pic: weheartit.com |
Hai. Akhir-akhir ini saya sedang berpikir apakah saya ini sudah mempunyai hidup yang bermakna. Apakah ini hanya saya saja ataukah memang di umur saya yang 22 ini, saya sedang mencari. Karena saya merasa saya kehilangan diri saya. Ada beberapa hal yang krusial yang hilang.
Apakah semakin kamu dewasa, idealisme itu akan semakin terkikis begitu saja dengan realitas? Apakah segala nilai prinsipil yang kamu anut pelan-pelan bukan sebuah prioritas? Saya rindu dengan saya yang tidak gentar dengan masa depan, saya kangen dengan idealisme polos saya yang berkobar-kobar bahwa saya memiliki suatu api yang masih terjaga. Saya rindu dengan saya yang bermimpi suatu yang besar bahwa suatu hari nanti saya bisa meraihnya.
Ketika kamu dalam perjalanan meraih apa yang kamu inginkan, rasanya kamu itu sendirian, rasanya perjalanan mengikuti mimpi itu terjal berbatu dan kamu tak jarang menangis sampai tertidur lalu kamu bangun pagi dengan keadaan was-was. Apakah suatu hari kamu akan sampai di sana?
Saya takut jikalau suatu hari nanti saya tidak menjadi seperti apa yang saya impikan sekarang. Saya takut kalau ternyata saya ini tidak akan memiliki hidup yang bermakna yang saya inginkan. Saya rasa apa yang saya alami ini MUNGKIN biasa, mungkin memang harus ini yang saya lewati. Sampailah saya di sebuah fase kebingungan. Saya bingung dengan hidup saya. Rasanya saya berjalan di sebuah lorong gelap dan saya tidak tahu apa yang ada di depan saya. Semua indera saya mati rasa. Pertanyaan besarnya adalah: saya diciptakan untuk apa? Untuk menjadi apa? Karena rasanya mimpi saya semua patah di dahan dan menjadi serpihan.
Kembali saya mengingat akan kisah Alkitab. Nabi Musa harus hidup di padang gurun selama 40 tahun lamanya untuk bisa memimpin umat Israel. Daud harus tinggal 17 tahun di padang gurun sebelum menjadi raja dan Yesus pun dibawa ke padang gurun untuk dicobai iblis saat berpuasa. Mungkin saya sedang dalam fase padang gurun. Padang gurun menjadi sebuah tempat di mana seseorang digodok untuk mengerti apa tujuan hidup dia. Padang gurun menjadi sebuah tempat ujian sebelum kemenangan.
Masa-masa ini adalah masa sulit yang membutakan seluruh indera saya. Di mana kita akan dimurnikan untuk menjadi 'sesuatu' yang lebih berharga. Pembentukkan karakter yang ternyata memang sakit setengah mati. Untuk menjadi sesuatu yang baru kita ternyata harus remuk dan melebur. Untuk menemukan diri, kita harus mengalami proses kehilangan diri sendiri.
Manusia tidak pernah mengerti rencana Dia. Otak manusia tidak mampu melampaui pemikiran Nya. Mungkin ada baiknya kita manusia percaya bahwa Tuhan itu baik, kapan pun itu. Bahwa dia adalah Ayah kita di surga yang pasti akan melindungi anaknya. Hingga ketika kamu berjalan di lorong yang gelap dan seluruh inderamu mati rasa, kamu punya koneksi singkat dengan Ayahmu yang Di Atas. Hatimu. Percayalah apapun itu tetap percayalah. Karena Dia mengasihi kita lebih dulu.
Hai Metta, umm, aku ndak yakin apa maksud kamu dengan 'apakah hidup saya bermakna'. Tapi aku kadang juga mikir kayak gitu. Apalagi mikir "mimpi-mimpi", "idealisme", dan "ambisi" masa lalu (caelah...). Well, ada satu kalimat dari buku Mary of Nazareth yg bunyinya kira2 gini, "Most people don't have chance to do big things. So if you don't do small things extraordinarily well, what's left behind to offer up?" Anyway, intinya yah beginilah hidup kita. Memang biasa-biasa aja dan mundane, tp kayak yg kamu bilang, dari situlah kita dimurnikan :):) melalui our small mundane daily crosses =P
ReplyDeleteHaiii fer :) makasih yah udah ninggalin comment hehe. Bener deh kayaknya memang harus dimulai dari hal-hal yang kecil di sekitar kita. aku suka tuh yg kamu bilang: our small mundane daily crosses, kadang sesuatu yang biasa itu membosankan, dan gimana caranya kita tetep semangat di keadaan yang biasa ini. Ga mudah yaaaa :D
ReplyDelete