Saya sedang sok tahu. Tidak mengerti apa-apa tapi sok ikut-ikutan, padahal ilmu sih gak ada. Hanya meraba-raba dalam gelap. Lalu dengan sedikit membaca comot sana sini. Ada yang menarik sekali, sungguh menarik. Ini adalah fenomena terdekat yang bisa kita temui di jalan dan di dekat rumah kita. Apa itu? Kampanye partai.
Sebenarnya kejadian ini sudah lama namun baru saat-saat ini tergelitik untuk membahas dan menuliskannya. Kebetulan suasana hati sudah netral dan tidak menye-menye soal cinta lagi. Puji Tuhan. Sehingga setidaknya blog ini tulisannya agak berisi dikit, tidak melulu tentang cinta. Ngono loh.
Beberapa waktu lalu sekitar awal bulan September 2013 lalu, saya sedang bertemu dengan Karyn, teman saya. Saat itu kami sedang asyik ngegosip tentang berbagai banyak hal. Tidak banyak hal, deng. Sebenarnya urusan kami adalah tentang laki-laki. Sore-sore minum kopi dan berbicara tentang cinta dan laki-laki. Obrolan perempuan biasa. Ketika kita berdua sedang mengobrol tiba-tiba datanglah seorang Ibu dengan wajah make up tebal dan terlihat oplas. Gayanya seperti nyonya-nyonya tajir terkini dengan baju ketat. Ibu ini sibuk sekali menelpon temannya yang sepertinya telat datang. Lalu tiba-tiba datanglah temanya, seorang Ibu juga dengan pakaian rapih kantoran, dandanan apik, dan cantik. Mereka asyik mengobrol. Saya tidak memperhatikan apa isi obrolannya, wong saya dan Karyn sedang asik gosip sampai cekikikan bak anak labil. Hadeh.
Waktu berlalu, nampaknya mereka pun sudah hampir selesai. Lalu mereka berdua pun berfoto. Lalu Ibu dengan dandan menor dan berpakaian ketat itu memanggil saya.
"Say, say, boleh minta tolong foto?"
"Hmmm... iya boleh."
Jepret... jepret...jepret. Selesai. Ganti angle. Jepret...jepret...jepret.
"Makasih yah, say. Eh... kalian sekolah di mana?" Aaaaciye, saya dikira masih sekolah.
"Udah kerja, Tante."
"Oh yaaaa... temennya juga udah kerja ya?"
" Iya Tante."
....
.... (basa basi)
"Eh, say, ini saya mau memperkenalkan Tante ini (lupa namanya siapa) dia itu mau ikutan jadi caleg, nih. Kamu pilih dia ya. Saya juga sekarang udah jadi anggota legislatif nih. Saya kerjanya di daerah Banten." Ujar Tante menor.
Jedar! Jedar! Ohhh... menarik. Menarik sekali. Andaikan saya bisa lari, saya lari dari pembicaraan ini.
"Oh... gitu yah Tante. Hebat." Ujar saya sambil menerima kartu nama dan sticker.
" Tolong ditempel yah stickernya di mobil dan ini kartu nama saya." Kata Tante Caleg baju rapih.
Seharusnya, pembicaraan itu stop sampai sini. Gak ada apa-apa lagi, dong. Namun terdorong oleh rasa penasaran yang membuncah-buncah. Saya pun bertanya,
"Tante, emang program kerja Tante apa, untuk membuat Banten ini jadi lebih baik? Apa yang membuat Tante jadi beda dari caleg lain? Jadi kita bisa pilih Tante gitu."
Eh,Si Tante Caleg gelagapan ditanya begitu. Panik dia. Saya juga bingung kenapa panik. Itu pertanyaan mudah kan? Kalau memang sudah ada jawabannya. Hmmm... berarti si Tante ini.... Ah sudahlah.
Lalu Tante Menor mengambil alih dengan jawaban sebagai berikut
" Ah... ini kan baru pemilihan awal. Untuk program kerja mah nanti dibicarakan lagi kalau sudah jadi legislatif, gitu. Itu nanti barengan dengan yang lain."
Lalu saya jadi bingung dengan Si Tante Menor. Ini saya yang bego apa emang cara kerjanya begini sih ya? Perasaan saat saya jadi calon OSIS saya harus pidato ke depan apa visi misi dan apa yang mau saya ubah dari sistem. Ya ga sih? Ah sudahlah itu kan lingkup bocah SMA ini kan caleg. Calon legislatif. Ya...beda lah, gak usah pake program kerja, kayak bocah aja. Ngapain kali? Ya ngga? Yak lanjut.
Kemudian saya berkata, "Oh gitu, ya Tante. Saya baru tahu. Terus, Tante emang kenapa mau jadi caleg, melihat kita masyarakat yang udah pesimis dengan politik karena melihat Atut dan dinastinya?"
Lalu Tante Caleg pun agak sedikit berapi-api menjawab begini.
"Banyak sekali orang yang bertanya mengapa saya ingin menjadi caleg, padahal pekerjaan saya sudah enak, saya jadi direktur di perusahaan Jerman. Saya punya keluarga, suami dan anak. Tapi saya mau memperjuangkan suara perempuan agar kita bisa lebih tinggi dari laki-laki. Kita harus bisa lebih tinggi dari laki-laki agar kita tidak terinjak-injak, agar kita cerdas. Adek-adek kan juga perempuan Insya Allah saya bisa melanjutkan aspirasi kalian."
Uwidihhhh... Si Tante Caleg feminist ternyata. Tapi rasanya ada yang agak menggelitik saya tentang posisi perempuan dan laki-laki. Lalu saya pun menyanggah.
"Tapi, ya Tante, kalau menurut saya, seharusnya laki-laki dan perempuan itu sejajar. Bukan siapa lebih tinggi dari siapa. Harus sejajar, karena perempuan dan laki-laki itu partner."
Lalu Si Tante Menor mengambil alih melihat Tante Caleg agak siyok disanggah.
"Iya, selain itu kita juga mau menambah wadah untuk anak-anak muda kritis seperti kalian ini. Agar aspirasi kalian sampai ke atas. Kalian tuh beruntung sekali kalau bertemu dan kita-kita sekarang ini. Dijamin kalau kenal kita, urusan lancar. Kalau mau buat apa, buat apa Insya Allah dipermudah. Beruntung loh kalian."
HAAAH?! Loh kok? Gak salah denger ini? Halo? Sekarang gantian saya yang kaget dengan jawaban dia.
Malas berbicara lebih panjang akhirnya saya iya-in saja, lalu pamit pergi. Melihat tong sampah si Karyn bisik-bisik ke saya,
"Met, ini sticker dan kartu nama enaknya dibuang nih Met."
***
Saya tidak tahu bagaimana, kok rasanya geli-geli sih ya? Rasanya pengen ketawa kenceng-kenceng di depan tante dua ini. Kenapa oh kenapa? Saya rasa otak saya yang agak miring. Saya rasa saya yang terlalu menghakimi. Saya rasa saya yang sok tahu. Mungkin begitu.
Tapi...halo?! Ini ada yang salah gak sih? Ada yang gak bener gak sih? Atau memang saya saja yang terlalu antipati dengan politik, dengan wajah-wajah yang ditempel berserakkan di pohon-pohon jalan raya. Dengan tulisan COBLOS SAYA! PILIH SAYA! Ditambah dengan gelar panjang di depan dan di belakang namanya.
Bagaimana yah, caranya agar saya sedikit saja punya rasa percaya dengan mereka yang mencalonkan diri di tempel di pohon-pohon itu? Bagaimana yah agar saya sedikit saja punya perasaan untuk bisa tahu apa yang mau saya pilih? Bagaimana yah agar saya bisa mencintai politik dengan ke-tai-kucing-annya itu? Bagaimana yah caranya agar saya bisa sedikit lebih netral dan gak antipati lalu menghakimi? Bagaimana ya?
Semoga apa yang saya temui ini hanya seglintir saja calon-calon pemimpin negeri ini, semoga saja harapan itu ada di mana-mana, semoga saja mereka yang mencalonkan diri sungguh dapat memisahkan kepentingan pribadi dan bersama, semoga saja Tuhan selalu melindungi negeri ini. Semoga seseorang yang terpilih untuk jadi pemimpin negeri ini sungguh-sungguh bisa membawa perubahan dan tidak membuat kita berbondong-bondong meninggalkan negeri ini.
Indonesia, rasanya semakin sulit mencintaimu. Kalau kata Ayu Utami: Indonesia dengan sedih aku cinta padamu.