5.10.11

Hidup Setegas Kentut (part 3)


…Wah, anak Ibu sudah besar yah?...
            Itulah yang paling sering dikatakan oleh ibuku. Apalagi saat aku sudah menginjak masa-masa SMP. Masa SMP merupakan masa yang cukup  berat bagiku oleh karena aku anak guru SMP sehingga aku harus lebih mawas diri. Bukan berarti aku tidak bisa menikmati masa SMP tapi tetap aku  harus behave, jaga diri. Jangan sampai aku melakukan tindakan aneh-aneh karena pasti akan mengguncang dunia. Sungguh terlalu. Menurutku bukanlah sesuatu yang mudah ketika bersekolah di tempat orang tua kita bekerja. Ketika sebuah nama harus dijaga baik dan banyak orang yang pastinya mempunyai perhatian lebih karena ‘anak guru’.
            Hal yang paling berat adalah ketika orang lain tidak bisa melihat diri kita sebagai manusia biasa. Seorang anak perempuan remaja biasa yang sedang bertumbuh. Manusia yang bisa salah dan punya kelemahan. Sehingga terkadang perlu dipikirkan 1000 kali dalam melakukan sesuatu.
            Kebetulan kelemahanku terletak pada ilmu pasti. Aku rasa otakku bak ingin meleleh dan belecetan ke mana-mana saat pelajaran matematika. Walaupun saat SMP nilaiku tidak jelek-jelek namun aku harus berusaha lebih keras di pelajaran logis-matematis ini. Untungnya dalam hal berbahasa aku cukup bisa menguasai, sehingga bebanku sebagai guru anak Bahasa Indonesia tidaklah terlalu berat. Nah, kalau aku tidak bisa dalam pelajaran Bahasa Indonesia: Apa kata dunia?
            SMP adalah mmasa-masa di mana aku mulai bergolak dan mencari-cari jati diri yang pas. Aku terkadang suka mempertanyakan akan arti keberadaanku. Aku diciptakan Tuhan untuk apa? Mengapa aku dilahirkan di dunia? Banyak hal yang membuatku semakin dewasa dari hari ke hari. Dari segi iman aku aktif ikut organisasi Putri Sakristi dan sempat jadi ketuanya. Dengan bergitu semakin bertambah besarlah aku dari segi mental dan spiritual.

…Katanya masa SMA masa indah?...
            Pepatah yang mengatakan masa SMA indah ada benarnya namun ada juga yang salah. Itu menurutku saat aku masih kelas 1 SMA. Tugas banyak. Nilai MAFIAku terbakar dalam lautan asmara. Aku dari awal sudah bertekad untuk masuk Bahasa namun aku harus menyelesaikan satu tahun penuh darah.
            Dengan wali kelasku yang mood-moodan membuat aku makin sebal dengan sekolah. Di mana aku sebagai seorang murid merasa direndahkan karena bakatku tidak berada di matematika dan fisika. Apa hanya karena aku tidak bisa di pelajaran tersebut maka mereka akan mengecapku sebagai orang tidak sukses? Apa karena aku tidak bisa berpikir logis-matematis dengan sesuatu yang rinci dan runut, maka aku sudah pasti termasuk golongan bawah? Itulah yang selalu aku pertanyakan selama SMA.  Hingga akhirnya aku sungguh mempunyai niatan akan menunjukkan pada orang lain bahwa: Gue bisa sukses dengan masuk bahasa daripada elo-elo semua!
            Kadang aku tidak bisa mengerti dengan beberapa pemikiran yang mengatakan bahwa jurusan ini salah, bakat ini tidak akan menghasilkan kesuksesan dan anak ini termasuk anak terbelakang karena dia tidak bisa matematika. Kenapa yah? Bukankah manusia itu sudah diciptakan dengan porsinya masing-masing, dengan kelebihan dan kelemahannya masing-masing hingga akhirnya kita bisa melaksanakan tugas yang sudah diberikan Tuhan pada kita di dunia ini. Kita, manusia masing-masing memiliki tugas dari Tuhan yang tentu saja pasti kita pun mendapatkan bekal yang berbeda juga. Mengapa sih harus menyama ratakan kelebihan orang lain dengan patokan harga bahwa ini pintar dan itu bodoh? Padahal pada akhirnya hidup kita bukan berapa nilaiku dulu saat SMA, rengking berapa, kuliah di mana. Namun pada akhirnya pertanyaannya adalah: Pesan apa yang mau kamu sampaikan pada dunia? Misi apa yang mau kamu bagikan pada orang lain? Aku rasa kok itu yang lebih penting.

***

Hingga akhirnya terinspirasilah sebuah puisi:

Hidup ini sesungguhnya apa?
Pengadilan yang tidak adil?
Ketok palu dan putuskan
Tok….Tok…Tok…Eh! Salah ketok!
Gimana dong?
Peduli setan!
(ya ampun…)
ATAUKAH
Hidup ini layaknya kentut
Alami
Manusiawi
Disadari
Dipahami
Tegas
Keluarkan
BREEET!!
Bunyi dan bau.
Lalu meninggalkan kesan bagi semua orang.

Berhubung jari-jariku sudah pegel mengetik. Kita sudahi cerita singkat ini. Dan tunggulah aku 10 tahun lagi dari sekarang apa yang akan aku lakukan. Wassalam.


Metta Asriniarti Martopranoto
2007    

2.10.11

Hidup Setegas Kentut (part 2)




......Periode Pasar Minggu (masih balita).....
            Pada periode kehidupan di Pasar minggu aku mulai bisa mengenal dan berteman dengan orang lain. Pasar Minggu memang bukanlah tempat yang sama sejuknya seperti di Bandung. Pasar Minggu itu panas dan ramai sekali. Di sana kami tinggal dekat seorang ibu haji asli betawi dan aku ingat sekali bahwa Bu Haji ini sering sekali masak jengkol. Baunya semerbak ke mana-mana.
            Saat aku tinggal di Pasar Minggu, aku mendapat seorang adik laki-laki. Tepatnya saat itu aku berusia 3,5 tahun. Sebagai seorang kakak yang baik dan bertanggung jawab aku sering jadi repot sendiri. Adikku itu lahir 10 Juni 1994, Jumat Keliwon, 1 Suro (tahun Jawa) dan bertepatan dengan hari raya Waisak. Sehingga ia pun diberi nama Aloysius Gonzaga Ilham Sidartha. Sebagai seorang kakak baru aku termasuk kakak yang manis namun ada kalanya aku sering ngambek minta perhatian.
            Sejak aku punya adik, ibuku pun mengambil pembantu baru karena Mbak Sus merawat omaku dari pihak ayah. Pembantuku yang baru ini masih kecil bernama Mbak Sarmini, berusia 15 tahun. Satu hal yang paling aku ingat dari Mbak Sarmini adalah dia punya kutu. Kutunya buanyaaaaaaaaaaak sekali... sampai berjatuhan. Haha..bohong deng! Pokoknya kutunya sangat banyak!!
            Aku dijaga oleh Mbak Sarmini saat kedua orang tuaku bekerja. Banyak hal yang kami lakukan bersama dari bermain boneka, masak-masakkan, sampai akhirnya terjadilah penyebaran agama. Ternyata penyebaran agama isalam tidak hanya dilakukan oleh pedagang Arab dan Gujarat saja melainkan oleh pembantu rumah tangga. Aku sering melihat Mbak Sarmini sholat. Ia adalah penganut islam yang taat. Aku sangat tertarik dengan  tata cara agama islam yang menurutku mempunyai estetika ritual yang tinggi. Dengan berdiri, berlutut, bersimpuh, tengok kiri kanan, jari menunjuk hingga sampai nungging-nungging pun aku rela lakoni.  Karena aku tidak tahu doa-doanya yang terdengar seperti was wes wos bagiku , akhirnya aku pun merapalkan doa Bapa Kami. Sudah pasti bisa dibayangkan betapa kagetnya orang tuaku melihat anaknya yang berdoa dengan khusyuknya.
            Aku juga punya pengalaman menyakitkan saat aku masig balita dulu. Saat anak-anak seumuranku bermain Barbie aku malah berlari-larian mengejar ayam jago Bu Haji tetanggaku. Pelajaran yang bisa aku ambil adalah ‘Jangan mengejar ayam jago tetanggamu!’
            Begini ceritanya, suatu hari saat itu kira-kira pukul 11.30. Aku sedang berjalan-jalan di depan rumahku mencari temanku si Bawi. Si Bawi itu anak laki-laki cadel yang lebih tua 4 tahun dari aku dan dia baru saja disunat. Tapi karena dia tidak suka pakai sarung karena pedih akhirnya dia memutuskan untuk telanjang setengah badan. Bisa bayangkan dong bagaimana kabar burung si Bawi ini?
            Sayangnya saat aku cari si Bawi dia lagi pergi ke Tangerang jadi akirnya aku pun bermain sendirian. Lalu tiba-tiba ada ayam jago Bu Haji lewat dihadapanku. Aku berkata dalam hati ‘Eh ayam nih!’ Lalu aku pun berjalan kearah ayam itu dengan mengendap-ngendap dan dengan ganas aku pun mengejar ayam jago malang itu. Ayam jago itu berlari-lari ketakutan dan melompat-lompat. Aku senang bukan main sampai terkekeh ngos-ngosan. Entah bagaimana caranya si ayam jago itu pun berbalik arah ke depanku. Mata ayam jago ini bengis dan sepertinya akan terjadi pertumpahan darah antara aku dan ayam jago ini. Hingga ayam jago ini pun berganti mengejarku. Kini posisinya terbalik. Aku berlarian dengan berteriak-teriak.
            Ayam jago ini sungguh gigih mengejarku. Aku mulai kelelahan lalu tersandung batu. Aku jatuh. Cuup! Aku pun dicium ayam jago Bu Haji di pipi atau mungkin lebih tepatnya dipatok ayam jago di pipi. Aku menangis pulang ke rumah dan ayam jago itu pun terlihat amat puas berbalik ke kandangnya. Itulah pembalasan dendam ayam jago.

.... Bumi Seprong Damai...
            Usiaku empat tahun saat itu. Aku harus pindah ke BSD karena Pasar minggu mulai ramai dan tidak kondusif untuk pertumbuhan anak-anak.  BSD, Bumi Serpong Damai adalah nama yang terdengar aneh bagiku saat itu. Bahkan pengucapannya pun sulit— Seprong.
            Kehidupanku di BSD sebenarnya sangat menyenangkan aku tinggal di blok P dekat gereja Santa Monika.   
            Kehidupanku di BSD amat menyenangkan. Aku dan adikku bisa bertumbuh dengan wajar dan damai. Lingkungannya pun asri. Aku menghabiskan masa-masa batitaku di BSD. Sebelum masuk TK aku masuk playgroup di Santa Angela. Di sana aku bersekolah selama setahun. Aku masih ingat akan hari pertamaku di sana. Aku menangis menjerit-jerit sampai capek dan akhirnya aku pun belajar menyesuaikan diri dengan keadaan sekitarku. Sampai akhirnya aku pun lulus dari play group dan melanjutkan ke TK Santa Ursula BSD.

...Berfoto dengan Power Rangers Item....

Aku yang berbaju pink :)
           
           Seiring dengan berjalannya waktu aku mulai mengenal dengan yang namanya televisi. Aku mulai suka dengan acara televisi anak-anak. Mulai dari film kartun Doraemon sampai film yang bertemakan pahlawan Power Rangers. Anak-anak seusiaku di sekolah TK Santa Ursula BSD mulai sering membicarakan hebohnya film tersebut. Aku sangat suka sekali dengan film Power Rangers.
            Sampai suatu kali aku diajak tanteku serta sepupu-sepupuku untuk ikut acara Temu Sapa dengan Power Rangers. Acara ini sejenis jumpa fans dengan Power Rangers. Kalau anak-anak TK sekarang mungkin jumpa fans dengan Justin Bieber aku jumpa fans dengan Power Rangers. Aku suka sekali bisa foto bareng dengan Power Rangers pengalaman yang sungguh menyenangkan menurutku. Namun sayangnya hanya ada Power Rangers warna hitam saja yaaa....mungkin kostum Power Rangers yang lain belum dijahit kali.

... Penghapus Teman Nampak Lebih Bersih daripada Penghapus Sendiri....         
            SD adalah masa-masa yang mulai jelas dan sadar akan identitas diri. Aku pun begitu. Saat itu aku baru saja masuk sekolah SD kelas 1. Aku diajar oleh Ibu Emil. Seperti anak-anak kebanyakkan aku pun pastinya punya kecenderungan setengah normal lainnya. Aku sangat tertarik dengan barang milik temanku, terutama penghapus. Mungkin sama seperti pepatah ‘Rumput tetangga Nampak lebih hijau daripada rumput sendiri.’ Itu pun sangat pas dengan yang terjadi padaku. Ada sebuah cerita nakal yang pernah aku lakukan.
            ‘Lynda, pinjem penghapus dong!’ ujarku
            ‘Oh…iya ambil saja. Aku baru beli kemarin di BSD Plaza!’ sahut Lynda. Lalu aku pun mengambil penghapus Lynda itu. Sesampainya di rumah ibuku pun mengecek buku tugasku. Aku sedang mengerjakan PR.
            ‘Metta,penghapus baru ya?’ ujar ibuku.
            ‘Iya,Bu kata temanku itu beli di BSD Plaza.’sahutku sambil mengerjakan PR.
            ‘Kata temanmu?’ tany a ibuku.
            ‘METTA! Kamu mencuri yah?’ bentak ibuku.
            ‘Nggak kok,Bu aku dikasih sama dia!’
            ‘Besok kembalikan!’ ujar ibuku . Keesokan harinya aku dan adikku pun pergi ke BSD Plaza beli penghapus.

...Terima kasih, Bu Siksa ...
            Pembelajaran yang ada terus berkembang di dalam hidupku seiring dengan bertambahnya usiaku. Tidak hanya di rumah namun juga di sekolah. Di sekolah tepatnya, anak-anak digembleng lebih keras lagi. Dengan bentuk situasi sekolah yang asing bagi anak justru membuat pembelajaran yang lebih kuat lagi untuk anak dan akan diingat selalu. Di sekolah bukanlah comfort zone yang aman karena anak dituntut untuk mandiri dan mematuhi aturan apapun itu. Ikuti saja.
            Saat aku duduk di kelas satu SD ada satu kejadian yang selalu aku ingat. Begini ceritanya, pada hari Minggu aku dan keluargaku ke rumah tanteku. Di sana minum es kelapa muda. Mungkin karena lambungnya tidak kuat atau bagaimana hingga akhirnya keesokan harinya saat di sekolah perutku melilit dan mencret-mencret. Aku pun dibawa ke UKS dan berbaring di sana. Saking tidak tahannya aku pun pergi ke kamar mandi terus dan terus, hingga aku bolak balik UKS dan WC. Hingga suatu kali tiba-tiba di UKS aku melihat ada ibu-ibu. Aku berjalan limbung ke ruang UKS dan hendak berbaring sejenak.  Saat aku  sedang jalan menuju kasur tiba-tiba terdengarlah lengkingan suara ibu-ibu itu.
            ‘HEI KAMU SINI!’ teriak suara itu dengan nada memerintah. Perempuan itu memanggilku dengan nada suara mengancam mematikan.
            ‘ Iya, kamu sini sebentar!’ sahutnya. Ia adalah Ibu Siska, dia seorang guru TU yang saat itu sedang jaga piket.
            ‘Iya,Bu?’ sahutku pelan sambil menahan rasa sakit perutku.
            ‘ Apa yang harus kamu katakan sebelum masuk ke ruangan?’tanya Ibu Siska dengan suara berbahaya. Perutku tidak bisa diajak kompromi. Makin melilit.
            ‘Hah?Mmmmm…’ Sumpah mati perutku sakit dan tidak bisa berpikir dengan tenang.
            ‘Iya kamu harus bilang apa ke saya?’ tanya Bu Siska.
            ‘ Bilang permisi,Bu?’ ujarku takut-takut ala anak SD kelas 1 yang sakit perut.
            ‘Iya begitu. Apa kamu tadi bilang permisi? Nggak kan? Sudah kamu ulang lagi sana dari depan pintu!’ perintah Bu Siska
            ‘Ulang,Bu?’ tanyaku tidak percaya namun dengan gontai sambil memegangi perut aku mengetuk pintu mengulangi.
            ‘ Ya…bagus sudah berbaring sana.’ ujarnya kemudian. Lalu aku pun bergegas ke tempat tidur.
            ‘ Hey stop kamu! Kamu harus bilang apa?’ tanya Bu Siska dengan nada jengkel.
            ‘ Makasih Bu….’ ujarku.
            ‘ Makasih ke siapa?’ ujar Bu Siska nyebelin.  Mati deh! Aku lupa namanya.  Seingatku namanya agak susah untuk diucapkan oleh anak kelas 1 SD sepertiku apalagi sedang keringat dingin sakit perut dan mencret-mencret.
            ‘ Terima kasih Bu Sik…..eh Bu Sik…ck! Terima kasih Bu Siksa!’ kataku. Aku merasa ada yang aneh dengan ucapanku itu. Sepertinya ada yang salaj kok namanya si ibu itu jadi tidak indah ya? Memang ternyata aku salah menyebutkan dari Siska menjadi Siksa. Fatalkah?
            Itu merupakan pengalaman pahit yang tak pernah kulupakan. Hingga sekarang aku tidak pernah lupa kata permisi dan terima kasih. Namun rasanya ajaran Bu Siska terhadapku si kelas 1 SD itu kuranglah tepat.

…Rumpi Kala SD….
            Masa SDku seperti anak-anak kebanyakkan, dengan segala kenakalan dan sok tahu ala anak SD. Sering kali aku dan teman-temanku anak SD ngerumpi hal-hal yang tidak penting. Seperti misalnya saat ada gosip hantu di sekolah, Mr.Gepeng aku ikut-ikutan telpon ke nomor 7777777. Aneh. Permainan lompat tali pun kerap menjadi andalan saat sedang istirahat.
            Cita-citaku saat SD buanyaaaaaaaaak sekali. Dari mau jadi guru, sutradara film, sampai jadi kasir aku pun mau. Aku ingat betul kenapa aku mau jadi seorang kasir di swalayan karena aku melihat mbak-mbak kasir memiliki banyak uang jadi aku mau deh jadi kasir. Lalu akhirnya aku berubah cita-cita lagi ingin jadi petualang yang bisa jalan-jalan ke mana-mana dengan berbagai cerita-cerita mendebarkan yang eksotis seperti di film-film Indiana Jones dan buku-buku Winnetou. Maklum Metta kecil sangat suka membaca ini itu karena aku biasanya saat SD harus menunggu ibuku pulang bekerja, jadi aku bermain-main di perpustakaan dan membaca banyak buku di sana.
            Itulah masa SD menyenangkan. Ketika tidak mempunyai beban apa-apa dan serasa hidup itu indah walaupun besok ada ulangan. Ibuku termasuk orang tua yang sangat streng aku ingat saat aku ada 2 ulangan pasti aku tidak boleh bermain pada sore harinya karena aku harus belajar. Kadang aku sebal karena anak-anak tetangga ribut dan heboh bermain di depan rumah tapi aku harus duduk di belakang meja belajar. (bersambung) 
            

new post

ganti blogspot

 YAK  pemirsah, maapin banget nihh udah ga punya blog.com karena......hhh yaudahlah kayaknya gapapa hehe. tadinya aku mau melatih pemikiran ...