15.1.18

Sebuah Isi Otak yang Penuh dengan Sampah dan Tai Kerbau, Lalu Meracau


Ciamis, Desember 2017


Aku harus cermat menghitung kalender kapan aku datang bulan bukan karena takut hamil atau menghitung masa subur. Namun aku menginginkan bisa mendapatkan sebuah antisipasi yang nyata karena hari-hari menjelang datang bulan adalah hari-hari emo sedunia. Namun aku akhir-akhir ini merasa bersedih yang tidak aku ketahui mengapa dan asal usulnya dari mana. Aku hanya merasa bersedih tanpa alasan dan salah satunya karena ada perasaan janggal seperti merasa tidak berada di tempat yang seharusnya di mana aku berada. Rasanya seperti tersesat di sebuah perjalanan. Seperti ingin bersembunyi sekaligus ingin ditemukan. Tidakkah aku sedemikian egois untuk ingin ditemukan padahal sesungguhya aku sedang bersembunyi?

Rasanya kamu tidak akan mengerti apa yang kumaksud karena aku sendiri pun tidak tahu bagaimana menjabarkannya dengan jelas. Seperti terpotong-potong antara badan, pikiran dan hati yang entah berada di mana lalu aku rasanya mengambang di ruang hampa udara. Ternyata bersedih itu tidak untuk digembor-gemborkan atau dikatakan karena manusia terlalu awkward dan jengah untuk mengetahui manusia lainnya sedang bersedih dengan perasaannya dan tidak tahu mengapa demikian. Hanya terjadi demikian saja tanpa kecuali, tanpa permisalan, tanpa andai.

Kurasa adalah sebuah momen di mana aku ingin beranjak keluar dari lingkaran namun beberapa hal masih ditarik-tarik dan tidak bisa lepas-lepas. Atau seperti makan permen karet mint yang sudah hilang manisnya, sudah seharusnya kamu lepeh tapi kok sayang eh tapi aku ingin minum teh. Itulah perasaannya. Random kan? Sudahlah pasti kamu tidak mengerti, aku pun tidak berharap ada yang mengerti. Bagaimana mungkin aku yang memiliki perasaan pun tidak mengerti, bagaimana mungkin kamu bisa mengerti? (Aku tahu kalimat ini tidak efektif tapi aku butuh filter yang luar biasa ampuh, isi otakku ampas semua.)

Seharian ini aku berpikir rasanya dari pada jadi kaya aku mau jadi bahagia saja. Aku tahu sih kalau seseorang pasti akan berkata kalau kebahagiaannya adalah menjadi kaya. Ih kok dia curang ya. Emang bisa ya kebahagiaan dicampur sama hal yang material? Material bisa menjadi penyebab bahagia, tapi bukan bahagia itu sendiri. Bukan getaran itu sendiri, karena perasaan bahagia sepertinya ada campuran kimiawi tertentu di otak.  Apakah perasaan bahagia itu bisa diukur dengan satuan apa gitu? Seperti misalnya setelah ditimbang-timbang bahagianya seberat satu kilogram jadi bisa dijual kembali sebesar sekian-sekian rupiah. Rasanya tidak.

Pasti pernah kita mendengar sebuah perkataan bahwa kebahagiaan sendiri dari bersyukur atas apa yang dimiliki sehingga tidak diperbudak keinginan. Bahwa semua yang kita miliki berasal dari keinginan kita yang terdahulu, yang sudah didoakan siang malam. Namun, seringnya pada suatu masa kita jadi menyesal akan keinginan itu karena ternyata keinginan itu tidak sedemikian okenya. Hingga rasanya aku harus berhati-hati dengan keinginan sendiri. Kamu bisa tiba-tiba berubah pikiran dan menginginkan yang lain. Aku terkadang jadi takut untuk menginginkan sesuatu karena pada akhirnya aku hanya akan menginginkan hal yang lain dan tidak bisa ditahan-tahan terus saja begitu muter-muter hingga akhirnya ladang koko cruch kejatuhan meteor coklat.

Kemarin aku sempat membaca buku essai isi renungan Haruki Murakami saat dia berlari, di situ dia berkata bahka dia tidak bisa melakukan dua hal secara bersamaan karena yang satu pasti akan menjadi lemah dan tidak maksimal; dia tidak suka itu. Lagi pula dia semenjak dahulu tidak bisa mengerjakan sesuatu yang tidak dia sukai. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk melakukan satu hal yang dia sukai benar-benar dan membuat itu menjadi prioritas. Aku jadi berpikir apakah menjadi amfibi yang hidup di dua alam itu sebuah anugerah ataukah terdesak? Anugerah karena dia bisa melakukan keduanya atau dia semata-mata melakukannya untuk survive? Apakah hidup berdasarkan pilihannya lebih baik dari pada hidup yang hanya dilakukan untuk tetap survive? Jadi apa arti hidup itu sendiri kalau tidak ada pilihan dan hanya memilih hidup semata-mata untuk kehidupan. Lalu ada satu paham Stoic yang berkata bahwa apabila tidak punya alasan lain yang bisa dibanggakan dan diperjuangkan untuk hidup, lebih baik mati saja. Gitu masa katanya. Tapi aku juga takut mati. Heu.

Seharian ini aku berencana gila-gilaan untuk kabur dan melarikan diri ke Tibet dan berdiam di sana. Aku merasa bosan bosan bosan. Seperti berenang di danau yang terlalu tenang, dalam dan dingin. Rasanya aku terhisap di dalamnya. Tapi kembali lagi, ini hanyalah sebuah isi otak yang sedemikian sampahnya dan berkerak terlalu lama. Hingga aku pun tidak mengerti, aku hanya meracau. Kalau begitu saya permisi sebentar.  Saya mau cari tahu: Mengapa ada orang yang memiliki hidup begitu fungsional sedangkan yang lain tidak? Seperti segalanya harus memiliki tujuan padahal nyatanya segalanya dimulai dari kekosongan? Mau di mulai dari mana pembicaraan kita sekarang?




14.1.18

Amor fati #6




Hari Minggu yang cerah dan aku hanya tidur-tiduran saja sedari kemarin sore. Rasanya badanku remuk sekali seperti renginang. Kemarin aku sempat menonton sedikit Black Mirror yang episode 1, gila ya apa yang bisa teknologi dan internet lakukan pada sebuah peradaban. Ceritanya satir, thriller dan sebuah hiperbola akan ketergantungan kita pada teknologi, pada media kurasa.  Terlepas dari film itu, lalu aku jadi sedikit tersadar betapa aku sendiri salah satunya menghabiskan banyak waktu bermain-main di alat pada genggaman ini. Bukan berarti itu buruk karena sebenarnya itu sangat memudahkan siapapun dalam berbagai hal terutama komunikasi dan kerjaan. Namun segalanya jadi diperluas seperti betapa tersitanya beberapa waktu hanya untuk melihat-lihat sosial media lalu mengetahui: Oh si ini makan bakmi, dia sedang sedih karena putus, si ini sedang super sibuk kerja, dan lain-lain. Segala informasi dari yang pribadi, penting, sampai akhirnya yang sampah gak penting-penting amat diguyur di hadapan kita. Benar, kita memiliki pilihan untuk filter mana yang mau dan tidak karena pada dasarnya kita bukan sponge, tapi kenyataannya yang paling mudah hanyalah menerima semuanya tanpa filter tanpa sekat, kan? Aku rasa, kebutuhanku yang sekarang adalah komunikasi dan kerja, kurasa aku harus membatasi media sosial karena aku tidak mau kehidupanku dan perhatianku hanya berada di situ-situ saja. Terlalu  mudah. Terlalu mudah. Toh pada dasarnya untuk berkomunikasi secara real bisa lewat media chat yang lainnya atau bertemu tatap mata.


Lalu seharian kemarin ini aku berpikir, seberapa banyak lekatan label yang terus menerus diusahakan untuk menempel dan melekat hingga pada akhirnya seseorang harus melakukan banyak acara, serangkaian kegiatan yang bisa jadi dia tidak demikian. Namun dia perlu menjadi demikian karena itu wajah yang dia pakai. Upaya agar orang lain impres akan kehidupannya atau akan apa yang dia punya. Dih label-label sosial itu mahal ya, lalu aku jadi berpikir akankah segalanya akan menempel selama-lamanya, lekang waktu. Kurasa yang aku inginkan bukan label dan segala pandangan orang lain akan hal-hal artifisial. Kuhanya ingin bahagia itu saja.


new post

ganti blogspot

 YAK  pemirsah, maapin banget nihh udah ga punya blog.com karena......hhh yaudahlah kayaknya gapapa hehe. tadinya aku mau melatih pemikiran ...