Showing posts with label God is good all the time. Show all posts
Showing posts with label God is good all the time. Show all posts

2.7.16

Nenek Napti


pic: Ilham Sidartha
Liburan ini Nenek sempat menginap tiga hari di rumah karena saya dan Aga tidak pulang kampung ke Ciamis lebaran ini. Ada beberapa rutinitas yang tidak bisa diganggu gugat atau mungkin kami berdua yang seegois itu memilih tidak menyempatkan waktu. Di sepanjang ingatan saya Ciamis adalah kampung halaman yang memiliki segala hal yang didambakan untuk menjadi kampung halaman. Sesungguhnya Ciamis adalah kampung halaman Ibu saya, si gadis Sunda asli dari gunung. Letaknya di pegunungan, jauh dari bising kota, jalan darat yang berkelok dan curam, sawah dan hutan di sisi kanan kiri, serta wangi masam aci yang akan khas tercium apabila mendekati pasar Panawangan. Lalu pasti kami sekeluarga akan mampir makan bakso di pasar Panawangan karena sudah mampus setengah mati dikocok-kocok di jalan. Dan pasti Nenek menunggu di teras rumahnya sambil minum teh. 

Nenek adalah seorang petani. Memiliki rumah luas dengan pekarangan sekebon sendiri seperti orang desa pada umumnya. Dia memiliki sawah, kebun, ladang, kolam ikan, kambing dan beberapa ekor anjing. Lalu wangi rumah Nenek sangat khas dengan udara sejuk dan dingin khas pegunungan. Apabila berjalan ke jalan raya sisi kanan kiri sekitar rumahnya adalah pepohonan tinggi yang menurut saya adalah hutan karena cukup lebat dan gelap. Menariknya ketika pagi hari, saat berbicara nafas kita akan ngepul asap seperti di film-film Korea itu. Was wes wos gitu.

Sosok Nenek bagi saya adalah sosok perempuan yang kuat dan pekerja keras. Dia adalah pelindung keluarga, motivator yang handal dan mencintai Yesus sepenuh hati. Sepertinya Nenek baru memeluk agama Katolik saat orang Indonesia harus memilih agama masing-masing karena Kepercayaan Sunda tidak diperbolehkan dipeluk lagi pada masa itu. Nenek memilih Katolik dan beberapa kakak dan adiknya memilih Muslim. Menariknya Nenek sangat suka menggunakan jilbab saat berpergian atau acara-acara besar, takut masuk angin katanya. Saya rasa Ibu sudah belajar pluralisme dari Nenek sedari usia dini. 

Hidup di desa sebagai petani dengan segala kesederhanaannya membuat pencarian uang untuk sekolah anak-anaknya jauh lebih sulit. Saat itu sawah dan ladang belum dimiliki sebanyak sekarang hingga akhirnya tenaga menjadi alat tukar yang utama. Biasanya akan menawarkan tenaga saat mencangkul sawah, membantu panen raya dan menyemai bibit. Apabila sedang tidak ada tawaran kerja, maka Nenek akan mencari daun sereh dan menjualnya berkeliling setiap hari. Dia perempuan kuat hingga saya dan Ibu adalah fans setia Nenek.

Kini Nenek sudah berumur 78 tahun, tubuhnya kian kurus, jalannya sedikit diseret dan perlahan, lututnya sering sakit tua dan rematik sering kambuh. Kini Nenek sudah pelupa dan sering melamun. Sering bercerita berulang-ulang dan bertanya berulang-ulang karena lupa. Kadang menangis karena ingat masa lalu dan mengira itu nyata. Sudah seperti anak kecil yang keinginannya harus dipenuhi. Saya sedikit terkejut karena pada bulan Desember saya pulang, Nenek belum seperti itu. Sudah berkali-kali diajak tinggal di rumah anak-anaknya namun tidak mau. Dan sangat bisa dimengerti. Rumahnya sudah menjadi bagian dari nafasnya. Pekarangan rumahnya yang luas sudah menjadi bagian dari hidupnya. Pekerjaan sehari-harinya, sawahnya, ladangnya, kambingnya dan anjingnya sudah menjadi bagian dari Nenek dan tidak bisa dipisahkan. Hidupnya sudah terabadikan di sana dan tidak bisa dicabut begitu saja hanya karena Nenek sudah tua dan anak-anaknya ingin merawat dia.

Betapa saya merenungi bahwa ternyata kita masih tergagap-gagap dengan fase 'menjadi tua'. Padahal itu adalah hal yang alamiah dan kita akan melewatinya suatu hari nanti apabila diberikan kesempatan umur panjang. Saya melihat bahwa ada ketakutan untuk menjadi lemah dan tidak berdaya karena selama ini dunia sudah sebegitu berisiknya meneriakkan untuk menjadi yang superior dan paling kuat mengalahkan manusia yang lainnya. Nietzsche memperkenalkannya menjadi Übermensch , super human. Hingga akhirnya kita tidak terbiasa dengan kelemahan itu sendiri dan ditutup-tutupi sekuat tenaga.

Saya sedikit kebingungan melihat fase penuaan Nenek. Seolah merasa dia sudah perlahan menghilang dan tidak berada di sini. Sosok kuat itu kini pudar berganti dengan cara berjalan yang terseret. Saya tidak tahu bagaimana menyikapinya dan sedikit ketakutan menyelinap bahwa saya dan kamu suatu hari nanti pun akan mengalami hal yang sama. Betapa saya sedikit terusik mencari-cari jembatan pemahaman saya dan Nenek. Meraba-raba untuk bisa meraih sampai ke sana dan saya merasa seolah menjadi karbitan dan melompat banyak anak tangga. Saya tahu jelas beliau sudah berada di level sekian dengan kebijaksanaan yang dia miliki yang sudah teruji oleh zaman sedangkan saya masih mengintip takut-takut dari kejauhan. Mengamati dari jauh fase yang baru ini bagi saya.

Kita tinggal di timeline kita masing-masing, bisa saja timeline saya dan kamu bersinggungan suatu hari nanti namun bisa saja itu menjauh. Mungkin ini yang dialami saya dan Nenek. Namun bukan berarti saya tidak bisa menjangkau timeline Nenek, tetap bisa dengan saya ‘nyebrang’ ke sana sesekali dan belajar mengalami. Melihat dunia dari sudut pandangnya dan pemahamannya. Mengenal arti Tuhan dan iman dari lensanya dan kembali mengalami dan merasakan ziarah hidup dia. Hingga mengingatkan saya bahwa untuk sebuah kehidupan manusia berjuang mati-matian dan betapa hidup itu berharga meski sulit. Meski pada akhirnya kita hidup untuk mati di suatu waktu yang telah ditentukan namun ternyata manusia tetap sedemikian takut akan kematian padahal itu adalah sesuatu yang pasti. Kita menghindar dan sedikit ngeri karenanya. Menunda penuaan dan menunda kematian. Sedikit lagi. Selalu sedikit lagi. Padahal segala sesuatu di bawah langit ini ada waktunya.

Saya sampai pada sebuah kesimpulan sendiri, ya memang benar kita sudah pasti akan mati. Suatu hari nanti tanpa kecuali dan mungkin memang sifat dasar manusia adalah untuk bertahan dan berjuang hidup. Seputus asa apapun orang itu memutuskan untuk mengakhiri hidupnya ia tetap berusaha dan bertahan untuk hidup dengan cara yang berbeda, mengakiri penderitaan dalam arti harafiah. Mungkin kita sering kali lupa, bahwa untuk kita hidup sampai hembusan nafas ini ada keajaiban dan kinerja ribuan sel dalam tubuh yang berkerja keras agar kita tetap hidup dan kita tidak tahu bagaimana cara kerja ajaib itu. 

Sampai suatu ketika di suatu malam saat sedang berdoa malam dengan Abhimanyu. Dia berdoa seperti biasanya agar tidak mimpi buruk atau dinakali temannya saat bermain. Lalu di akhir doanya dia berkata, “Oh iya, lupa berdoa untuk Nenek.Ya Tuhan, juga berdoa untuk Nenek karena dia sudah tua semoga bisa tidur nyenyak dan sehat selalu. Amin.”

Mungkin dengan mengirimkan doa untuk Nenek menjadi jembatan yang kokoh. Dan tanpa kita sadari sampai hari ini pun kita tetap bertahan dan berjuang karena doa-doa dari orang lain.


8.4.16

Biru dan Ungu


pic: pribadi, Seminyak, 2 Mei 2015.


Terbangun di pagi yang masih muda membuat saya terkejut. Saya terbangun dan serta merta mata saya benderang. Pagi ini masih terlalu pagi dan saya masih setengah terbangun belum sepenuhnya. Ada selapis selaput tipis antara kesadaran dan tidaknya. Saya berhenti di situ. Saya tidak tahu apa namanya momen tadi itu. Ngelindur? Rasanya tidak. 

Saya merasa momen itu berwarna biru dan ungu. Saya tidak bisa menggambarkannya dengan jelas seperti perlu mendekatkan diri namun takut-takut. Hanya bisa saya deskripsikan dengan warna dan itu terjadi ketika melihat dan berkenalan dengan orang baru pertama kali, saya akan mendeskripsikan dia dengan warna. Rasa ini janggal namun tidak membahayakan. Ada rasa damai dan sepi di sana. Sepi yang betul-betul hening bening hingga jantung saya berdebar hangat namun kaki saya sedikit kedinginan. Atmosfir yang agung, hening dan murni  Ketika momen itu saya merasa cukup. Pada momen itu pula saya merasa kepenuhan.  

Sepi ini melahirkan rasa lain seperti koneksi dengan diri sendiri dan pikiran, terbuka seluas-luasnya. Mungkin benar apabila ada beberapa orang berdoa dan memulai kerjanya pada jam segini karena jam inilah seolah aliran energi Tuhan dan alam semesta sungguh terasa. Mungkin benar apabila mencari sesuatu carilah keheningan. Keheningan dan ketiadaan mampu melahirkan sesuatu. Selesai itu saya menemukan sebuah kata: menerima. Menerima dan membuka hati apa pun itu.

Kemarin saya berdoa dengan sangat. Sungguh-sungguh berdoa agar saya tidak menjadi 'pengecut' yang mudah lari. Saya berdoa untuk tidak jadi penakut untuk mengambil komitmen karena menurut saya itu menakutkan. Komitmen dengan diri sendiri bahwa saya bertanggung jawab sepenuhnya untuk semua hidup, tubuh dan jiwa saya. Saya terlalu overthinking atau terlalu 'dalam'? Saya rasa tidak. Saya hanya lelah, lelah sekali apabila harus terus-terusan menjadi kekanakan dan tidak bertumbuh. Saya lelah, lelah sekali menghadapi diri saya yang takut ini itu dan melarikan diri dari hidup, dari semua kesulitannya, dari semua lukanya, dan dari semua gesekannya. Saya menemukan diri saya terhenti, stuck di sana, stagnan, membosankan dan  menjemukan. Saya ingin melangkah ke tempat yang lebih dalam. Saya ingin menjadi berani untuk masuk ke kedalaman meski misalnya itu tidak mudah dan pasti saya sesekali akan mengeluh. Saya yakin tidak hanya saya yang pernah merasa ini karena pada suatu fase akan ada momen ini ketika segalanya harus diruntuhkan dulu untuk membangun sesuatu. Ketika harus menjadi pecah dan penyok dulu untuk membentuk wujud lain. 

Saya ulang sekali lagi. Mungkin kata kuncinya adalah menerima, membuka hati apapun itu. Menghadapi seberani-beraninya. Berpasrah dalam arus-Nya dan menyadari bahwa tidak ada eskapisme dalam hal menerima. Tidak ada. Membiarkan diri dituntun oleh-Nya sebagai bentuk menyerahan diri karena dia Allah yang setia. Dan bagi saya yang tersulit adalah membiarkan diri dicintai bukan hanya mencintai. Itu sama sulitnya. Menerima kasih dari luar dan tidak serta merta membentengi diri. Mencintai itu memberikan dan menurut saya lebih mudah dari pada menerima diri untuk dicintai. Karena ternyata kita kadang menjudge diri sendiri bahwa kita bukan apa-apa untuk dicintai. Sehingga rasa dicintai itu saya rasa perlu. Dicintai keluarga, teman, kekasih dan yang terpenting merasakan cinta Tuhan. Keberanian untuk keluar dan memperlihatkan sisi 'penyok dan pecah'. Menunjukan bahwa kamu juga memiliki sisi vulnerable. Bahwa kamu dan orang lain pun sama-sama memiliki patahan-patahan di berbagai tempat yang sudah atau sedang kamu perbaiki dan plester sedemikian rupa. Menemukan bahwa hati manusia memiliki mekanismenya sendiri untuk sembuh. Bahwa mungkin hati manusia diciptakan untuk terluka, sembuh dan dia menjadi kuat dari sebelumnya. Toh dalam luka dan kematian, Dia bangkit. Saya dan kamu, kita sama-sama pernah terluka, bukankah demikian? Namun kita menjadi semakin kuat dari sebelumnya. Tidak, tidak usah takut menjadi dewasa. Jadilah tenang! Saya ingatkan sekali lagi: Tidak ada sehelai rambut pun yang terlewatkan dari rencana Tuhan.

Lalu kemarin saya terpesona sendiri dengan tulisannya Paulo Coelho di salah satu bukunya, Aleph. Ada satu halaman penuh yang saya gemari dan saya baca berulang-ulang. Begini:

"Aku mencintaimu," kataku padanya. "Aku mencintaimu karena semua cinta di dunia ini seperti sungai berbeda-beda yang akhirnya mengalir menuju danau yang sama. Semuanya bertemu dan kemudian menjadi satu cinta yang menjadi hujan dan memberkati bumi.

"Aku mencintaimu seperti sungai yang menciptakan keadaan-keadaan yang tepat bagi pohon-pohon, semak-semak, dan bunga-bunga untuk tumbuh dan berkembang di pinggirannya. Aku mencintaimu seperti sungai yang memberikan air pada yang haus dan mengantar orang-orang ke mana pun tempat yang mereka tuju.

"Aku mencintaimu seperti sungai yang memahami bahwa ia harus mengalir ke arah berbeda saat melewati air terjun dan beristirahat di cekungan-cekungan rendah. Aku mencintaimu karena kita semua lahir di tempat yang sama, pada sumber yang sama, sehingga sumber air untuk kita selalu tersedia. Jadi, saat kita merasa lemah, kita hanya perlu menunggu sebentar. Musim semi kembali, dan salju musim dingin meleleh serta memberi kita energi baru.
"Aku mencintaimu seperti sungai yang dimulai dengan tetesan-tetesan sepi di pegunungan, lalu pelan-pelan membesar dan bergabung dengan sungai-sungai lain sampai pada satu titik, sungai itu dapat mengalir melewati hambatan apa pun untuk mencapai tujuannya.
"Aku menerima cintamu dan memberikan cintaku. Bukan cinta lelaki pada perempuan, bukan cinta ayah pada anak, bukan cinta Tuhan pada umat-Nya, melainkan cinta tanpa nama dan tanpa penjelasan, seperti sungai yang tidak bisa menjelaskan kenapa ia mengikuti alur tertentu dan hanya terus mengalir. Cinta yang tidak meminta dan memberikan apa-apa; sungai yang hanya hadir, apa adanya. Aku tidak akan pernah menjadi milikmu, dan kau tidak akan pernah menjadi milikmu, meski begitu, jujur kukatakan: aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu."
 Astaganaga kan? Terbengong-bengong sendiri sampai pada pemahaman itu. Apa gerangan yang harus dia lewati untuk bisa lahir sebuah tulisan itu, ya memang harus mau dibentuk, dipecahkan, dikoyak dan terluka.  Karena itu: Bertumbuhlah!



Ps.
ini adalah sebuah catatan kecil sebelum ikut retret tiga hari, semoga disegarkan kembali! Selamat menikmati hidup ya, sahabat. Doakan semoga saya bisa bertumbuh. Tuhan memberkati. Terima kasih, terima kasih, terima kasih! 


25.3.16

Apa yang sering tidak kita bicarakan?


Hal yang menarik pada hari ini adalah hari Jumat yang libur. Betapa tidak? Rehat sejenak dari berbagai aktivitas yang monoton dan bisa berlibur panjang, entah jalan-jalan ataukah istirahat di rumah. Untuk beberapa orang tentu hari ini bukan sekedar liburan biasa karena hari ini adalah hari perayaan Jumat Agung, Hari Kematian Yesus Kristus. 

Hari Jumat Agung selalu ditandai dengan hari mendung disertai hujan terutama pada pukul 3.00 sore. Setidaknya itu yang selalu saya perhatikan selama ini. Ibu saya selalu berkata pada jam kerahiman tersebut akan mendung dan mungkin hujan karena alam ikut berduka atas kematian Raja Semesta. Untuk saya yang mengimani hal tersebut saya mempercayainya. Bukankah terdapat sebuah garis tipis antara logika nalar kritis dengan hal-hal yang menyangkut dengan spiritualisme Ketuhanan? Saya sendiri terkadang masih terseret-seret antara kedua hal ini. Namun hal yang saya yakini adalah kedua hal itu eksis di kehidupan kita, jadi seharusnya bisa saling memberikan jawaban. Meski sekarang ini dalam beberapa hal masih terantuk-antuk, tidak menemukan jawabannya. Tapi hei, sesuatu yang kontradiktif juga adalah jawaban kan?

Mengimani sesuatu terkadang pelik, apalagi iman yang diterima bulat-bulat secara harafiah. Sering kali ibu dan babeh berkata "Segala hal jangan diterima langsung, litterlijk (baca: litterlegh, arti literally) Lihat dasarnya, lihat teologi dan filsafatnya." Namun tentu kita tetap dengan kemalasan otak dan ketumpulan berpikir hingga mengartikan segalanya satu persatu kata, ya kan? Itulah godaan paling besar di abad ini, menjadi dangkal karena itu paling mudah dilakukan. Saya sering begitu. 

Sudah menyadari dan rasanya pernah menulis di tulisan sebelumnya bahwa saya bukanlah pemeluk Katolik yang militan. Sering bolong berdoa, malas gereja, bolos Legio Maria, lupa kalau harus Sakramen Tobat dan saya gemar mempertanyakan ini itu sampai ruwet. Sering kali enggan menyatakan identitas bahwa saya Katolik karena males ditanya ini-itu, malas berkonvrontasi dengan orang lain, malas untuk membicarakan agama karena takut baper. Saya rasa tidak sedikit yang pernah merasakan seperti ini. Hingga akhirnya kita memilih diam dengan dalil, sudahlah ntar ribet panjang ra uwis-uwis. Akhirnya kita hindari. Sesungguhnya sampai saat ini saya pun belum menemukan baiknya bagaimana sih haha. Saya masih mencari dan riset kanan kiri. Mungkin siapa tahu ada yang mau memberikan advise monggo loh, saya menanti. 

Di hari Jumat Agung yang bagi saya spesial ini, saya menemukan sekelumit jawaban untuk sebuah ketakutan: kematian. Saya takut mati karena saya belum pernah. Oke alasan menggelikan, tapi sungguh saya takut karena saya tidak tahu seperti apa itu kematian. Kalau kalian pernah nonton film Before Sunset, tokohnya si Celine juga takut akan kematian. I think I'm afraid of death 24 hours a day … I'm so scared of those few seconds of consciousness before you're gonna die.  Kematian adalah sebuah topik yang tidak mampu kita bicarakan blak-blakan ketika sedang berkumpul istirahat makan siang atau minum kopi. Bukan topik yang bisa kita ulas dengan santai tanpa ada rasa emosional di sana. Setidaknya itu yang saya rasakan. Terutama kematian orang yang kita sayangi. Sungguh sebagai manusia kita masih tergagap-gagap dengan kematian ini. Ya benar kita memang tidak mempunyai kendali atas urusan ini. Saya pernah baca salah satu tweet seseorang namun saya lupa siapa, dia menulis  salah satu lagu di film Begin Again berjudul Lost Stars. Ada satu lyric bunyinya begini Who are we? Just a speck of dust within the galaxy. Kalau di translete kira-kira jadi begini: Da aku mah apa atuh? Cuman butiran debu. Haha nah ini cocok tepat sekali menggambarkan situasi ini. Kita cuman butiran debu di alas kaki Tuhan, coy!

Pernah suatu hari saya dan adik kecil saya yang masih berumur lima tahun, Abhimanyu sedang berjalan ke kuburan Oma untuk nyekar. Saat itu kami jalan berdua dan melewati sebuah kuburan anak kecil. Lalu Abhimanyu diam sejenak dan bertanya, "Ini kuburan kecil ya? Kok anak kecil mati, kenapa?" Saya pun menjawab karena dia sakit keras. Lalu Abhimanyu pun bertanya lagi "Aku juga sedang sakit batuk, aku nanti mati ya?" Saya bingung mau menjelaskan bagaimana, akhirnya saya pun menjawab " Iya... kita semua nanti akan mati. Tapi kamu kan kemarin sudah ke dokter sudah mau sembuh kan." Akhirnya pembicaraan itu selesai begitu saja. Saya tahu jawaban saya masih menimbulkan pertanyaan, di otak Abhimanyu masih berputar, anak kecil kok mati? Bukankah seharusnya orang dewasa? Jadi aku juga bisa ya? Sungguh saya tidak tahu bagaimana menjelaskan kematian pada anak kecil karena saya sendiri pun ketakutan untuk sampai ke sana apalagi membayangkannya. 

Hingga akhirnya saya menemukan sedikit pencerahan dari Dia yang disalibkan dan kakinya saya cium tadi. Bahwa Yesus sendiri pun melewati kematian dengan penderitaan yang dia rasakan. Dengan ketakutan yang Dia alami dan berkata "Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." Yesus pun takut namun dia menghadapi penderitaannya dan kematiannya sebagai sesuatu yang harus dihadapi. Lalu akhirnya pada hari ketiga bangkit. 

Penderitaan dan kematian tidak akan bisa dihindari manusia. Itu adalah bagian dari hidup manusia. Dengan kematian Yesus di kayu salib, mengubah makna penderitaan dan kematian sebagai sesuatu yang tidak perlu ditakuti, semua akan kembali pada Bapa dan ada kebangkitan serta keselamatan dari sana.

Kira-kira demikian. Lalu saya jadi bertanya lagi, jikalau memang kita dilahirkan dan pada akhirnya kita mati dan kembali pada Nya,  sebenarnya hidup sendiri untuk apa ya?

Nah kan, mulai.


2.12.15

Dengan tanda-tanda yang menyertainya

Akan ada malam-malam ketika saya menyetel radio kamar kelewat keras karena tidak ingin merasa sendirian dengan isi kepala yang tidak bisa sunyi. Lalu saya pun menikmati situasi ramai yang fana. Dan sungguh menyukai bunyi-bunyi tuts keyboard laptop saya yang berbunyi tik-tik-tik itu. Rambut basah dan harum shampoo, wewangian buah yang manis lalu saya tak henti-henti berkata pada diri sendiri "Ah senangnya, rambut saya wangi." 

Hal yang saya sukai di malam hari adalah berdiam diri dan membaca. Namun kali ini sedang tidak mood untuk membaca, padahal saya baru beli buku baru kemarin dan masih ada setumpuk buku di sudut meja menunggu untuk dibaca. Oh ini namanya perbuatan sia-sia. Semoga bisa dibaca selesai sebelum ganti tahun. 

Hari ini pasti saya sedang demam karena saya tiba-tiba tergerak untuk membaca Alkitab. Astaganaga, iya saya bukan Katolik militan yang lurus karena saya ini belok-belok dan gemar bertanya. Bukankah keimanan seseorang juga berasal dari pertanyaan-pertanyaan dan kegelisahan dia dalam pencarian? Mungkin saya adalah tipe yang harus bertanya terlebih dahulu untuk sampai pada sebuah iman. Dan menurut saya kita harus kritis dan tidak menjadi fanatis dan merasa benar sendiri. Toh agama adalah sarana untuk merasakan cinta Tuhan lalu membagikannya pada sesama kan? Iya kan?

Bacaan hari ini menarik karena ada satu perikop yang menarik begini bunyinya "... Tuhan turut bekerja dan meneguhkan firman itu dengan tanda-tanda yang menyertainya."  Saya menyukai perikop Markus 16:20 ini.

Tuhan turut bekerja. Saya kadang abai akan hal ini hingga saya merasa bahwa saya bekerja sendiri dengan kekuatan dan pemahaman saya sendiri tanpa menyadari bahwa Tuhan juga ikut andil dalam hidup saya. Seharusnya sih, saya bekerja melakukan dengan baik dan sungguh-sungguh bagian saya dan menyerahkan bagian Nya untuk Dia urus. Namun ya... namanya juga manusia, seringnya sih lupa lalu takut dan khawatir. 

Menurut saya perikop ini manis, karena seolah Tuhan sedang berbicara selayaknya ayah pada anak perempuannya yang bandel, keras kepala dan banyak tanya ini. Ayah yang pasti bisa diandalkan dan melindungi anak perempuannya. Ayah saya saja demikian bagaimana dengan Dia, Bapa yang ada di sorga? Lalu penyertaan Nya akan kita jumpai dalam setiap pertanda. Mungkin apa yang dihadapi pasti berliku dan berat, tapi Dia adalah setia. Bahwa saya percaya kalau segelap apa pun lorong di depan saya. Dia akan selalu menggandeng tangan saya dengan tanda-tanda yang menyertainya.




27.8.15

Membaca Pertanda


Sedikit cerita aneh tentang hari ini. Begini ceritanya saat saya berangkat kantor, biasa saya suka berdoa pagi dalam hati sambil melihat-lihat keadaan sekitar. Pagi ini entah mengapa saya sedang bercerita dengan Ibu saya bahwa saya sedang berdoa untuk suatu keinginan saya. Lalu kemudian Ibu saya pun sharing kalau saat dia berdoa terkadang jawaban itu ada hadir dalam hati, mungkin seperti pencerahan? Lalu entah mengapa pembicaraan kita terhenti sampai situ saja. Lalu saya berangkat ke kantor seperti biasa, di pagi yang biasa, naik bus kantor seperti biasa, duduk di kursi favorite saya yang biasa dan memandang jendela yang sama setiap harinya. Semua sama. Sampai akhirnya saya berpikir yang aneh-aneh. 

Begini, saya berpikir begini kenapa ya kok Tuhan tidak memberikan kita jawaban langsung seketika sehingga kita mengerti segamblang-gamblangnya jikalau jawaban Dia "ya" dan "tidak". Mengapa harus kita yang muter-muter cari sendiri dan hanya mengandalkan kepercayaan kita sepenuhnya pada Dia. Memang Tuhan tidak tahu apa ya kalau saya itu orangnya sudah egois, oon, nyebelin, keras kepala dan susah diberi tahu. Namun tetap saja dong Tuhan tidak memberikan jawaban yang "taraaaaa!" langsung depan mata. Kalau begitu kan hidup saya pasti semakin baik dan jadi lempeng gak belok-belok. Ya gak?

Lalu memang dasar saya ini agak bandel, saya bertanya-tanya sendiri, kenapa juga Tuhan tidak menggunakan bahasa manusia langsung ke saya gitu, jadi hubungan kita tuh ada tanya jawab, jadi semua clear. Bukannya Tuhan itu Maha Segala Bisa dan Maha Esa ya? Tapi kenapa untuk memberi jawaban ke saya aja susaaaaaaaahhhh banget rasanya, kan saya jadi gelisah dan gerah sendiri. Ya itulah manusia eh salah, mungkin itulah saya, Metta yang nyebelin dan suka tanya ini itu. Heran saya juga kenapa ya Tuhan kok gak give up aja sama saya yang bebal ini. Ya itu lagi,  mungkin karena Dia itu Esa maka Dia tidak akan pernah menyerah dengan saya. 

Kembali lagi, sehingga sepagian ini saya bertanya-tanya mengapa kok Tuhan pelit sekali kasih saya jawaban. Lalu saya pun duduk di bus mau ke kantor sambil berpikir asyik sendiri, berpikir tentang Tuhan dan menganalisa Dia dengan otak saya yang sudah pas-pasan dan seuprit ini. Oh betul... semakin saya berpikir saya semakin pusing dengan pemikiran saya sendiri. Akhirnya saya sudahi saja dan membaca-baca renungan singkat untuk pagi itu. 

Memang ya... mungkin karena Tuhan sudah gerah dengan saya yang sok tahu ini lalu serta merta renungannya judulnya begini "Apakah Dia Mendengar?" Waduh...bisik hati saya. Perasaan saya jadi agak geli-geli gimana gitu. Lalu bacaannya sungguh menohok saya sampai rasanya tembus hati saya ini. Gila...udah deh saya skakmat, habis sudah saya jadi butiran debu.  Begini bunyinya:

Apabila kita berdoa, kita mungkin tidak melihat bagaimana Allah berkerja, atau kita tidak mengerti bagaimana Dia akan membawa kebaikan melalui semuanya ini. Oleh karena itu, kita harus percaya kepada-Nya. Kita mesti melepaskan hak-hak kita dan membiarkan Allah melakukan apa yang terbaik untuk kita.  Kita harus menyerahkan apa yang tidak kita ketahui kepada Dia yang tahu segala sesuatu. Dia sedang mendengarkan dan menangani masalah itu menurut cara-Nya sendiri. Apabila kita berlutut untuk berdoa, Allah mendekatkan telinga-Nya untuk mendengarkan. 

Astaganaga, ternyata saya deh yang rada budeg dan menutup hati untuk melihat berbagai banyak pertanda. Bahwa pertanda itu nyata ada di sekeliling kita. Saya lupa kalau sebenarnya saya ini hanya butiran debu di alas kaki-Nya. Bahwa saya ini ciptaan-Nya, mana mungkin otak saya ini bisa melampaui Pencipta sih. 

Saya tahu mungkin ketika anda sekalian membaca tulisan ini pasti ada yang berfikir kalau saya ini terlalu religius dan tidak realistis. Padahal saya kan pecicilan ke sana ke mari, namun entah mengapa saya sungguh merasa doa adalah kekuatan saya untuk tetap bisa kuat dan entah mengapa saya ingin mempunyai hubungan mesra dengan Dia. Keyakinan saya kalau manusia terlalu kerdil untuk rencana-rencana-Nya yang begitu besar. Bahwa saya percaya Dia adalah Allah yang setia dan pemeliharaan-Nya selalu tetap. Dan saya merasa tenang dalam Dia.





8.12.13

Bahwa untuk menjadi sesuatu yang baru kita harus remuk dan melebur


pic: weheartit.com

Hai. Akhir-akhir ini saya sedang berpikir apakah saya ini sudah mempunyai hidup yang bermakna. Apakah ini hanya saya saja ataukah memang di umur saya yang 22 ini, saya sedang mencari. Karena saya merasa saya kehilangan diri saya. Ada beberapa hal yang krusial yang hilang. 

Apakah semakin kamu dewasa, idealisme itu akan semakin terkikis begitu saja dengan realitas? Apakah segala nilai prinsipil yang kamu anut pelan-pelan bukan sebuah prioritas? Saya rindu dengan saya yang tidak gentar dengan masa depan, saya kangen dengan idealisme polos saya yang berkobar-kobar bahwa saya memiliki suatu api yang masih terjaga. Saya rindu dengan saya yang bermimpi suatu yang besar bahwa suatu hari nanti saya bisa meraihnya. 

Ketika kamu dalam perjalanan meraih apa yang kamu inginkan, rasanya kamu itu sendirian, rasanya perjalanan mengikuti mimpi itu terjal berbatu dan kamu tak jarang menangis sampai tertidur lalu kamu bangun pagi dengan keadaan was-was. Apakah suatu hari kamu akan sampai di sana?

Saya takut jikalau suatu hari nanti saya tidak menjadi seperti apa yang saya impikan sekarang. Saya takut kalau ternyata saya ini tidak akan memiliki hidup yang bermakna yang saya inginkan. Saya rasa apa yang saya alami ini MUNGKIN biasa, mungkin memang harus ini yang saya lewati. Sampailah saya di sebuah fase kebingungan. Saya bingung dengan hidup saya. Rasanya saya berjalan di sebuah lorong gelap dan saya tidak tahu apa yang ada di depan saya. Semua indera saya mati rasa. Pertanyaan besarnya adalah: saya diciptakan untuk apa? Untuk menjadi apa? Karena rasanya mimpi saya semua patah di dahan dan menjadi serpihan.

Kembali saya mengingat akan kisah Alkitab. Nabi Musa harus hidup di padang gurun selama 40 tahun lamanya untuk bisa memimpin umat Israel. Daud harus tinggal 17 tahun di padang gurun sebelum menjadi raja dan Yesus pun dibawa ke padang gurun untuk dicobai iblis saat berpuasa. Mungkin saya sedang dalam fase padang gurun. Padang gurun menjadi sebuah tempat di mana seseorang digodok untuk mengerti apa tujuan hidup dia. Padang gurun menjadi sebuah tempat ujian sebelum kemenangan. 

Masa-masa ini adalah masa sulit yang membutakan seluruh indera saya. Di mana kita akan dimurnikan untuk menjadi 'sesuatu' yang lebih berharga. Pembentukkan karakter yang ternyata memang sakit setengah mati. Untuk menjadi sesuatu yang baru kita ternyata harus remuk dan melebur. Untuk menemukan diri, kita harus mengalami proses kehilangan diri sendiri. 

Manusia tidak pernah mengerti rencana Dia. Otak manusia tidak mampu melampaui pemikiran Nya. Mungkin ada baiknya kita manusia percaya bahwa Tuhan itu baik, kapan pun itu. Bahwa dia adalah Ayah kita di surga yang pasti akan melindungi anaknya. Hingga ketika kamu berjalan di lorong yang gelap dan seluruh inderamu mati rasa, kamu punya koneksi singkat dengan Ayahmu yang Di Atas. Hatimu. Percayalah apapun itu tetap percayalah. Karena Dia mengasihi kita lebih dulu. 

new post

ganti blogspot

 YAK  pemirsah, maapin banget nihh udah ga punya blog.com karena......hhh yaudahlah kayaknya gapapa hehe. tadinya aku mau melatih pemikiran ...