin aku jadi mendengarkan lagu Have Yourself a Merry Little Christmas dengan seksama yang ternyata artinya bukan hanya lagu-lagu coffee shop atau lagu di mall saja. Ada pesan hangat dan manis sekali yang ingin disampaikan;  damai dalam diri dari kesulitan hidup (Let your heart be light dan Our troubles will be miles away) dan kehangatan dengan orang-orang sekitar kita yang harus disyukuri. Karena ternyata mereka tidak selamanya berada bersama kita (Through the years we all be together, if the Fates allow). Lalu, bisa jadi menurutku Natal ini lebih mensyukuri semua orang yang berdekatan dan masih tinggal berada dalam hidup kita. Dan juga tentu saja bersyukur dan mendoakan untuk mereka yang pernah ada dalam hidup kita.  Selamat Natal ya <3









10.12.19

amor fati #7

Meski seminggu kemarin padat dan dipenuhi dengan perpindahan, aku menemukan hal-hal tidak terduga. Ternyata kita memang perlu pergi sejenak saja keluar dari rutinitas. Melepaskan diri dari diktat buku kuliah yang menanti dibaca. Tumpukan buku yang menunggu untuk bisa dibaca dan dirivew. Ternyata tubuh dan pikiran kita butuh tempat dan kota baru yang jarang dijelajahi. 
Cirebon buatku adalah kampung halaman, bagaimana tidak? Setiap tahun aku harus melewati Cirebon menginap semalam untuk akhirnya melanjutkan perjalanan ke Ciamis. Bagiku Cirebon adalah kota persinggahan untuk duduk-duduk sebentar makan empal gentong. Memang tidak begitu mengerti mengenai kota tersebut karena panas sekali sampai 34 derajat lalu kerjaanku adalah mencari minuman manis dingin dan keinginan untuk kopi yang meningkat dari biasanya. 

Di luar dari kenyataan bahwa Cirebon itu panas, aku suka melihat kota dan aktivitasnya. Kadang saat bepergian aku terlalu fokus dengan diriku sendiri, dengan perasaanku, dengan pikiran yang tertinggal, pekerjaan, kuliah, tanpa akhirnya aku bisa mengamati lebih bahwa kota ini memiliki kecepatan yang berbeda dengan Jakarta. Kota ini sedikit melambat, dengan jalan raya yang mengecil, logat bicara Jawa-Sunda, ice cream durian yang wanginya ke mana-mana (tapi aku gak suka durian). Hal yang menarik dari Cirebon adalah bisa jadi kota ini masih malu-malu menunjukan dirinya karena kesan pertama itu panas. Aku penasaran mungkinkah di kota ini ada kedai kopi yang nyaman untuk duduk-duduk, es kopi yang lokal banget gak dengan merek kinclong Jakarta. Lalu, adakah skena-skena musik indie yang asik ala Cirebon banget yang anak muda banget. Adakah toko-toko buku alternatif di sini dan komunitas-komunitas baca yang mungil dan intim. Penasaran kan? Kalau kota bisa jadi tidak hanya sebuah kota saja dengan panas 34 derajat tanpa ada siapa dan apa yang bisa dikulik dan kenal lebih dalam. 

Hal personal yang menurutku menarik dari Cirebon adalah hadiah jeda buat kepalaku yang sedang ruwet 24/7 non stop, lalu perhatian yang mulai lelah, kebutuhan akan butuh suasana baru untuk memberikan jarak pada banyak hal yang terus-terus beradu dan mantul aja ke sana ke mari. Untunglah jarak selalu bisa menjadi obat yang baik. Memberikan jada, hingga rasanya bisa nafas lagi. Ternyata hal yang aku rasakan dan realitas tidaklah sinkron. Kadarku perasaanku berlebihan sehingga aku sering nyemplung ke dalam. Padahal tidak rumit, semata-mata menjadikan yang ada menjadi apa adanya, ada itu sendiri.

Ada satu perikop bagus dari diktat kuliahku yang aku suka, begini bunyinya: Individually, by the single human being alone for himself, to gain some insight into own misery and need, into his own limitation." —Nietzsche. 

Ya begitulah kira-kira. 

22.11.19

amor fati #6

Desember pelan-pelan mengampiri di dapan mata. Tidak merasa khawatir ataupun terlalu senang. Apakah semakin dewasa jadi lebih sering memiliki perasaan yang biasa saja (yang penting tidak capek dan tidak stres) kurasa sudah lebih cukup. Apakah ini yang dinamakan dengan mengatur perasaan sendiri, kalau kekecewaan adalah hal yang lumrah dan penolakan adalah bagian dari hidup yang juga tidak bisa ditolak. 

Apakah mungkin seperti Nietzsche bilang kalau pengalaman dalam hidup seperti penderitaan tidak bisa diiyakan atau ditidakkan, tidak bisa disetujui dan tidak bisa dinegasi. Lalu bagaimana menyikapinya? Dengan menjalani saja dan menerima sesuai dengan porsi realitasnya. Bisa jadi dengan terus menerus reality check itu juga bagus karena bisa jadi ada banyak hal-hal usang yang ada dalam hidup kita namun masih saja menggelayut. 

Pertengahan November ini tidak bisa tidak sibuk, namun setidaknya ia tidak seperti Oktober yang chaos. November ini rasanya seperti bepergian sibuk ke sana kemari, namun dijalani dengan ikhlas dan satu-satu melepaskan 2019. Lagipula sebenarnya keberwaktuan ini bisa dimaknai banyak. Pendek dan panjangnya bisa diatur sesuai dengan keinginan, pun apabila dirasakan panjang sekali toh ternyata banyak harapan dan kejutan di sana-sini. Memang baik rasanya kalau bisa benar-benar sadar pun ketika sedang sibuk atau sedang bersedih, sehingga kesadaran itu bisa membangunkan diri dari siklus sibuk dan sedih yang di situ-situ saja. Jangan-jangan, kelegaan itu ada pada mereka yang menemukan sendiri cerahnya langit setelah badai. Sedahsyat apapun. 

13.10.19

Hari Minggu dan Percakapan







Aku selalu protektif dengan hari Mingguku. Aku ingin bisa menikmatinya pelan-pelan saja, tidak terburu-buru, tidak perlu mandi kepagian, masih mengenakan pakaian rumah yang belel, minum teh hangat di balkon dan membaca. Aku selalu ingin bisa menikmatinya dengan lambat-lambat di tengah orang terdekat dan kusayangi. Mendengarkan cerita keseharian mereka selama seminggu, makan siang bersama, dan bertukar cerita tentang rencana dan mimpi mereka.

Terkadang kita selalu lupa akan hal-hal remeh temeh yang kita punya karena dianggap sudah terlalu biasa, sehari-hari dan mudah didapatkan. Tanpa kita tahu bahwa hal-hal yang kecil-kecil itulah yang menyusun kehidupan kita. Ternyata memiliki percakapan itu adalah hal yang mahal untuk dimiliki seseorang. Setiap orang bisa memiliki percakapan, namun tidak esensinya. Pengalaman yang berbeda, menciptakan keharuan bahwa langkah yang baik adalah dengan jujur dan mengkomunikasikan dengan baik. Apapun itu. Itikad menginginkan semuanya gamblang, jernih dan dibutuhkan kerendahan hati untuk menurunkan ego.

Dari percakapan yang tepat kamu akan menemukan perasaan lega luar biasa. Ada proses sembuh yang dilalui dan kesadaran pun muncul: bahwa perjalanan masih panjang. Kesigapan tetap diperlukan; dengan sudut pandang berbeda. Semua mengalir tak pernah sama. Lalu aku jadi tersadar bahwa aku pun akan terus berbeda dari aku yang kemarin. Aku berubah dan bertumbuh. Keabadian menjadi konsep dan bukan milik kita. Jalan yang ditempuh panjang, berliku, dan tentu tak mudah. Namun, lihatlah jalan ini dan pepohonan di sisi-sisinya tetap hidup, tumbuh, rindang, dan hijau. Kira-kira siapakah yang setia melindungi dan memelihara?








18.8.19

Vegetarian: Cerita tentang Perempuan





Kucing peliharaan tetangga gemar sekali nongkrong santai di balkon rumahku sambil sedikit-sedikit mengantuk. Padahal sudah aku usir berkali-kali karena khawatir dia keasyikan dan tidak mau pulang lagi. Namun, dia tetap asyik tiduran di balkon rumahku dan menemaniku membaca. Kemarin aku memutuskan untuk membaca Vegetarian (2007) karangan Han Kang. Aku sudah mendengar bahwa buku ini buku yang alurnya gelap dan mencekam. Buku ini sudah dibicarakan sedari lama, namun sepertinya memang kegemaranku aalah membaca buku yang sudah lewat-lewat, mengingat menurutku buku itu lekang waktu dan bisa dinikmati kapan saja. Tidak ada waktu yang terlambat untuk membaca sebuah buku menurutku. Semua buku akan menemukanmu tepat pada saatnya. Jadi, tenang dan bacalah sesuai keinginanmu. 

Memutuskan untuk membaca Vegetarian karena secara tidak sengaja buku ini tertimbun di rak buku dan terjatuh karena rak bukuku sudah kepenuhan. Aku membaca versi terjemahan bahasa Indonesia karena versi bahasa Inggrisnya habis terjual. Aku sebenarnya selalu menolak untuk membaca buku terjemahan asing, tapi ternyata untuk buku ini terjemahan dan pemilihan katanya pas. Namun, ada sih satu hal yang membuatku penasaran dari terjemahan bahasa Indonesia buku ini. Mengapa dia memilih kata "wanita" daripada "perempuan"? 

Hal yang menarik dari Han Kang adalah dia memiliki gaya bahasa yang unik karena menggambarkan suatu kejadian dengan intens tapi 'dingin'. Kekuatan penulisannya terdapat pada kekuatan karakter utamanya yang digambarkan dengan jarak dengan misterius. Seolah karakter lainnya ada dalam cerita untuk mempertanyakan karakter utama, mengumbar rasa penasaran mereka, menceritakan tragedi dengan reaksi hiperbola, dan ikut menekan-nekan perasaan pembaca. Di pembukaan bab pertamanya, Han Kang menyuguhkan cerita dari sudut pandang suami Young Jae, yang sempat membuatku senyum sendiri karena ia menggambarkan betapa pasif dan submisifnya Young Jae.

Aku menikahi dia karena dia tampak tidak memiliki pesona ataupun kekurangan khusus. Aku merasa nyaman dengan sifatnya yang biasa-biasa saja, yang tanpa daya pukau atau kesengsaraan. Aku tidak perlu sok hebat untuk mendapatkan hatinya, tidak perlu tergesa-gesa karena takut terlambat saat ada janji dengan dia, serta tak punya alasan untuk merasa percaya diri kerika membandingkan diri dengan laki-laki di majalah mode. (hal.5-6).
Pada tulisan awal ini kurasa aku langsung AHA! Penggambaran peranan perempuan yang biasa-biasa saja agar membuat nyaman dengan pemenuhan peranan istri dari memasak, membereskan rumah, yang tidak menuntut, pendiam, dan pasif digambarkan sebagai peranan perempuan yang dinormalkan. Kemudian cerita pun mengalir dengan keputuasan Young Jae yang suatu hari bermimpi dan memutuskan untuk tidak makan daging dan menolak untuk memasak daging. Sampai akhirnya saat suaminya mengajak makan bersama dengan atasan dan teman-teman kantornya Young Jae pun menolak untuk memakan daging. 

Aku memang tidak terlalu paham dengan kebudayaan, makan, dan kebiasaan normatif orang Korea, namun sepertinya tokoh Young Jae ini sudah melampaui norma masyarakat Korea terutama untuk perempuan. Digambarkan bahwa keluarga, teman-teman, suaminya tidak bisa menerima dan memaksanya untuk makan daging karena daging di Korea merupakan hidangan utama yang hampir selalu ada di makanan mereka. Sehingga ketika daging hilang dalam makanan artinya makanan pun tidak berasa dan menurunkan nafsu makan. Dan seperti yang kita tahu tentu kebahagiaan dan kemakmuran seseorang dimulai dari perutnya, sehingga peran istri untuk memenuhi kebutuhan dan kebahagiaan keluarga dianggap 'hilang'. 

Ternyata tidak hanya sampai di situ saja, susunan peran laki-laki yang kuat di masyarakat sungguh kental dalam novel ini sehingga suami Young Jae pun memutuskan menghubungi orang tua dan keluarga Young Jae dengan mengatakan bahwa Young Jae kini vegetarian dan menolak memasak. Keluarga Young Jae pun luar biasa heboh dan panik, terlebih lagi ayah Young Jae yang meminta maaf pada suaminya karena anaknya gagal menjadi istri yang baik. Dalam acara kumpul keluarga Young Jae 'disidang' dan dipaksa makan daging, kekerasan pun digunakan ayah Young Jae pada dirinya dengan menamparnya. 

Aku terkesan dengan penceritaan buku ini yang tipis-tipis menggambarkan perasaan Young Jae yang ditekan dengan pilihan hidupnya. Pilihannya yang dianggap radikal karena ingin menjadi vegetarian serta menolak mengikuti tatanan norma peranan perempuan dalam keluarga serta masyarakat Korea Selatan. Bahwa ketika perempuan memilih untuk berbeda dari sekelilingnya dianggap sebagai keanomalian yang perlu disembunyikan dan diberantas. Perempuan tidak diberikan ruang bicara dan kebebasan memilih.  Bahwa seringnya kata 'tidak' dan penolakan dari perempuan jarang didengarkan. 
Wanita itu sepertinya merasa cukup puas hanya dengan mengamati semua hal yang terjadi padanya. Tidak, mungkin saja sesuatu yang sangat tragis, hal-hal yang tidak terbayangkan oranglain, sedang terjadi di dalam dirinya. Mungkin wanita itu mengerahkan seluruh tenaga agar bisa hidup berdampingan dengan hal-hal itu. Mungkin ini yang membuatnya tidak punya sisa energi untuk merasa ingin tahu atau mengamati hal-hal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. 
Yang membuat ia berpikir begitu adalah karena wanita itu terlihat seperti sedang menahan kebrutalan dan kekuatan yang tengah mengunci kebrutalan tersebut, bukan karena melihat mata yang hampa. (hal. 102-103)
Ternyata sebatas bertahan hidup juga bukanlah hidup yang sesungguhnya. Ketika hanya raga saja yang berdiam di dunia, namun gairah dari hidup itu sendiri sudah menguap tetap tidak bisa dikatakan hidup. Terlebih apabila beberapa pilihan direnggut paksa. Salah satu cara yang baik adalah menerima dan hidup berdampingan dengan hal-hal itu, kemudian mengamati diam-diam dari seberang karena tidak merasa memiliki 'kehidupan' yang dijalani oleh orang lain. 
Warna yang jumlahnya tak terhitung seperti saat ini, tentu saja sebelumnya ia juga bisa merasakan keindahan warna, tidak pernah muncul dari dirinya. Kini seakan seisi tubuhnya dipenuhi warna-warna yang kuat, seolah ia tak dapat menahan kekuatan itu lagi sampai akhirnya semua warna menyembur ke luar. Ia hadir dengan sangat intens. Perasaan baru yang sebelumnya tak pernah ia rasakan sekali pun. (hal.120)
Kakak ipar Young Jae menggambar tubuh Young Jae dan membuatnya semacam video semi porno dengan alasan seni dan profesi. Padahal ia hanya ingin memuaskan rasa penasaran, hasrat, dan keinginannya saja. Adapun unsur kekuasaan laki-laki pada perempuan tetap terjadi bahkan di saat titik terendah perempuan sekali pun. Penggunaan tubuh perempuan yang terjadi dengan dalih profesi, seni, atau kesenangan saja. Apakah urusan kepuasan dan kesenangan laki-laki juga tetap menjadi tanggung jawab perempuan? Hingga akhirnya perempuan tetap menjadi objek saja dan akhirnya mereduksi makna subjeknya?




Menurutku novel ini unik dan intens, aku menyukai bagaimana Han Kang piawai bermain gaya bahasa. Aku jadi penasaran apakah semua penulis Asia Timur ini gemar menggunakan kiasan alam dan meminjam latar masyarakat yang angkuh dan dingin? Kiasan yang digunakan Han Kang di akhir cerita yakni keinginan Young Jae untuk menjadi pohon yang kuat menancap di tanah. Keinginannya untuk menjadi kuat dan mengakar, menyatu dan menjadi pepohonan di hutan kembali ke alam semesta.  Sebuah keinginan perempuan untuk bisa diterima keasaliannya, menjadi kuat menancap, dan terhitung di kawanannya. Terkadang aku jadi berpikir di tengah cerita-cerita yang condong maskulin, apakah cerita perempuan harus radikal dan menghantui dulu untuk bisa didengarkan? Tidakkah artinya tatanan masyarakat kita berat sebelah jikalau begitu? Menurutku, Vegetarian ini adalah karya yang demikian, mencuri perhatian. Han Kang memiliki kekayaan dalam permainan kejiwaan tokohnya yang kompleks, trauma masa kecil, dan penceritaan yang dingin seperti menyentuh dinding rumah sakit. Bacalah!





31.7.19

Membicarakan Kesendirian, Menelanjangi Kita





Kayaknya tidak ada yang bisa menyembuhkan yang namanya kesendirian. Namun, bisa jadi juga bahwa kesendirian bukanlah sesuatu yang menakutkan dan mengerikan seperti yang sering diceritakan. Bisakah kita menerima dan berbaikan dengan kesendirian kita? Karena bisa jadi kesendirian itu adalah hal yang natural dan organik, jadi baiknya setiap manusia membiasakan diri. Terkadang aku jadi curiga sebenarnya kesendirian itu menjadi terasa menyedihkan dan merana sekali karena jargon-jargon dan iklan-iklan bahwa menikmati kesendirian dan rasa sepi itu adalah hal yang aneh, tidak hype, gak seru dan tidak dicintai. Jangan-jangan selama ini kita selalu diundang untuk selalu berpartisipasi dalam keramaian dan kemeriahan semata-mata karena kemakan iklan untuk tetap beli produk. Manusia tetap makhluk konsumtif ternyata.

Kemarin ini aku selesai membaca buku Olivia Laing yang berjudul The Lonely City: Adventures In The Art of Being Alone. Menurutku buku ini memang diperuntukkan bagi mereka yang merasa kesepian di tengah-tengah kota besar; dengan melihat dari kacamata kehidupan para pegiat seni. Kehidupan seni ternyata amatlah dekat dengan kesendirian dan glamour sesaat. Terkadang digambarkan pula seperti sebuah topeng yang dikenakan, padahal seringkali mereka 24/7 berjuang melawan depresi dan perasaan tidak diinginkan. 

"Loneliness is difficult to confess; difficult too to categories. Like depression, a state with which it often intersects, it can run deep in the fabric of a person, as much a part of one's being as a laughing easily or having red hair." //p.4

Mengakui bahwa kesendirian sedang dirasakan dibutuhkan sebuah keberanian untuk meletakan seluruh perasaan dan diri di atas meja. Menunjukannya dengan santai dan apa adanya, bahwa inilah diriku yang sebagaimana adanya. Barangkali bisa dibilang itu juga sebuah penerimaan diri yang total. Menyadari dan mengakui suatu state dalam hidup yang ternyata tidak bisa datar-datar saja. 

"There were things that burned away at me, not only as private individual, but also as a citizen of our century, our pixelated age. What does it mean to be lonely? How do we live, if we're not intimately engaged with another human being? How do we connect with other people, particularly if we don't find speaking easy? Is sex a cure for loneliness, and if it is, what happens if our body or sexuality is considered deviant or damaged, if we are ill or unblessed withbeauty? And is technology helping with these things? Does it draw us closer together, or trap us behind screens?" // p.5

Banyak profesi yang berusaha untuk dapat mengeksplor kesendirian ini karena memang sebuah karya akan dipikirkan dari hal-hal personal yang dilakukan sendirian tidak berbondong-bondong. Namun tentu upaya meromantisasi kesendirian kerap kali menghilangkan esensi 'dingin' dan perasaaan tidak diinginkan di dalamnya. Penggambaran kota yang ramai, dengan perasaan lengang dan sepi yang dirasakan mampu membuat perasaanku ikut bersedih ketika membaca buku sendiri hari Sabtu di sebuah kedai kopi. Kurasa meromantisasi kesendirian memang hal yang paling mudah dieksplor dalam seni terutama seni kontemporer.Aku jadi curiga orang-orang urban memang merayakan kesepian selama 24/7 non stop. Tentu masih dengan pengalihan instan pengusir rasa sepi dan bosan. Seolah kita tidak diberikan kesempatan untuk melamun dan menyendiri. Kebutuhkan untuk terus update dan terkoneksi seperti kucing hitam yang mengintai dari kejauhan. Kita tidak bisa berlari-lari dari kesendirian karena tidak akan ada yang bisa, seperti yang dikatakan oleh Epictetus yang menulis: 'For because a man is alone, he is not for that reason also solitary; just as though a man is among numbers, he is not therefore not solitary.' 

Aku jadi teringat ketika duduk sendirian menonton film di bioskop. Tidak ada yang salah dengan menonton sendiri menurutku, apalagi kalau memang kamu suka sekali nonton film, lagi pula di bioskop nonton dan gelap kan? Seharusnya menyenangkan dan tidak terganggu. Namun, entah apa yang terjadi pada hari itu aku tidak merasa demikian, karena aku serasa 'sendiri dan dingin'. 

"She finally burst out: I don't know why people think of hell as a place where there is heat and where warm fires are burning. That is not hell. Hell is if you are frozen in isolation into a block of ice. That is where I have been." //p.26

Membicarakan kesendirian tidak hanya artinya sebuah ketiadaan yang menemani, namun sebuah pengasingan manusia oleh karena konstruksi sosial juga. Seperti anggapan pandangan masyarakat yang berbeda dengan kenyataan diri, bahwa terkadang hal-hal yang dibuat ideal dalam masyarakat seringnya membatasi manusia dalan sebuah kotak. Ketika diri berbeda dengan lingkungan sekelilingnya sangat mungkin menimbulkan rasa asing dan isolasi. Di situlah alienasi terjadi.

Kesendirian tidak bisa dibicarakan karena seperti tabu yang membuat semua jengah. Sepertinya tidak ada obat dan perilaku orang sekeliling yang pas. Rasanya memang sesuatu yang terjadi di dalam, tidak bisa dilakukan beramai-ramai. Harus diri seniri yang menghadapi dan menyelaminya. Duduk berdua, tatap mata, dan mengobrol baik-baik. Menjelaskannya dengan rinci bahwa beginilah keadaan yang hanya perlu diterima. 







/ / /









24.2.19

Merekam Percakapan Sebuah Kota





Bergulat dengan hidup barangkali salah satunya adalah dengan menolak untuk terus menerus tidur-tiduran ayam di tempat tidur saat sedang flu dan hari mendung. Memilih untuk duduk-duduk santai di balkon, melihat tanaman Ibu, menyesap teh hijau, lalu membaca buku menjadi salah satu pilihan kegiatan yang menyegarkan pikiran dan tidak berisik. Kita selalu memiliki banyak pilihan dalam hidup, namun manusia cenderung memilih yang itu-itu saja sebagai ungkapan alami atas dirinya.

Tetap bertahan dengan alasan yang sama yakni: waktu dan distraksi teknologi, aku kembali memilih buku yang tipis-tipis untuk bisa dibawa enteng ke mana-mana dan kujadikan sebagai sebuah buku fiksi pertama yang kubaca di tahun 2019. Kurasa aku terlalu optimis dengan jumlah bacaan tahun 2019 ini karena seringnya aku hanya duduk bengong memandang layar handphone dan membaca berita di twitter atau line today. Kurasa aku berkembang menjadi pembaca buku yang praktikal dan 'mau tak mau' harus membaca bukan karena dari ketertarikan untuk membaca buku tersebut, namun ada perasaan merasa perlu membaca karena FOMO (fear of missing out hahahaha gila). Padahal perlu disadari bahwa setiap buku ada penikmatnya sendiri dan kamu tidak perlu menjadi merasa bersalah kalau kamu gak cocok sama Haruki Murakami dan hanya suka buku essaynya What do you talk about when I talk about writing? dan novel absurdnya yang berjudul Kafka on the Shore saja. Sudah-sudah, tidak semua buku diciptakan untuk kamu, kok hehe.

Beberapa waktu lalu aku baru saja menyelesaikan buku kumpulan cerita  Umar Kayam berjudul Seribu Kunang-kunang di Manhattan. Bukunya tipis-tipis saja dan enak untuk dibawa ke mana-mana karena tidak besar. Dalam buku ini dipenuhi dengan percakapan-percakapan dengan kedekapan antar personal yang berbeda-beda. Percakapan yang timpang satu sama lainnya, percakapan yang mendominasi untuk sebuah tujuan adapun percakapan yang ngawur tidak diketahui kebenarannya. Ada sebuah kebutuhan dalam tokoh-tokoh cerita untuk saling bertukar pesan. Lalu, aku suka sekali dengan cerpen Seribu Kunang-kunang di Manhattan. Percakapan Marno dan Jane akan hal yang itu-itu lagi, kebosanan mereka, dan kerumitan hubungan mereka sebagai pasangan.

"Bulan itu ungu, Marno."
"Kau tetap hendak memaksaku untuk mempercayai itu?"
"Ya, tentu saja, kekasihku. Ayolah akui. Itu ungu, bukan?" 

Adapun salah satu cerita di dalam buku ini yang menurutku menarik; berjudul Istriku, Madame Schlitz, & Sang Raksasa. Ketika istri si tokoh utama yang luar biasa bosan dan ngeri dengan New York kota besar. Bagi istrinya New York adalah salah satu raksasa pemakan manusia. Kemudian sang istri bercerita pada suaminya bahwa ada tetangga mereka yang bernama Madame Schlitz yang amat sangat nyentrik. Sang istri dan Madame Schlitz pun akhirnya bisa saling berteman dan bercerita karena saling penasaran satu sama lain. Lalu, terbentuklah percakapan-percakapan di kota besar yang acuh itu.

Istriku tahu sekarang, siapa Enrich itu. Rupanya Madame Schlitz tahu kalau nama Erich masih perlu penjelasan.
“Semua yang aku cintai bernama Erich, Nyonya. Suamiku bernama Erich, anjingku bernama Erich, dan kalau aku punya anak laki-laki, namanya akan Erich juga.”
“Itu sungguh menarik, Madame.”

Hidup yang dipenuhi oleh percakapan-percakapan menandakan kita adalah makhluk komunal dan sosial yang membutuhkan orang lain untuk kita tetap bisa bertahan dan mewaraskan diri. Bahwa tetap kita membutuhkan orang lain untuk menjadi teman bicara dan memiliki percakapan. Apakah kini percakapan adalah barang yang mahal karena kita cenderung membicarakan diri sendiri yang itu-itu lagi. Apakah pertukaran percakapan adalah bentuk kemewahan karena kita mencipta barikade dalam diri, mencipta jarak guna pertahanan diri.

Aku rasa setiap karya yang dilahirkan berasal dari sebuah tragedi. Entah tragedi itu besar dan berdarah-darah ataupun dia tragedi yang tidak disadari karena sudah terlalu biasa. Tragedi yang menurutku alus banget adalah kehilangan percakapan. Percakapan yang bisa jadi tidak dimiliki setiap orang karena kita sudah egois dan abai dengan orang lain atau karena kita sudah ketakutan memiliki hubungan yang lebih dalam dengan orang lain. Menurutku Umar Kayam mampu menyuguhkan frame cerita tersebut dia mampu membungkus tragedi dan realitas ini di tengah hal-hal yang kita anggap keseharian dan biasa-biasa saja. Bacalah!

new post

ganti blogspot

 YAK  pemirsah, maapin banget nihh udah ga punya blog.com karena......hhh yaudahlah kayaknya gapapa hehe. tadinya aku mau melatih pemikiran ...