Showing posts with label manusia bebas. Show all posts
Showing posts with label manusia bebas. Show all posts

9.2.17

26


Ada satu keahlian yang tidak akan kamu punyai yakni berkompromi dengan waktu. Dia mengalir dan berjalan tanpa menoleh ke belakang.  Dari sekian banyak pribadi yang berubah umurnya menjadi 26 semoga bisa semakin memahami bahwa saya dan kamu harus mampu merangkul realita, kegagalan, kekecewaan dan mimpi-mimpi yang masih berserakkan. Mencari dan memilah diri sekali lagi. Meninggalkan yang tidak cocok dan merawat ke-aku-an kita. 


Bandung, 2017


Pencapaian-pencapaian yang masih harus disabarkan dan diteguhkan dengan proses. Agar matang. Agar berakar. Agar berbuah berlimpah-limpah. Meski terkadang tidak semua yang kita tanam bisa kita tuai. Namun tenanglah, karena tidak ada satu pun yang luput dari catatan sejarah. Semesta mencatat setiap upaya dan keringat untuk dibayarkan di lain waktu. Setuntas-tuntasnya. Lunas. Di hari depan. Bahkan sungai pun terus menerus mengalir tanpa peduli berapa lama. Bahkan laut pun tidak pernah bosan kepenuhan air. Dia menjadi asin tanpa kita tahu bagaimana caranya dia menjadi tawar. Mengapa kamu menjadi bosan dan tawar, kawan?

Tidakkah kamu melihat segalanya bergerak, segalanya maju, segalanya berubah. Tidakkah kamu melihat, 26 adalah pergerakkan usiamu yang bukan kanak lagi. Kamu memutuskan hidupmu, kamu merencanakan, kamu berlari, kamu terjatuh, kamu terluka, kamu berjuang dan merayakan keberhasilan kecilmu.  Jantungmu dengan setia memompa darahmu, tubuhmu dengan tabah menampung jiwamu, kaki tanganmu terus berupaya mendengarkan perintah otakmu. Kamu bilang kamu tidak berdaya? Padahal kau memiliki segalanya. 

Semoga di usia 26 ini, kita bisa terus memilih hidup dan berbahagia. Semoga kau terus mempunyai alasan untuk sukacita dan tidak menjadi lemah dan putus asa. Semoga kau tetap menguatkan tangan yang lemah dan lutut yang goyah; dan luruskanlah jalan bagi kakimu, sehingga yang pincang jangan terpelecok, tetapi menjadi sembuh. 

2.1.17

Perjalanan ke Ruang Angkasa


Serpong, 2017


Kamu tidak akan mengetahui apa yang ada di luar apabila tidak berani berjalan ke luar. Apabila tidak gigih keluar dari tempat nyamanmu. Setelah sekian lama tidak nampak dan menyembunyikan semua taring yang kamu miliki. Sayapmu tidak kau lebarkan meski rasanya sudah bosan mendekam terlalu lama. Leher dan pundakmu kencang berjaga-jaga dari berbagai serangan; entah kata entah tindakan. Kau memasang kuda-kuda terlalu lama karena kau tahu seranganmu belum cukup mengalahkan musuhmu. Amunisimu melempem terkena angin. Lalu kau menunggu kesempatan yang datang terlalu lama.

Hingga pertahananmu sedikit kendur, badanmu tidak lagi pejal, ototmu sedikit molor dan semua syarafmu rehat panjang. Tidak ada keinginan untuk merenggangkan persendian hingga yang kau rasa hanyalah rasa ngilu saat sedikit bergerak. Kau tahu ada yang salah namun dalam setiap uraian benangnya tidak sanggup kau temui ujungnya.

Kecintaanmu akan suatu hal tidak lagi semesra dulu karena kau kehilangan romantisme itu sekejap. Lalu kamu mulai mencari-cari hal lain yamg kiranya bisa menggantikan. Kau menemukan tapi bukan potongan puzzel yang pas untukmu. Masih sering kali salah pasang, salah sudut, tidak pas pada tempatnya. Bisa jadi kau mendapatkan semua yang kamu inginkan pada awalnya namun ternyata bukan itu tujuanmu. Hingga kau terus mencari ke sana ke mari. Pencariamu semu karena tujuanmu berada di luar sana dengan ribuan kilometer jarak yang harus kau tempuh.

Kau tidak lagi mempercayai mimpimu yang lama  dan mulai menggantikannya dengan sesuatu yang taktis, yang mudah, yang penting survive. Lalu segala kemilau material mulai menggoda dengan berbagai pintu kesempatan. Kau tergoda, kau ambil karena butuh. Ah, namanya juga manusia! Mereka tidak pernah putih dan tidak juga hitam. Mereka abu-abu dan serakah, banyak mau. Satu keinginan terpenuhi. Ternyata rasa puas tidak akan pernah ada di kamusnya. Hingga dibuatlah sebuah pepatah menghibur: “Tidak semua hal bisa terjadi sesuai dengan keinginan kita.” Kisah klasik, ya? Rasanya pernah dengar. Entah di mana.

Memilih sesuatu yang lebih taktis untuk tetap bertahan hidup, tidak salah. Semua juga dihadapkan dengan pilihan yang sama. Pada akhirnya kita memilih hal itu cepat atau lambat. Hingga cita-cita untuk menaklukan dunia dan membuat perubahan ini itu semakin dikerucutkan. Bukan, bukan menjadi pesimis hanya saja menjadi lebih realistis dengan kemampuan dan keadaan. Ada hal yang tidak lagi dikira pas untuk bisa masuk dan diaplikasikan dalam hidup.

Ada kalanya kadar mimpi bisa hangus menjadi abu. Ada kalanya semangat runtuh dalam rintik hujan. Namun tetap ada satu ruang dalam hati yang tersisa. Kau bisa menyebutnya ‘ruang angkasa’ karena dia luas. ‘Ruang angkasa’ ini mungkin terasa jauh namun tanpa kita sadari ruangan ini yang paling dekat dengan kita, semacam storage dan melindungi seluruh dirimu. Di sana terletak ribuan harapanmu, ribuan hancur lebur yang akan diobati, ribuan senyum yang kau simpan, ribuan wajah yang kau kenal dan kasihi, ribuan hati yang penuh kasih dan ribuan ingatan yang akan kau bawa terus. Ruang itu adalah milikmu sendiri, adalah suakamu sendiri. Tidak ada seseorang pun yang bisa masuk kecuali dirimu sendiri. Ruang ini adalah tempat di mana kau bisa menjadi diri sendiri dan menjadi waras sejenak. Setiap kita memilikinya. Tanpa kecuali.

Lalu kau akan melakukan perjalanan menuju ruang angkasamu. Meninggalkan rasa takutmu dan berjalan tanpa menunduk. Kau menikmati setiap arus derasmu, kau nikmati setiap terjalnya, kau pun mulai menyapa setiap peziarah lain yang bersisian denganmu, kau memulai perjalananmu ke ruang angkasa, kau siapkan setiap perbekalanmu dan kotak obat, kau mulai mahir dalam mengobati luka dan setiap rasa sakit sudah kau rasakan hingga kau kebas. Kau memilih untuk terus berjalan dan melebarkan sayapmu.

Karena kau tahu ke mana pun kau berlari menghindar, arus itu akan tetap membawamu kembali. Menarik ombaknya untuk surut, lalu menghempaskan pasangnya lagi. Kau akan terombang ambing sejenak dan melemparkan sauh kapalmu. Kau akan tertanam pada sebuah tanah, pada sebuah negri. Kau akan bekerja, melayani dan berkarya hingga saatnya nanti tiba dan daunmu berguguran dihembus angin.


Dan kini kau memilih untuk tidak tidur lagi. Kau mau tetap terjaga. Berjaga-jaga sampai tiba ke ruang angkasa. 



Catatan tahun baru 2017, untuk semua cita-cita dan harapan.  Selamat tahun baru!



30.7.16

Tulisan Tentang Perempuan Sekali Lagi


diambil dari pameran foto MRT Station Taipei


Akan menuliskan tentang perempuan dan akan sedemikian menyebalkannya karena banyak kealpaan di sana sini. Namun Dallas Clayton pernah menulis: Don't let the details be your undoing. Akhirnya memutuskan untuk menuliskannya karena merasa perlu. Sekali lagi.

Berita yang berkoar di media seminggu ini cukup menyita perhatian saya di tengah sibuknya pekerjaan dan urusan printilan ini itu. Atau mungkin mendengarkan berita jadi semacam hiburan sok sokkan ngerti padahal hanya berpartisipasi telinga dan mata namun absen otak. Berita dalam negeri yang menyita perhatian saya adalah reshuffle kabinet kerja dan diikuti kopi Mirna yang tidak kunjung selesai itu. 

Masih segar diingatan akan berita tentang Ibu Sri Mulyani beberapa tahun lalu dan kini beliau kembali menjadi Menteri Keuangan. Saat itu saya sedang di kantor dan mendapatkan pesan dari teman baik saya, Thesa. Saya membaca pesan viral berbahasa Inggris ini dengan isi bahwa beliau telah bersedia untuk menjadi menteri keuangan. Oh saya terhenti sebentar dan merinding sekali di tengah kesibukan kantor yang bising itu. Sedikit terharu karena seseorang yang sedemikian berdedikasinya pada negaranya meski pernah dikecewakan dulu. Namun ketika tanah airnya memanggil kembali dan membutuhkan bantuannya, beliau berani berkata: Ya, saya sanggup. 

Berapa banyak orang yang berani pulang ke tanah air untuk Indonesia? Tanpa seegois itu akan kenyamanannya.  namanya yang telah besar di dunia, dan kembali dengan dengan komitmen untuk membangun tanah airnya sendiri? Saya sedikit sentimentil  dengan orang-orang yang kembali ke tanah air for good. Betapa ada perasaan tidak yakin, tidak tahu hari depan, ketakutan sedikit akan tanah air, perlunya beradaptasi lagi, meninggalkan kenyamanan induk semang negara sebelumnya, dst, dll, dsb. Namun diluar perasaan itu semua ada rindu tanah air.

Beberapa hari lalu saya sempat kesal sendiri karena membaca artikel menjelang hari kemerdekaan. Pendek kata artikel ini adalah artikel dengan topik tahunan yang bikin tepok jidat berkali-kali. Isinya adalah di umur Indonesia yang sudah sekian tua merdekanya namun baginya belum merdeka sama sekali karena masih banyak kemiskinan, ekonomi yang tidak stabil, lalalala. Yak, kalian pasti sudah bisa membayangkan isi artikel ini yang membosankan ini, tapi saya kok baca juga. Saya jadi ngomel-ngomel sendiri karena sedemikian miskin research hingga penulis lupa mencari definisi merdeka itu sendiri dan tentu tidak bisa disandingkan dengan Amerika dan Eropa. Dan saat saya baca artikel ini eh ternyata yang nulis saya sendiri saat masih kuliah semester 2 (hehehe). Kan saya jadi tambah sebel dan semakin tepok jidat berkali-kali ya kan? 

Dengan membandingkan tulisan saya ribuan waktu silam itu saya jadi sedikit tersentil jangan-jangan pikiran itulah yang dimiliki sebagian besar orang Indonesia ya? Semoga tidak. Semoga kita bukan orang yang mudah menyimpulkan tanpa research, tanpa kembali ke akar. Semoga jika tanah air membutuhkan kita berani menjawab: Ya, saya sanggup. 

Kemudian saya perhatikan kini perempuan cukup menjadi media darling entah karena kekuatannya, entah karena tubuhnya, entah karena karyanya dan banyak hal. Namun banyak hal juga yang timpang seperti misalnya saat ada celebrity sex tape yang mencuat di media terutama di Indonesia, si perempuan ini pamornya menurun dan si laki-laki malah jadi bintang iklan shampoo. Lalu saya jadi teringat akan pandangan Aristoteles tentang perempuan. Setelah membaca lebih jauh, saya jadi ilfil pada beliau. Beliau berpandangan bahwa perempuan adalah "pria yang belum lengkap". Dalam hal reproduksi, perempuan bersikap pasif dan reseptif, sementara pria aktif dan produktif. Beliau percaya bahwa anak hanya mewarisi sifat bawaan laki-laki. Aristoteles menyimpulkan bahwa perempuan adalah ladang yang siap menerima dan ditanam benih, dalam bahasanya  pria menyediakan "bentuk" sedangkan perempuan menyediakan "substansi". Dan gawatnya pandangan Aristoteles ini justru yang berpengaruh dan diadaptasi hingga kini. 

Kira-kira ada berapa banyak laki-laki di dunia ini yang sedemikian yakin akan dirinya sendiri hingga mereka tidak takut akan gerakkan feminism atau riot grrrl? Lalu mereka mendukung karena melihat ada ketimpangan nilai di sana sini? Atau contoh kecilnya ada berapa banyak laki-laki yang bersedia melakukan pekerjaan domestik dan tidak melulu harus merasa itu adalah pekerjaan perempuan?  Menurut Simone de Beauvoir, upaya penyetaraan perempuan dan laki-laki tidak akan berhasil apabila tidak ada dukungan dari masyarakat. Karena menurutnya manusia tidak dilahirkan sebagai perempuan, namun menjadi perempuan. Mendefinisikan perempuan sebagai manusia utuh bukan hanya karena kepemilikan ovarium dan uterus saja. Dan sudah seharusnya perempuan sendiri tidak bergantung dan mandiri karena eksistensinya sebagai manusia utuh yang memiliki kebebasan. 

Pentingnya mengkaji ulang bahwa tubuh adalah bagian dari manusia namun manusia tidak hanya sekedar tubuh saja, begitu pun perempuan dan laki-laki. Sempat melihat perdebatan akan peranan perempuan yang dikatakan bahwa kesetaraan gender adalah ketika perempuan bisa bekerja di luar tidak melakukan pekerjaan domestik saja dan menyalahkan perempuan yang misalnya ingin menjadi ibu rumah tangga. Menurut saya bukan kesetaraan gender yang demikian, melainkan kemampuan perempuan untuk memilih hidupnya sendiri tanpa harus ada paksaan dari pihak luar. Entah mau menjadi wanita karir, pilot, tentara, atau ibu rumah tangga, itu merupakan pilihan perempuan sebebas-bebasnya sebagai individu. 

Perlunya menanggalkan berbagai macam label untuk perempuan karena sebenarnya definisi itu hanya melimitkan perempuan sendiri. Mengapa tidak perempuan dibiarkan menjadi perempuan? Tanpa embel apa-apa terutama lepas dari tubuh itu sendiri. Bahwa perempuan cantik, dandan apik, sexy, make up genah bukan berarti mereka hanya mengurus dandanan saja dan bukan berarti mereka tidak punya otak. Dan begitu pula sebaliknya. 

Perempuan berhak memilih hidupnya. Ingin atau tidak menikah, ingin atau tidak punya anak, ingin atau tidak berpasangan, ingin atau tidak menjadi ibu rumah tangga, ingin atau tidak menjadi wanita karir, ingin atau tidak berdandan, ingin atau tidak menjadi seorang ibu, ingin atau tidak menjadi istri, ingin atau tidak bekerja domestik, ingin atau tidak berhubungan seks, ingin atau tidak memeluk agamanya, ingin atau tidak memilih ideologinya. 

Dan mengutip Simone de Beauvoir, "Bahwa hal pertama yang harus aku katakan adalah: Aku seorang perempuan."



16.7.16

Yang Terdekat dan Diakrabi

Dalam draft ketikan yang tak kunjung selesai ditulis, lalu cangkir kopi kedua yang telah diseduh dan dingin diam-diam tanpa izin. Berubah masam dengan sisa ampas di sekeliling cangkirnya. Selapis lipstik merah muda kemerahan mengecupi bibir cangkir yang disesapi perlahan. Terlihat tumpukkan buku di kiri kanan tergeletak setelah beberapa kali dibaca dan diusap-usap dengan belaian yang berbeda. Sesekali menciumi baunya, membenamkan hidung ke dalam dan menghirupnya dalam satu hisap nafas. Setiap orang memiliki fetish-nya masing-masing dan bagi perempuan ini fetish-nya adalah mencium buku, terutama buku yang baru dibeli.

Tujuh ratus tiga puluh hari telah dilewati sedari keterpisahan dengan lelaki sudah lampau. Sudah lampau. Sudah berdebu di ingatan. Lalu sangat mengerti bahwa perempuan suatu hari akan mencintai seorang laki-laki harum laut yang sebebas-bebasnya demi apa pun dan tidak akan bisa dimiliki. Cocoklah untuk si perempuan yang terus berlari dan tertarik akan bahaya-bahaya yang merangsang otak korteksnya. Sebegitu membutuhkan aliran adrenalin yang berdesir di sum-sum tulang belakang lalu kegelian sampai batang otak. Si perempuan bukan definisi cantik milik society dan bukan kebutuhannya untuk menjadi pemanis atau pelengkap kecantikan yang bergelayut manja di lengan prianya. Rasanya dia tidak seperti itu, jikalau menggambarkannya si perempuan adalah humor sarkasme gelap di labirin otak. Dia tidak akan menyuguhkan romantisme legit kemanisan karena dia khawatir lelakinya akan sakit gula karenanya.

Si perempuan dan lelakinya yang harum laut itu sedang duduk bersamping-sampingan di kereta menuju kota yang memiliki banyak pantai dan mereka akan menziarahinya satu-persatu. Ngobrol santai tidak penting dan lalu memandangi wajahnya lekat-lekat dengan kumis tipis yang alurnya sudah dihafal mati si perempuan lewat ujung jari dan bibirnya, kemudian sesekali bergidik kegelian setiap kali bertukar kecupan yang harus dicukupkan.

Pantai yang ditunggu-tunggu hadir di depan hidung dan langit sore sudah turun mengisi ruang-ruang dekap mereka berdua. Duduk- duduk dengan pantat lembab karena duduk di pasir pantai dan membenamkan kaki mereka di pasir yang basah dan dingin namun rasa nyaman tetap hadir lugu.

“Saya di kehidupan selanjutnya rasanya akan menjadi semut hitam pekerja, yang bekerja sedemikian rajinnya untuk koloni dan Ratu. Terkadang saya merasa sedikit ada perasaan bersalah jikalau tidak sibuk, tidak hectic, tidak produktif atau hanya santai-santai saja. Rasanya tubuh saya ketagihan untuk kerja. Bagaimana ya?”tanya si perempuan sambil menggulung rambutnya menjadi konde kasual.

“Memangnya kamu menghindari diri dari apa? Ada yang kamu takutkan?”tanya laki-laki itu.

“Ketakutan? Oh tentu banyak! Rasanya dia mengintai dan selalu ada di samping saya seperti bayangan lekat-lekat lalu akan merasuki dan menyatu dengan tubuh saya, kamu tahu kan rasanya?”ujar si perempuan sambil menatap mata laki-laki itu. Tidak. Rasanya laki-laki ini tidak pernah takut apapun.

“ Oh tentu, saya tahu, rasa seperti takut menyerah pada ketakutan itu sendiri. Seperti tersedot masuk ke ruang tertutup sempit tanpa jendela dan pintu lalu waktu rasanya tidak bisa diukur. Ya kan?  Jadi kamu sebenarnya menghindari apa?”

“Bukan menghindari hanya saja rasanya, diri sendiri adalah seorang sahabat sekaligus musuh yang erat di kulit saya. Saya tidak suka membiarkan diri saya sekosong itu tanpa melakukan apa-apa rasanya saya sudah terbentuk demikian. Seperti work ethic saya mengharuskan fokus, detail, dan kerja keras. Saya terdengar seperti perfectionist bitch ya?”

“Iya sih haha. Tapi jikalau kamu nyaman demikian kenapa tidak?”tanya laki-laki itu diplomatis.

“Atau jangan-jangan saya bukan seseorang yang mencari aman. Saya kadang sebal dengan diri saya sendiri yang selalu mencari tantangan, rasa penasaran dan rasa takut itu sendiri. Saya mencari rasa takut dan ingin dekat-dekat dengannya. Kamu percaya ?”

“Ya, bisa saya lihat dari matamu. Kamu bukan pemain di garis aman mungkin kau ingin menjadi tuan atas rasa takutmu dan menjadi manusia bebas sebebas-bebasnya. Tidak tanpa rasa takut, namun melakukannya dengan rasa takut dan memerdekakannya. Dengan cara itu kamu merasa hidup” kata laki-laki itu lagi.

“Eh kamu suka serial BBC Sherlock Holmes gak, yang episode istrinya John Watson bohong habis-habisan ke dia? Lalu menariknya ya ada satu dialog Sherlock ke John begini : John, you are addicted to a certain lifestyle. You’re abnormally attracted to dangerous situations and people…so is it truly such a surprise that the woman you’ve fallen in love with conforms to that pattern. Gila, saat mendengarnya rasanya saya mau jedotin kepala sambil teriak: Yo mamen itu gue banget!”ujar si perempuan sambil tertawa.

“Ya, mungkin ada benarnya kamu demikian” kata laki-laki itu lagi sambil ikut tertawa.

***

Gurat wajah dan tubuh laki-laki yang dikenal perempuan itu setiap inchinya; gelung rambutnya yang terurai sesekali; nafasnya yang harum cengkeh dan tembakau, punggungnya yang melekuk ke dalam dan pinggangnya tempat si perempuan menyelipkan tangannya sesekali.  Mereka berdua selalu berlekatan tak terpisahkan dan saling mengisi. Bertukar pagut dan berpegangan tangan. Berbagi cerita dan senyum. Laki-laki ini selalu hadir di mana pun perempuan itu berada tanpa kecuali. Kehadirannya adalah puncak tersepi di selat mata si perempuan. Kenyamanan yang dibagikan sebagai bentuk pertahanan diri, semata-mata hanya untuk menjadi waras. Memelihara apapun itu yang menghidupi hangat tubuhnya dan kerling matanya.

Di satu senja itu, di ceruk sebuah pantai terujung, si laki-laki meretas kancing kemeja perempuan satu persatu, mengeja jemari di kedua payudaranya, menggenggam jantungnya dan mendikte ritme di setiap degupnya. Bersisi-sisian dan menyatu. Dan laki-laki itu bernama : Fear.



21.3.16

Obat pemati rasa



Kau butuh obat pemati rasa
Agar tahan berpura-pura
Redam tangis di ujung mata
Dalam peran dimainkan sementara

Bungkam mimpi hingga pusara
Seolah manusia tidak memiliki suara
Karena bekerja di ladang bayaran sehasta

Jangan karena dalih realita
Seolah hidup punya sembilan nyawa
Besok mati siapa sangka?



Serpong, 2016
Karena hari ini Hari Puisi Sedunia

3.11.14

Eins

Seharian ini sedang berpikir akan suatu bacaan tentang  Nicolas Copernicus lewat teori ilmiahnya yang berhasil menghancurkan pemikiran astronomi tradisional teori Arisoteles dan Ptolomeus  yang mengandaikan bahwa bumi adalah pusat alam semesta. Copernicus mengatakan bahwa bumi mengitari matahari sebagai pusat alam semesta.

Lalu munculah penemuan teleskop oleh Galieo-Galilei yang membuktikan kebenaran teori Coperncus. Melalui bukunya Dialogo ( Dialog tentang dua sistem utama tentang dunia, 1632) akhirnya Galileo dipanggil ke Roma untuk dihukum oleh intelejen Gereja dan dicukil matanya karena dianggap membahayakan sistem pemikiran akibat penemuannya. Dianggap sesat.

Saya membayangkan bahwa pergantian zaman dari pemikirian religiusitas ke pemikiran modern yang sifatnya menalar sesuai dengan logika, terasa memiliki perjalanan yang panjang. Lalu munculah gerakan humanisme yang diawali dengan kepercayaan akan kemampuan manusia akan akal budi atau intelektualnya. Humanisme lebih mempercayai rasio dapat melakukan segalanya dan lebih penting dari iman. 

Apa yang mau saya sampaikan? Pemberontakan pemikiran tradisional itu selalu ada di berbagai zaman. Society akan terus menerus menang karena mengakarnya pemikiran tradisional dan tidak ingin berusaha untuk mengenal sesuatu yang sifatnya baru. Menang dalam arti memiliki suara terbanyak dan akan selalu dimenangkan karena banyak yang memiliki kepentingan yang merasa aman di sistem yang lama. Entah pada akhirnya sebenarnya paradigma itu benar atau tidak, society tidak peduli.Contohnya dengan teori bumi sebagai pusat semesta yang pada akhirnya ternyata salah, namun sayang bola mata Galileo tidak bisa dipasang kembali. Dibutuhkan seseorang segila Galileo untuk mempertahankan pemikiran dia dan pembuktiannya. Pertanyaannya apa yang Galileo cari? Mengapa ia mengedepankan pemikirannya sebegitu gigihnya? Karena dia menghargai dirinya sebagai makhluk berakal budi yang membutuhkan intelegensinya tersalurkan dan dibenarkan sebagai pembenaran.

Saya kira tidak mudah mempertahankan pemikiran sendiri tanpa dicap gila dan sinting. Karena manusia terbiasa harus seragam, harus sama. Agar sistem bisa terus berjalan semestinya tanpa ada hama parasit pengganggu yang nyeleneh sendirian. Jikalau terus menerus takut dengan pemikiran yang berbeda dengan society, sudah hendaknya kita malu dengan mereka yang membayar mahal nyawa dan biji bola matanya untuk sesuatu yang diyakininya.

Manusia sudah seharusnya memiliki otaknya sendiri yang tidak harus disetir oleh apapun. Seperti yang ditulis di Alkitab, 'Jadi karena engkau suam-suam kuku, dan tidak dingin atau panas, Aku akan memuntahkan engkau dari mulut-Ku.' 




20.9.14

Null


Pada hari ke enam dalam suatu minggu, bersantai mendengar hujan dengan rambut basah sehabis keramas, menggunakan baju longgar dan celana pendek, menulis dengan lutut kedinginan nampaknya sebuah kenikmatan tiada tara. Jangan tanyakan akan kehidupan lima hari sebelumnya karena sesungguhnya pada lima hari itu telah menjadi zombie rutinitas yang mati enggan hidup pun tak mau. Padahal sebenarnya mempunyai banyak pilihan untuk bisa mencari sweet escape dan mencari kebebasan. Benar kata orang bahwa tidak hanya di puncak gunung tertinggi di Tibet saja yang menjual galon-galon oksigen untuk hidup, dalam keseharian kita juga fakir oksigen. Di tengah gedung-gedung yang menjulang membosankan dan kosong. Pencarian dunia fana yang katanya adalah mencari nafkah. Namun apakah sebenarnya hidup ini hanya sekedar makan dan buang hajat saja? 

Radio dan televisi masih saja berkoar-koar membodohi publik dan membesar-besarkan berita menutupi bau masam rokok dari penjilat dan koruptor. Tidakkah kita termanja dengan media massa sehingga pada akhirnya menjadi budak-budak televisi dengan informasi simpang siur yang menjejali otak dua puluh empat jam. Hingga pikiran kita teracuni dan meneropong pada kenyataan yang salah sedangkan si cukong pembayar berita sedang tertawa-tawa akan pembodohan masal. Siapa yang harus kita percaya lagi?

Ada kegelisahaan yang rasanya belum bisa saya jawab, sebuah pertanyaan besar yang masih menggantungi kaki ke manapun pergi. Bahwa pada akhirnya saya bukan lagi manusia yang mengikuti ke mana hati membawamu, tapi manusia yang mengikuti ke mana realitas membawamu. Ternyata pembelajaran keras bahwa suara-suara dan pertanyaan yang tidak mau pergi itu selalu ada. Bahwa mulut bisa saja bungkam namun pikiran tidak. Kita ini manusia merdeka di pikiran kita masing-masing. Satu-satunya kemerdekaan yang kita punya sekarang yakni kemerdekaan pikiran, meski tidak memiliki kehendak bebas. 

Atau jangan-jangan sebenarnya manusia itu adalah budak dari keinginannya sendiri. Keinginan itu selalu ada dan terus menerus memupuk diri untuk bisa terwujud. Bagaikan anak kecil gendut yang merengek-rengek minta susu pada ibunya padahal gigi geliginya sudah soak di makan manis dan aliran air susu yang berkerak lengket sudah menempel di pipi, dagu dan lehernya. Jangan-jangan kita ini hanyalah budak dari idealisme kita sendiri. Keinginan untuk membuat sebuah situasi menjadi lebih baik lagi dan melihat segala sesuatu dari sisi humanisme padahal dunia tidak pernah memenangkan orang humanis. Dunia ini kapitalis. Siapa yang menawar harga tinggi dia yang memiliki dunia. Hingga tidak hanya dunia saja yang bisa dibeli, manusia juga bisa dibeli bagaikan barang komoditi. Menjual diri dengan kesadaran penuh karena ada banyak mulut yang harus diberi makan dan ada banyak nyawa yang harus disambung. Tidak ada lagi perkara adil dan tidak adil karena kita bukan tuhan yang bisa mengeja kata adil dengan sempurna. 

Hingga akhirnya, kita ini sebenarnya apa?

Lalu sayup-sayup terdengar lagu Donna-Donna mengalun. 

"Stop complaining", said the farmer
 Who told you a calf to be?
Why don't you have wings to fly with
Like the swallow so proud and free?










16.3.14

Caleg nemu di cafe dan saya yang sok tahu



Saya sedang sok tahu. Tidak mengerti apa-apa tapi sok ikut-ikutan, padahal ilmu sih gak ada. Hanya meraba-raba dalam gelap. Lalu dengan sedikit membaca comot sana sini. Ada yang menarik sekali, sungguh menarik. Ini adalah fenomena terdekat yang bisa kita temui di jalan dan di dekat rumah kita. Apa itu? Kampanye partai. 

Sebenarnya kejadian ini sudah lama namun baru saat-saat ini tergelitik untuk membahas dan menuliskannya. Kebetulan suasana hati sudah netral dan tidak menye-menye soal cinta lagi. Puji Tuhan. Sehingga setidaknya blog ini tulisannya agak berisi dikit, tidak melulu tentang cinta. Ngono loh. 

Beberapa waktu lalu sekitar awal bulan September 2013 lalu, saya sedang bertemu dengan Karyn, teman saya. Saat itu kami sedang asyik ngegosip tentang berbagai banyak hal. Tidak banyak hal, deng. Sebenarnya urusan kami adalah tentang laki-laki.  Sore-sore minum kopi dan berbicara tentang cinta dan laki-laki. Obrolan perempuan biasa. Ketika kita berdua sedang mengobrol tiba-tiba datanglah seorang Ibu dengan wajah make up tebal dan terlihat oplas. Gayanya seperti nyonya-nyonya tajir terkini dengan baju ketat. Ibu ini sibuk sekali menelpon temannya yang sepertinya telat datang. Lalu tiba-tiba datanglah temanya, seorang Ibu juga dengan pakaian rapih kantoran, dandanan apik, dan cantik. Mereka asyik mengobrol. Saya tidak memperhatikan apa isi obrolannya, wong saya dan Karyn sedang asik gosip sampai cekikikan bak anak labil. Hadeh. 

Waktu berlalu, nampaknya mereka pun sudah hampir selesai. Lalu mereka berdua pun berfoto. Lalu Ibu dengan dandan menor dan berpakaian ketat itu memanggil saya.

"Say, say, boleh minta tolong foto?" 
"Hmmm... iya boleh."

Jepret... jepret...jepret. Selesai. Ganti angle. Jepret...jepret...jepret.

"Makasih yah, say. Eh... kalian sekolah di mana?" Aaaaciye, saya dikira masih sekolah.
"Udah kerja, Tante."
"Oh yaaaa... temennya juga udah kerja ya?" 
" Iya Tante."
....
.... (basa basi)

"Eh, say, ini saya mau memperkenalkan Tante ini (lupa namanya siapa) dia itu mau ikutan jadi caleg, nih. Kamu pilih dia ya. Saya juga sekarang udah jadi anggota legislatif nih. Saya kerjanya di daerah Banten." Ujar Tante menor.

Jedar! Jedar! Ohhh... menarik. Menarik sekali. Andaikan saya bisa lari, saya lari dari pembicaraan ini.

"Oh... gitu yah Tante. Hebat." Ujar saya sambil menerima kartu nama dan sticker. 
" Tolong ditempel yah stickernya di mobil dan ini kartu nama saya." Kata Tante Caleg baju rapih.

Seharusnya, pembicaraan itu stop sampai sini. Gak ada apa-apa lagi, dong. Namun terdorong oleh rasa penasaran yang membuncah-buncah. Saya pun bertanya,

"Tante, emang program kerja Tante apa, untuk membuat Banten ini jadi lebih baik? Apa yang membuat Tante jadi beda dari caleg lain? Jadi kita bisa pilih Tante gitu."

Eh,Si Tante Caleg gelagapan ditanya begitu. Panik dia. Saya juga bingung kenapa panik. Itu pertanyaan mudah kan? Kalau memang sudah ada jawabannya. Hmmm... berarti si Tante ini.... Ah sudahlah.

Lalu Tante Menor mengambil alih dengan jawaban sebagai berikut
" Ah... ini kan baru pemilihan awal. Untuk program kerja mah nanti dibicarakan lagi kalau sudah jadi legislatif, gitu. Itu nanti barengan dengan yang lain."

Lalu saya jadi bingung dengan Si Tante Menor. Ini saya yang bego apa emang cara kerjanya begini sih ya? Perasaan saat saya jadi calon OSIS saya harus pidato ke depan apa visi misi dan apa yang mau saya ubah dari sistem. Ya ga sih? Ah sudahlah itu kan lingkup bocah SMA ini kan caleg. Calon legislatif. Ya...beda lah, gak usah pake program kerja, kayak bocah aja. Ngapain kali? Ya ngga? Yak lanjut. 

Kemudian saya berkata, "Oh gitu, ya Tante. Saya baru tahu. Terus, Tante emang kenapa mau jadi caleg, melihat kita masyarakat yang udah pesimis dengan politik karena melihat Atut dan dinastinya?"

Lalu Tante Caleg pun agak sedikit berapi-api menjawab begini. 

"Banyak sekali orang yang bertanya mengapa saya ingin menjadi caleg, padahal pekerjaan saya sudah enak, saya jadi direktur di perusahaan Jerman. Saya punya keluarga, suami dan anak. Tapi saya mau memperjuangkan suara perempuan agar kita bisa lebih tinggi dari laki-laki. Kita harus bisa lebih tinggi dari laki-laki agar kita tidak terinjak-injak, agar kita cerdas. Adek-adek kan juga perempuan Insya Allah saya bisa melanjutkan aspirasi kalian."

Uwidihhhh... Si Tante Caleg feminist ternyata. Tapi rasanya ada yang agak menggelitik saya tentang posisi perempuan dan laki-laki. Lalu saya pun menyanggah.

"Tapi, ya Tante, kalau menurut saya, seharusnya laki-laki dan perempuan itu sejajar. Bukan siapa lebih tinggi dari siapa. Harus sejajar, karena perempuan dan laki-laki itu partner."

Lalu Si Tante Menor mengambil alih melihat Tante Caleg agak siyok disanggah.

"Iya, selain itu kita juga mau menambah wadah untuk anak-anak muda kritis seperti kalian ini. Agar aspirasi kalian sampai ke atas. Kalian tuh beruntung sekali kalau bertemu dan kita-kita sekarang ini. Dijamin kalau kenal kita, urusan lancar. Kalau mau buat apa, buat apa Insya Allah dipermudah. Beruntung loh kalian."

HAAAH?! Loh kok? Gak salah denger ini? Halo? Sekarang gantian saya yang kaget dengan jawaban dia.
Malas berbicara lebih panjang akhirnya saya iya-in saja, lalu pamit pergi. Melihat tong sampah si Karyn bisik-bisik ke saya,

"Met, ini sticker dan kartu nama enaknya dibuang nih Met."

***

Saya tidak tahu bagaimana, kok rasanya geli-geli sih ya? Rasanya pengen ketawa kenceng-kenceng di depan tante dua ini. Kenapa oh kenapa? Saya rasa otak saya yang agak miring. Saya rasa saya yang terlalu menghakimi. Saya rasa saya yang sok tahu. Mungkin begitu.

Tapi...halo?! Ini ada yang salah gak sih? Ada yang gak bener gak sih? Atau memang saya saja yang terlalu antipati dengan politik, dengan wajah-wajah yang ditempel berserakkan di pohon-pohon jalan raya. Dengan tulisan COBLOS SAYA! PILIH SAYA! Ditambah dengan gelar panjang di depan dan di belakang namanya. 

Bagaimana yah, caranya agar saya sedikit saja punya rasa percaya dengan mereka yang mencalonkan diri di tempel di pohon-pohon itu? Bagaimana yah agar saya sedikit saja punya perasaan untuk bisa tahu apa yang mau saya pilih? Bagaimana yah agar saya bisa mencintai politik dengan ke-tai-kucing-annya itu? Bagaimana yah caranya agar saya bisa sedikit lebih netral dan gak antipati lalu menghakimi? Bagaimana ya?

Semoga apa yang saya temui ini hanya seglintir saja calon-calon pemimpin negeri ini, semoga saja harapan itu ada di mana-mana, semoga saja mereka yang mencalonkan diri sungguh dapat memisahkan kepentingan pribadi dan bersama, semoga saja Tuhan selalu melindungi negeri ini. Semoga seseorang yang terpilih untuk jadi pemimpin negeri ini sungguh-sungguh bisa membawa perubahan dan tidak membuat kita berbondong-bondong meninggalkan negeri ini.

Indonesia, rasanya semakin sulit mencintaimu. Kalau kata Ayu Utami: Indonesia dengan sedih aku cinta padamu. 



29.4.13

Tidak Ada Eskapisme dalam Hal Menerima


pic: tumblr


"Tau kan apa itu eskapisme?" 
" Kehendak atau kecenderungan menghindar dari kenyataan dengan mencari hiburan dan ketentraman di dalam khayal atau situasi rekaan." 
" Kamu udah kayak kamus berjalan saya."
" Emang kenapa kamu tanya-tanya arti?"
" Saya sedang dalam fase itu."
"Oh."
"Oh doang?"
" Oh ...ya?"
"Iya."

***

Ada hari-hari di mana sepi dan sendiri itu lebih baik dari pada bergerombol dan membicarakan hal-hal yang menyebalkan di kuping. Lalu dalam hati berkutat dengan seribu jarum yang nyelekit dan kau tetap tersenyum riang. Namun binar matamu tidak pernah bisa bohong karena ia relevan dengan hatimu. Karena kata orang mata adalah cerminan hati. Kau pun mulai malas bersuara hingga menoleh pun enggan.

Ketika sesuatu yang kau rasakan bukanlah sebuah penjelasan karena kau tahu bahwa perasaanmu tidak seberapa penting dibandingkan dengan perasaan orang lain. Bahwa kau ketakutan sendiri jikalau menyakiti perasaan orang lain dan berkewajiban penuh untuk tetap menjaga perasaan orang lain meski akhirnya ada saatnya kau tidak tahan lagi hingga harus menangis diam-diam sampai ketiduran. Lalu pagi hari kau terbangun dengan mata sembab. Kau berterima kasih dengan sepenuh hati pada kekuatan make up: eyeliner dan eye shadows karena menyamarkan keganjilan. Hingga kau bisa tersenyum lagi meski tanpa binar mata. Binar mata tidak bisa dibeli. Sayang sekali. 

Kau lelah harus terus menerus takut berhadapan dengan ketakutan sendiri yang sebenarnya mungkin hanya sebuah pikiran. Kau kecewa dengan tulus, sakit hati yang datang sendiri dan kau tidak memberontak menerimanya  karena kau tahu mungkin saja itu salahmu bukan salah orang lain. Lalu kau menyalahkan dirimu sendiri karena kau tak sanggup. Karena kau tidak cukup kuat, menjadi pengecut dan aroma kerja kerasmu kurang berkarat, lalu darah yang timbul dari lukamu kurang anyir dan berbau. 

Kau tidur sendirian dengan mimpi yang berloncat-loncatan mengejekmu seakan kau tidak akan ada jalan ke sana. Menjalar ke sulur api cita-citamu yang serta-merta padam dihembus angin tanpa memberi kesempatan pada semangat. Rasakan! Baui! Bahwa kau bersedih di momen ini dengan segala rasa pahit di tenggorokanmu lalu kau menyalak dengan sarkasme dan mulai menertawakannya. 

Hingga kau sampai pada sebuah pemikiran sendiri bahwa terkadang menerima kesedihan dan kecewa itu lebih mudah dari pada melawannya. Bahwa kau berlapang dada, seluas-luasnya pada rasa sedih yang tidak bisa kau halangi sendiri. Kau kecewa karena berharap orang lain bisa melakukan sesuatu hal untukmu dan bisa mengerti perasaanmu lalu layak untuk dicintai. Kau ngeri sekali saat tiba harinya, hatimu amburadul di tengah orang banyak dan gelak tawa. 

Kau kecewa sendiri karena orang yang kamu percaya sepenuh hati tidak selamanya bisa kau andalkan karena kembali lagi kalau kita ini hanyalah manusia yang tidak bisa mengontrol semua situasi. Kau makin menyadari bahwa kebahagiaanmu itu memang kamu yang punya dan atur. Bukan siapapun. 

Ada baiknya kalau kau menerima saja semuanya bulat-bulat, sejelas-jelasnya, sepahit-pahitnya lalu telan. Menghadapi dengan tegar bukannya lari dan menghindar. Ada saatnya kau harus berusaha untuk kuat bukan demi siapapun tapi semata-mata demi harga diri dan demi dirimu sendiri. 

Lalu saatnya nanti kau melompat terbang dengan kakimu sendiri. 





23.2.13

Karena Lensa Mata Hati Kita Semua Berbeda




Rasanya saya sudah butuh beli kacamata atau contact lens. Penglihatan saya udah mulai siwer-siwer dari jauh, jadi kalau liat objek dari jarak jauh matanya harus minceng-minceng dan mengeluarkan mimik nyengir-nyengir aneh. Jelek? Oh... sudah biasa itu. 

Mengapa saya mulai menyerah dan butuh kacamata? Karena tulisan mandarin itu menyiksa mata dan batin saya. Sudah tulisannya kecil-kecil, jelimet lagi. Pokoknya saya mau menjadikan tulisan mandarin sebagai kambing hitam atas bertambahnya minus mata saya. Titik. Kini saya sudah mulai susah lihat orang dari jarak jauh dan baru sadar kalau ternyata ini orang sudah senyam-senyum dari jauh ke saya, namun saya cuekin. Kalau begini terus bisa membuat pergaulan saya jadi terhambat dan disangka sombong. Padahal saya mah ramah orangnya, suer deh! Belum lagi sering kali saya salah liat. Saya kira saya kenal eh taunya...enggak. Sebel kan? Terperdaya penglihatan sendiri? 

Halusinasi

Pada suatu malam saat sedang winter break, sesudah saya mandi dan bermain-main tak sengaja melihat jendela kamar. Lalu dari kejauhan saya melihat menara Eiffel. Cantik, anggun dengan lampu kemerlip kekuningan. Hati saya pun langsung nyess seketika, padahal jelas-jelas otak saya yang seuprit ini tahu bahwa keberadaan saya ini di Taiwan bukan di Paris. Dan di Taiwan sini tidak ada Eiffel, adanya Taipei 101 itu pun di Taipei bukan di Kaohsiung. Tapi entah mengapa saya suka sekali melihat ke luar jendela dan memandang 'lampu menara Eiffel' yang sebenarnya berwujud plang toko sepatu berwarna kuning.

Nyaris setiap malam setelah saya mandi saya berdiri sejenak untuk menikmati menara Eiffel jadi-jadian saya. Lalu suatu hari saya memberitahu roommate saya akan pemandangan menakjubkan itu. Namun jelas mereka tidak bisa melihatnya, jelas yang mereka lihat adalah plang toko sepatu berwarna kuning bukan menara Eiffel. Alhasil roommate saya bingung setengah mati dan berusaha mengerti dari mana letak sisi ke-menara-Eiffel-an-nya? Saya jelaskan berkali-kali dari setiap sisi sudut pandang tentang apa yang saya lihat. Tapi rasanya apa yang saya lihat jelas bukanlah apa yang dia lihat dari matanya. 

Jangan salahkan jikalau...

Lalu saya berpikir bahwa sebenarnya bukan salah saya atau salah roommate saya kalau ternyata sudut pandang kita berbeda. Apa yang dia lihat berupa wujud lain dan apa yang saya lihat adalah menara Eiffel. Tidak ada yang salah atau kurang kreatif, itu hanyalah sebuah 'penglihatan' masing-masing yang ternyata berbeda, bahwa mata saya minus sehingga penglihatan saya kurang awas sehingga saya bisa melihat 'yang lain'. 

Saya yakin sebenarnya itu juga sebuah awal di mana setiap orang punya sudut pandang dan pemikiran yang berbeda akan suatu hal. Jangan salahkan apabila seringkali kita berserbangan pendapat dengan orang lain di sekitar kita karena barang kali lensa mata yang mereka pakai berbeda. Jangan salahkan apabila lensa orang tersebut adalah lensa cembung sehingga apa yang dia lihat extra besar sehingga dia bisa melihat dengan detail dan rinci, jangan salahkan juga apabila lensa orang tersebut adalah lensa cekung jadi dia hanya lihat selewat saja, asal gembira, asal senang. 

Begitu juga dengan warna-warna lensa, ada orang yang punya lensa pelangi di matanya sehingga apa yang dia lihat warna warni, ada yang lensa matanya warna hitam sehingga apa yang dia lihat ya... berwarna hitam. Dan lucunya, kalau dua orang itu bertemu dan berdiskusi tentang suatu objek, misalnya bunga mawar lalu mereka mendeskripsikan bunga mawar itu. Si Lensa Pelangi pasti akan berkata: Mawar itu cantik sekali berwarna-warni seperti pelangi. Lalu Si Lensa Hitam berkata: Ah.... itu mawar sudah layu, warnanya hitam. Lalu gawatnya mereka bertengkar dan sibuk meyakinkan satu sama lain bahwa warna mawar itu berdasarkan apa yang dia lihat. Kan bego itu namanya! Wong Si Lensa Pelangi melihat mawar itu warna-warni dan Si Lensa Hitam melihat mawar itu hitam! Tidak ada yang salah, tidak ada yang benar, hanya berbeda saja.

Beda Itu Tidak Jelek 

Sedari kita kecil, kita selalu takut untuk menjadi yang beda. Kita takut dengan menjadi beda maka kita tidak normal. Padahal sebenarnya sedari lahir saja kita sudah 'beda' tidak ada yang sama satu sama lain. Kita selalu ingin sama dengan orang lain agar kita terlihat normal. Begitu juga dengan pikiran dan perasaan. Kita ingin mempunyai pemikiran yang sama agar bisa diterima di masyarakat karena kebetulan masyarakat mempunyai pemikiran yang seragam sehingga jadi harmonis. Tapi kita kan tidak tinggal di negara komunis,  kita bebas, bebas bicara, bebas berpendapat, bebas berekspresi. Kenapa harus sama? Kenapa kita sangat takut dengan pluralitas? Karena takut terpecah-pecah? Eh.... belum tentu. Pluralisme itu indah, beragam, berbeda. Dan hal yang harus kita miliki adalah toleransi bahwa saya berbeda, kamu berbeda, kita berbeda dan kita semua menghargai perbedaan tersebut. Kebayang dong, kalau kita semua sama pasti dunia ini membosankan sekali!

Ketika kita berbeda-beda kita jadi bisa melihat banyak sudut pandang dari orang lain dan itu jelas bisa memperkaya kita menjadi manusia yang lebih baik lagi kan? Kita jadi mengetahui bahwa ada pemikiran gila dan rumit yang dimiliki oleh orang lain dan kita akan terkagum-kagun dengan pemikirn orang yang super simple sehingga hidup dia happy-go-lucky. Bawa perbedaan itu pembelajaran untuk kita menjadi terbuka dan maklum dengan sekitar. 

Kini saya mulai bersyukur dengan pengliatan saya yang rada siwer-siwer ini. Saya bisa melihat sesuatu yang indah yang belum tentu orang bisa lihat, saya bisa membodohi diri sendiri dengan melihat sesuai kemampuan mata saya, meski terkadang saya jadi nubruk-nubruk kalau jalan. Saya rasa saya butuh kacamata secepatnya. Tetep. 





23.7.12

Pribadi Kondang

Seorang teman menulis di twitter: " Suatu hari nanti aku pasti akan menjadi seperti si X (temannya juga) dengan berbagai achievements yang dia gapai!" Aku yang sedang asik leha-leha di kursiku sampai terjungkal cekikian sendiri di kursi, untungnya aku bisa duduk kembali .  Aku mengerti sekali kegalauan dan ambisinya. Namun jauh sekali di hatiku berkata, kenapa juga kali musti menyamakan diri dengan orang lain untuk menjamin kesuksesan  masa depan? Jenis kulit aja beda-beda, ada yang mulus, ada yang bopeng-bopeng, ada yang jerawatan, bagaimana dengan nasib?

Memang susah jadi diri sendiri 

Dunia ini terlalu kejam untuk kita berdiri tegak jadi diri sendiri. Untuk kita jadi apa yang adalah pribadi kita. Sepertinya lingkungan sekitar kita terlalu banyak berharap ini itu pada kita, berharap agar kadar sukses kita seperti cara padang mereka. Berharap agar penampilan kita bisa sekece yang mereka lihat di media, padahal mereka juga kena photoshop sono sini.

Lingkungan kita tidak mau menerima diri kita apa adanya karena mereka juga diperlakukan hal yang sama seperti itu. Jadi bisa kita lihat dong betapa susahnya seorang pribadi untuk jadi dirinya sendiri seutuhnya. Memang terkadang kita harus menulikan telinga kita, pura-pura budeg.

Memang seberapa jeleknya  kita untuk bisa menjadi diri sendiri? Apakah se-out of date itu yah untuk jadi diri sendiri, dengan gaya, mode, pemikiran sendiri? Kenapa juga sih harus malu untuk menunjukan jati diri kita yang sejati. Apakah kita tidak capek untuk berpura-pura menjadi diri orang lain? Kenapa sih kita musti ikut pemikiran orang lain dan menjadi ideal untuk orang lain? Kenapa kita tidak bisa dengan bangganya mempersembahkan apa yang kita punya, apa yang Tuhan kasih tanpa mesti rubah sana sini?

Pentingkah jadi kondang? 

Ya...ya aku juga tahu kalo yang satu ini pasti banyak yang mau. Ya nggak, ya nggak? Manjadi seseorang yang dikenal atau pribadi kondang, yang terkenal di kanan kiri, punya teman segudang, punya teman facebook ratusan atau ribuan, yang tersohor akan keahlian atau kemampuannya, yang status facebooknya dilike ratusan ribu orang (lebay haha) atau mungkin yang mendapatkan penghargaan ini itu. Siapa yang tidak ingin, coba?  Pasti ada deh orang diluar sana atau mungkin kamu sendiri yang sedang membaca tulisanku ingin atau sudah seperti itu. Hey, tidak usah tersindir lagi, tidak dosa kok dan tidak salah juga :) Itu adalah sebuah achievement hebat, yang terkadang memang harus kita dapatkan sebagai sebuah penghargaan untuk diri kita sendiri dan merasakan bahwa hidup ini benar-benar hidup. Seperti yang kubaca di majalah-majalah kalau ambisi dan rasa percaya diri itu suatu sex appeal, sesuatu yang seksi. Misalnya kita melihat orang yang benar-benar punya passion untuk suatu hal pasti kita akan melihat energi positif dari diri dia dan matanya pasti berkilat-kilat penuh semangat. Ketika ambisi dan passion itu berasal dari diri sendiri tanpa ada embel apa-apa itu yang jadi murni dan sejati. 

Lain halnya kalau ingin jadi kondang dan dia berusaha untuk menjadi orang lain agar orang lain 'suka' dan merasa dia asik. Nah.. Ini dia masalahnya! Kita menukar diri kita sendiri untuk menjadi seseorang yang bukan kita. Sekarang pertanyaan besarnya adalah mau sampai kapan kita mengikuti orang lain terus dan berusaha untuk bisa sama menjadi mereka-mereka yang kondang? Buat apa, mamen? 'Ah, elu Met pasti iri kan sama mereka yang kegiatannya bejibun sono-sini, kenal sana-sini, penghargaan sana-sini?' celetuk seorang teman baik. Mendengarnya kupingku gatel banget kayak dikilik-kilik. Ya mungkin saja ada sebagian dari hatiku yang iri dengan orang-orang kondang tersebut dan ingin menjadi seperti mereka. Namun untuk menukar jati diri saya dan berubah jadi sama 'plek' seperti mereka? Doh!

Di dunia yang lebih mengutamakan dan menghargai 'kegunaan', kegunaan diri kita bagi masyarakat, apakah kita dipandang lebih dibandingkan dengan orang lain, keinginan untuk berhasil dan berbuat lebih agar kita layak untuk mendapatkan pujian. Sehingga akhirnya kita lupa sebenarnya apa sih tujuan itu semua, siapakah diri kita sebenarnya dan apa sih sebenarnya rencana Tuhan atas diri kita?

Beda kulit, beda treatment 

Beberapa hari lalu aku pergi ke sebuah rumah kecantikan yang cukup terkenal di BSD. Menurut ibuku rumah kecantikan ini sangat ahli dalam menangani masalah kulit. Akibat hormon masa muda yang masih bergejolak, stress mahasiswi imigran, penyakit galau anak muda Indonesia dan asupan makanan yang ngawur, ya sudah akhirnya aku jerawatan. Prihatin melihat perkembang biakan jerawatku, akhirnya ibuku pun membawaku ke rumah kecantikan yang manjur dan murah meriah.

Menurut teman ibuku yang juga menderita jerawatan di muka, menurutnya perawatan di sana ampuh, tidak ribet dan murah meriah. Alhasil jerawatnya pun hilang tak berbekas, akhirnya kami berdua memutuskan untuk ke sana. Ternyata peristiwa ini  ingin mengajarkan padaku bahwa setiap orang itu beda-beda, tidak sama. Perawatanku muahaaaall harganya, udah bukan mahal lagi tapi muahaaaall dan aku harus ikut ini itu, tidak seperti teman ibuku yang cukup sekali oles, jerawat pun hilang copot semua. Pelajaran yang bisa diambil adalah: kamu dan orang lain itu beda. Syukuri itu. 

Sabar 

Ada baiknya kalau kita itu sabar pada diri kita sendiri. Bahwa kita punya waktunya sendiri dengan cara yang berbeda-beda. Kita tidak mungkin sama plek dengan idola-idola kita dengan orang-orang kondang yang berseliweran depan mata kita. Sabar dalam arti kita tetap mensyukuri apa yang kita punya dan miliki, mungkin orang kondang itu kenal sana-sini, penghargaan gono-gini tapi mungkin dia tidak punya bakat bermain musik misalnya. 

Tidak usah minder dan malu untuk tetap berdiri tegak menjadi dirimu sendiri dan berteguh pada pemikiran kamu. Itu justru hal yang unik dan jarang di zaman kini. Ketika orang lain belum merasakan 'kehadiran' kamu, jangan berkecil hati. Seperti kata ibuku: 'Kamu belum berkibar karena benderamu sedang dijahit, direnda dan dipersiapkan.' Seperti kata orang Taiwan: 沒發現又不代表沒有, tidak menemukan bukan berarti tidak ada. Mereka mungkin belum menyadari sinar kamu, cahaya yang kamu punya. 

Dari pada kita sibuk meniru ini dan itu yang ternyata mereka juga manusia biasa yang bisa saja salah, lebih baik kita mempersiapkan diri kita sendiri, dengan jalan kita, dengan talenta yang sudah ada, sesuai dengan rencanaNya. 

Be yourself 

'Mbak saya mau potong rambut yang model Dian Sastro ini ya, mbak.' Kataku pada mbak-mbak salon. Sejam kemudian setelah selesai diblow, dikeramas, dipotong, dll. 
'Mbak kok jadinya gak mirip gini mbak?' 
' Iya kan rambut situ ikal keriting gitu. Kecuali kalo situ mau direbonding kayak Sancai di F4 itu.'
'Ogah deh mbak makasih, ntar rambut saya kayak kucai lagi.'

Nah... liat kan? Kamu tidak akan bisa sama dengan orang lain mana pun, rambut boleh sama hitam tapi jenis rambut kan bermacam-macam. Sudah ditata cantik model rambut Dian Sastro, tapi tetap saja rambutku kurang 'nendang'. 

25.11.10

Filosofi Ikan

sumber gambar: goblue.or.id



Disuatu Rabu yang penat. Sebuah hari di mana merupakan pertengahan dunia nyata sebuah satu minggu. Seminggu yang bisa saja berubah arti bukan 7 hari ; namun terasa lebih. Biasalah....manusia terlalu sering melebih-lebihkan. Begitu banyak majas hiperbolis yang dilontarkan. Mungkin akibat terlalu merindu akhir pekan?

Saat itu hari Rabu. Aku berlari dari sebuah rutinitas. Setelah makan malam aku melarikan diri ke sebuah lapangan luas dan berjalan sendirian. Jadi anti sosial sementara. Mendengarkan lagu-lagu sambil menikmati malam sendirian. Apabila ingin menggambarkannya dengan jelas, bayangkan sebuah lapangan olahraga di sebuah universitas yang pada malam hari banyak orang yang beraktivitas. Asyik dengan dunia masing-masing. Sendiri, berdua-dua, bertiga-tiga, atau mungkin segerombolan. Saat itu adalah jam anak kuliah malam untuk masuk dan menuntut ilmu. Penuh, ribet.

Aku berjalan menyusuri lapangan setapak demi setapak dengan lagu: More to Life- Stacie Orrico. Dengan sedikit liriknya dibawah ini:

There's gotta be more to life...
Than chasing down every temporary high to satisfy me
Cause the more that I'm...
Tripping out thinking there must be more to life
Well it's life, but I'm sure... there's gotta be more
Than wanting more


Menurutku kadang aku sebagai manusia tidak bisa belajar lebih bersyukur dengan apa yang telah aku dapatkan. Lalu mulailah kita dengan majas perbandingan. Lalu ingin lebih, lebih, dan lebih. Banding, banding, naik banding. Kapan puasnya? Kapan cukupnya? Kapan besyukurnya?

Aku tidak ingin menjadi seseorang yang tidak bisa mensyukuri apa yang telah aku terima, yang telah Tuhan berikan padaku. Aku tidak mau selalu merasa kehausan padahal perutku jelas sudah kembung. Aku tidak ingin selalu merasa kurang ketika sebenarnya ada yang kekurangan di luar sana. Aku tidak mau jadi pribadi yang seperti itu. Aku mau hidup damai, aman, tentram dengan pemikiranku sendiri dan bersyukur untuk apa yang telah Tuhan berikan padaku. Aku diberikan keluarga yang kusayangi, mereka mungkin tidak sempurna, mungkin kadang aku pun sebal dengan ayah ibuku yang kadang cerewet dan jadi tidak sabar karenanya. Namun apakah untuk jadi bahagia semua harus sempurna? Tidak toh. Aku pun bersyukur punya teman-teman di sekitarku yang 24 jam untukku. Sahabat-sahabat baikku yang selalu ada untukku setiap saat. Mengapa terkadang kita lupa untuk bersyukur?

Kita terlalu memikirkan keadaan, situasi, lalu menyalahkannya. Lalu takabur lupa bersyukur karena terpengaruh keadaan. Mengapa kita harus kalah pada keadaan? Dan terpengaruh di dalamnya. Misalnya ketika orang lain berteriak-teriak marah karena keadaan yang tidak adil mengapa kita harus ikut-ikutan? Kita bisa belajar dari seekor ikan. Coba lihat! Apakah ikan di lautan akan menjadi asin meski air laut itu asin? Apakah dagingnya menjadi asin kecuali apabila kita menambahkan garam saat memasaknya? Lihatlah ikan di kolam air tawar yang penuh dengan lumut, lumpur, dan makanan mereka adalah tai manusia. Apakah tiba-tiba ikan-ikan itu dagingnya terpengaruh beraroma dan terasa rasa lumut, lumpur, atau bahkan tai?

Begitu pun dalam kehidupan kita, seberapa sulit pun keadaan atau lingkungan di kehidupan kita janganlah mudah terpengaruh. Jadilah manusia bebas. Manusia yang bertanggung jawab total pada dirinya sendiri apakah akan terpengaruh oleh keadaan atau malah tetap dengan keteguhan pribadi. Manusia yang bisa memilih.

Menjadi manusia bebas itu sulit. Karena bebas bukan berarti 'liar' dan tidak mengidahkan apapun namun bebas bertanggung jawab pada hidup masing-masing. Dengan bertanggung jawab pada hidup kita pun belajar bersyukur dengan apa yang kita punyai. Dengan bersyukur kita berani untuk menyelami sebuah nilai baru tentang menerima diri sendiri.

Beranikah kita menjadi ikan yang tidak akan menjadi asin meski tinggal di lautan?

***



Nb.

Hallo mid test udah selesai dan satu-satu nilai pun keluar aaaaaaaaaaaa mamak. Oke aku bukan mau curhat ttg nilaiku yg mengsong. Yaaaah setidaknya aku sudah berusaha dan tidak melupakan bersenang-senang lalu berdoa :)) Sastra mandarin pun sudah selesai mari kita pasrahkan seluruhnya pada Tuhan. Amin.

Kemarin aku bermimpi aneh. Aku mimpi di sekolahku aku ketemu Ferninda. Lalu tiba-tiba sekolah banjir air bah, airnya asin. Ternyata eh ternyata itu air laut. Air itu dateng gede banget lalu berubah jadi lautan besar banget. Terus aku liat ikan GEDEEEEEEEEEEEE banget warna item kayak ikan mujair *haaa ketahuan sebenernya pengen makan ikan mujair goreng buatan ibu*. Ikan itu gede gak kira-kira, gila gede banget. *Ya udah sih,Met!* Terus entah kenapa tiba-tiba aku baru sadar kalo sebetulnya ikannya yang segede babon itu aku. Dibelakangku ada ikan-ikan kecil ngikutin aku perasaanku saat diikuti ikan kecil-kecil itu aku risih, kesel, dan keki tapi aku cuek tetep berenang. Lalu tiba-tiba laut itu berubah jadi surut lagi dan aku terlempar ke luar, tersedot ke luar, air laut pun makin berkurang, ikan-ikan kecil yang ikutin aku klepek-klepek *jatuh cinta kali klepek2* mati kehabisan nafas karena tidak ada air. Lalu aku pun berubah jadi manusia lagi.

Idih mimpi apaaa coba aneh banget! Idihhh gembel. Tapi sodara-sodara setelah pikir punya pikir, aku baru sadar kalo aku punya tulisan yang belom sempet aku publish isinya tentang ikan juga. Mungkin ini kali yah maksud mimpiku suruh nulis tentang ikan. Hahaha :))

Oh iya maap yah karena hampir 1 bulan off nulis dari blog karena begitu banyak kerjaan kuliah dan harus nari di sana-sini. Ayo kita bersemangat untuk mimpi dan cita-cita kita. GBU!


salam,

gadispayungkuning
Metta





new post

ganti blogspot

 YAK  pemirsah, maapin banget nihh udah ga punya blog.com karena......hhh yaudahlah kayaknya gapapa hehe. tadinya aku mau melatih pemikiran ...