Dalam draft ketikan yang tak kunjung selesai ditulis, lalu cangkir
kopi kedua yang telah diseduh dan dingin diam-diam tanpa izin. Berubah
masam dengan sisa ampas di sekeliling cangkirnya. Selapis lipstik merah muda kemerahan
mengecupi bibir cangkir yang disesapi perlahan. Terlihat tumpukkan buku di kiri
kanan tergeletak setelah beberapa kali dibaca dan diusap-usap dengan belaian
yang berbeda. Sesekali menciumi baunya, membenamkan hidung ke dalam dan menghirupnya
dalam satu hisap nafas. Setiap orang memiliki fetish-nya masing-masing dan bagi perempuan ini fetish-nya adalah mencium buku, terutama
buku yang baru dibeli.
Tujuh ratus tiga puluh hari telah dilewati sedari keterpisahan
dengan lelaki sudah lampau. Sudah lampau. Sudah berdebu di ingatan. Lalu sangat
mengerti bahwa perempuan suatu hari akan mencintai seorang laki-laki harum laut
yang sebebas-bebasnya demi apa pun dan tidak akan bisa dimiliki. Cocoklah untuk
si perempuan yang terus berlari dan tertarik akan bahaya-bahaya yang merangsang
otak korteksnya. Sebegitu membutuhkan aliran adrenalin yang berdesir di
sum-sum tulang belakang lalu kegelian sampai batang otak. Si perempuan bukan
definisi cantik milik society dan bukan kebutuhannya untuk menjadi pemanis atau pelengkap
kecantikan yang bergelayut manja di lengan prianya. Rasanya dia tidak seperti
itu, jikalau menggambarkannya si perempuan adalah humor sarkasme gelap di
labirin otak. Dia tidak akan menyuguhkan romantisme legit kemanisan karena dia
khawatir lelakinya akan sakit gula karenanya.
Si perempuan dan lelakinya yang harum laut itu sedang duduk
bersamping-sampingan di kereta menuju kota yang memiliki banyak pantai dan
mereka akan menziarahinya satu-persatu. Ngobrol santai tidak penting dan lalu
memandangi wajahnya lekat-lekat dengan kumis tipis yang alurnya sudah dihafal
mati si perempuan lewat ujung jari dan bibirnya, kemudian sesekali bergidik
kegelian setiap kali bertukar kecupan yang harus dicukupkan.
Pantai yang ditunggu-tunggu hadir di depan hidung dan langit
sore sudah turun mengisi ruang-ruang dekap mereka berdua. Duduk- duduk dengan
pantat lembab karena duduk di pasir pantai dan membenamkan kaki mereka di pasir
yang basah dan dingin namun rasa nyaman tetap hadir lugu.
“Saya di kehidupan selanjutnya rasanya akan menjadi semut
hitam pekerja, yang bekerja sedemikian rajinnya untuk koloni dan Ratu.
Terkadang saya merasa sedikit ada perasaan bersalah jikalau tidak sibuk, tidak
hectic, tidak produktif atau hanya santai-santai saja. Rasanya tubuh saya
ketagihan untuk kerja. Bagaimana ya?”tanya si perempuan sambil menggulung
rambutnya menjadi konde kasual.
“Memangnya kamu menghindari diri dari apa? Ada yang kamu
takutkan?”tanya laki-laki itu.
“Ketakutan? Oh tentu banyak! Rasanya dia mengintai dan selalu
ada di samping saya seperti bayangan lekat-lekat lalu akan merasuki dan menyatu
dengan tubuh saya, kamu tahu kan rasanya?”ujar si perempuan sambil menatap mata
laki-laki itu. Tidak. Rasanya laki-laki ini tidak pernah takut apapun.
“ Oh tentu, saya tahu, rasa seperti takut menyerah pada
ketakutan itu sendiri. Seperti tersedot masuk ke ruang tertutup sempit tanpa
jendela dan pintu lalu waktu rasanya tidak bisa diukur. Ya kan? Jadi kamu sebenarnya menghindari apa?”
“Bukan menghindari hanya saja rasanya, diri sendiri adalah
seorang sahabat sekaligus musuh yang erat di kulit saya. Saya tidak suka
membiarkan diri saya sekosong itu tanpa melakukan apa-apa rasanya saya sudah
terbentuk demikian. Seperti work ethic saya
mengharuskan fokus, detail, dan kerja keras. Saya terdengar seperti perfectionist bitch ya?”
“Iya sih haha. Tapi jikalau kamu nyaman demikian kenapa
tidak?”tanya laki-laki itu diplomatis.
“Atau jangan-jangan saya bukan seseorang yang mencari aman.
Saya kadang sebal dengan diri saya sendiri yang selalu mencari tantangan, rasa
penasaran dan rasa takut itu sendiri. Saya mencari rasa takut dan ingin
dekat-dekat dengannya. Kamu percaya ?”
“Ya, bisa saya lihat dari matamu. Kamu bukan pemain di garis
aman mungkin kau ingin menjadi tuan atas rasa takutmu dan menjadi manusia bebas
sebebas-bebasnya. Tidak tanpa rasa takut, namun melakukannya dengan rasa takut
dan memerdekakannya. Dengan cara itu kamu merasa hidup” kata laki-laki itu
lagi.
“Eh kamu suka serial BBC Sherlock Holmes gak, yang episode
istrinya John Watson bohong habis-habisan ke dia? Lalu menariknya ya ada satu dialog
Sherlock ke John begini : John, you are addicted to a certain lifestyle.
You’re abnormally attracted to dangerous situations and people…so is
it truly such a surprise that the woman you’ve fallen in love with
conforms to that pattern. Gila, saat mendengarnya rasanya saya mau jedotin kepala sambil teriak:
Yo mamen itu gue banget!”ujar si perempuan sambil tertawa.
“Ya, mungkin ada benarnya kamu demikian” kata
laki-laki itu lagi sambil ikut tertawa.
***
Gurat
wajah dan tubuh laki-laki yang dikenal perempuan itu setiap inchinya; gelung rambutnya
yang terurai sesekali; nafasnya yang harum cengkeh dan tembakau, punggungnya
yang melekuk ke dalam dan pinggangnya tempat si perempuan menyelipkan tangannya
sesekali. Mereka berdua selalu
berlekatan tak terpisahkan dan saling mengisi. Bertukar pagut dan berpegangan
tangan. Berbagi cerita dan senyum. Laki-laki ini selalu hadir di mana pun
perempuan itu berada tanpa kecuali. Kehadirannya adalah puncak tersepi di selat
mata si perempuan. Kenyamanan yang dibagikan sebagai bentuk pertahanan diri,
semata-mata hanya untuk menjadi waras. Memelihara apapun itu yang menghidupi
hangat tubuhnya dan kerling matanya.
Di
satu senja itu, di ceruk sebuah pantai terujung, si laki-laki meretas kancing
kemeja perempuan satu persatu, mengeja jemari di kedua payudaranya, menggenggam
jantungnya dan mendikte ritme di setiap degupnya. Bersisi-sisian dan menyatu. Dan laki-laki itu bernama : Fear.
No comments:
Post a Comment