28.12.19

Libur Natal dengan Degdegan Kecil







Mengunjungi Jawa Barat artinya pulang ke kampung halaman. Mengunjungi Bandung artinya pulang pada kota kelahiran dan bernafas menikmati udara adem-adem yang menyenangkan. Bandung sekarang macet sekali dan menguji kesabaran untuk setiap pergi ke sana-sininya. Lalu kata tanteku, "Ya sudah, dinikmati saja macetnya." Iya juga sih, menikmati kemacetan Bandung dengan membuka jendela mobil dan membiarkan angin dingin masuk lalu berkata dalam hati: 'Apakah suatu hari nanti bisa menetap di Bandung?' Aku tahu sih, jawabannya sudah pasti tidak karena semua keseharianku di BSD-Jakarta. Namun, tentu kita selalu bisa meromantisir kota dengan berpikir, kalau aku beneran jadi warga lokal seperti apa ya rasanya? 

Libur Natal ini sebenarnya tidak selow-selow amat karena aku harus membereskan essay kuliahku yang banyak itu, lalu memikirkan abstrak thesis, lalu sedikit khawatir apakah bisa mengerjakannya dengan baik atau tidak. Lalu aku jadi berpikir mungkinkah aku akan selalu sedikit-sedikit khawatir tentang hari depan?

Dua hari sebelum Natal aku berkeliling Bandung dan duduk mengerjakan tugasku dengan adikku yang juga sibuk kerja. Sebenarnya tugas kuliahku  ini simple hanya memberikan tanggapan kritis akan pemikiran Sigmund Freud. (Meski pasti tanggapan kritisku jadi mentah-mentah apaaaaan banget aku gak puas tapi otakku udah senut-senut). Menurut Freud, agama adalah neurosis dan ilusi. Aku suka dengan pemikiran Freud tentang agama ini karena menurutku menarik sekali terlepas bahwa ia adalah seorang atheis dan tidak mempercayai Tuhan. Baginya orang yang percaya Tuhan dan memeluk agama lalu menjalankan ritual seperti orang neurotik/sakit jiwa (haha). Menurutku lucu juga ya, karena agama rasanya kini sangat rentan dihajar banyak issue dan seseorang bisa sebegitu fanatiknya akan satu kepercayaan apapun itu. Mengacu pada agama yang dikatakan sebagai ilusi-karena hanya memberikan perasaan aman yang sumir-sumir bahwa akan ada Tuhan yang lebih besar akan selalu melindungi kita dari bencana dan Takdir, menurut Freud itu seperti trauma kanak-kanak yang meminta perlindungan pada ayahnya karena merasa tidak berdaya. Menurutku, Freud barangkali gemas dengan orang-orang sekitarnya yang memuja agama dan kepercayaan sebagai suatu kebenaran tunggal mengingat keluarganya adalah Yahudi dan harus sembunyi-sembunyi menjalankan ritual agama dari ancaman agama Kristen pada masa itu. Pasti lelah, harus terus menjalankan agamanya, tapi ada agama lain yang memberikan 'tekanan' pada orang lain demi peradaban Eropa yang begono begini. Rasanya pemikiran suatu tokoh tidak bisa lepas dari pengalaman historis seseorang pada masanya dia hidup karena pasti dia akan mengidentifikasi kejadian pada zamannya. Lalu, untuk urusan agama dan kepercayaan menurutku kembali lagi pada pemahaman seseorang. Apakah dia memilih untuk memandang dari kacamata intelektual ataukah reflektif? Kalau intelektual pasti rasio dan logika bermain di dalalamnya, sedangkan pengertian reflektif artinya menghadirkan Yang Transenden dalam setiap pengalaman yang terjadi. Ada iman di sana. Jadi, bisa dipilih gitu menurutku. Sehingga besok-besok kalau mau diskusi agama, bisa banget nih membedakan mau ambil dari sudut pandang yang manakah.



Bandung dan segala keramah tamahannya, suasana yang adem tapi aku sedang degdegan kecil dan perasaan rawan menyelindap. Mungkin khawatir hari depan, tugas kuliah yang deadline semua jatuh di akhir tahun dan awal tahun 2020. Aku dan adikku memilih anteng duduk-duduk di sebuah cafe kecil dekat ITB namanya Yumaju. Aku memesan Cappuccino double shot yang ternyata sudah double shot dari sananya sehingga aku tidak perlu tambah espresso atau apapun lagi. Lalu, adikku memesan Hot Americano, tapi aku lupa beans nya namanya apa ya. Kami duduk dan membuka laptop masing-masing bekerja. Aku memikirkan baik-baik akan essayku yang njelimet ini hingga kesal-kesal sedikit. Lalu jadi berpikir bahwa aku terlalu menarik diriku dan tinggal di masa depan sehingga lupa duduk menikmati masa ini, atau aku menarik mundur diriku di masa lalu berusaha memperbaiki ini itu. Padahal harusnya memang saat inilah yang pantas dinikmati, ya kan? Sepertinya aku gak bakal lulus-lulus jadi mindful kalo begini caranya. 

Pernah beberapa waktu aku ngobrol dengan teman kuliahku bahwa rasanya Desemberku tidak memberikan hawa libur dan damai sejahtera Natal. Aku hanya merasa rawan dan terburu-buru. Lalu, kata temanku dia berkata memang sebenarnya Natal bisa jadi adalah masa di mana rasa rawan dan rapuh itu terjadi, karena Bunda Maria hamil tua dan melakukan perjalanan panjang ke Betlehem. Pasti was-was dan khawatir akan melahirkan di manakah, bagaimanakah, seperti apakah rencana Tuhan bekerja. Mungkin ini hanya interpretasi ngaco di hari Sabtu beberapa hari setelah Natal saja, jadi kurasa tidak usah diambil pusing, ok? Mungkin yang seharusnya diambil jadi jalan ninja adalah: mindfulness itu tadi. 





Kemudian sorenya aku ke Kineruku, sebuah sanctuary buatku. Kurasa surgaku sudah pasti adalah perpustakaan luas yang dipenuhi buku, lalu aku bisa berlama-lama membaca banyak buku di dalamnya. Kineruku adalah tempatku untuk tarik nafas dan hhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh yang panjang. Di sana aku memesan teh poci dengan gula batunya dan mendapatkan tempat duduk favorite menghadap taman. Senang sekali. Di sana aku melihat-lihat bukunya yang banyak sekali dengan mata berbinar (kuyakin), kemudian aku membaca bukunya Alain de Botton judulnya On Love. Buku ini manis kesel-kesel, memanjakan intelektual, dan charming sekali, tentang essay realitas cinta dan nggak picisan. Dalam buku ini yang menarik adalah pembahasan akan Heidegger tentang waktu, lalu Platonic Love, serta Marxism. Kemudian ada salah satu quote yang menarik buatku "The longing for a destiny is nowhere stronger than in our romantic life" Duh tapi belum selesai baca karena keburu pulang huhu. Apabila ke Bandung, datanglah ke Kineruku ya. 









Selama perjalanan pulang dari misa malam Natal, kurasa memang Natal adalah masa-masa berkumpul dengan keluarga, sahabat, dan orang-orang terdekat. Kalaupun tidak, kurasa Natal tetap adalah hari pelan-pelan sedunia dan perayaan sudah menjalani setahun dan masih survive. Menepuk-nepuk bahu sendiri, melihat keluar, dan mensyukuri hidup dan peristiwa satu tahun yang sudah dijalani. Tidak melulu melihat segala hal selintas dan permukaan saja, tapi berani masuk ke dalam. 

Kemudian kemarin aku jadi mendengarkan lagu Have Yourself a Merry Little Christmas dengan seksama yang ternyata artinya bukan hanya lagu-lagu coffee shop atau lagu di mall saja. Ada pesan hangat dan manis sekali yang ingin disampaikan;  damai dalam diri dari kesulitan hidup (Let your heart be light dan Our troubles will be miles away) dan kehangatan dengan orang-orang sekitar kita yang harus disyukuri. Karena ternyata mereka tidak selamanya berada bersama kita (Through the years we all be together, if the Fates allow). Lalu, bisa jadi menurutku Natal ini lebih mensyukuri semua orang yang berdekatan dan masih tinggal berada dalam hidup kita. Dan juga tentu saja bersyukur dan mendoakan untuk mereka yang pernah ada dalam hidup kita.  Selamat Natal ya <3









10.12.19

amor fati #7

Meski seminggu kemarin padat dan dipenuhi dengan perpindahan, aku menemukan hal-hal tidak terduga. Ternyata kita memang perlu pergi sejenak saja keluar dari rutinitas. Melepaskan diri dari diktat buku kuliah yang menanti dibaca. Tumpukan buku yang menunggu untuk bisa dibaca dan dirivew. Ternyata tubuh dan pikiran kita butuh tempat dan kota baru yang jarang dijelajahi. 
Cirebon buatku adalah kampung halaman, bagaimana tidak? Setiap tahun aku harus melewati Cirebon menginap semalam untuk akhirnya melanjutkan perjalanan ke Ciamis. Bagiku Cirebon adalah kota persinggahan untuk duduk-duduk sebentar makan empal gentong. Memang tidak begitu mengerti mengenai kota tersebut karena panas sekali sampai 34 derajat lalu kerjaanku adalah mencari minuman manis dingin dan keinginan untuk kopi yang meningkat dari biasanya. 

Di luar dari kenyataan bahwa Cirebon itu panas, aku suka melihat kota dan aktivitasnya. Kadang saat bepergian aku terlalu fokus dengan diriku sendiri, dengan perasaanku, dengan pikiran yang tertinggal, pekerjaan, kuliah, tanpa akhirnya aku bisa mengamati lebih bahwa kota ini memiliki kecepatan yang berbeda dengan Jakarta. Kota ini sedikit melambat, dengan jalan raya yang mengecil, logat bicara Jawa-Sunda, ice cream durian yang wanginya ke mana-mana (tapi aku gak suka durian). Hal yang menarik dari Cirebon adalah bisa jadi kota ini masih malu-malu menunjukan dirinya karena kesan pertama itu panas. Aku penasaran mungkinkah di kota ini ada kedai kopi yang nyaman untuk duduk-duduk, es kopi yang lokal banget gak dengan merek kinclong Jakarta. Lalu, adakah skena-skena musik indie yang asik ala Cirebon banget yang anak muda banget. Adakah toko-toko buku alternatif di sini dan komunitas-komunitas baca yang mungil dan intim. Penasaran kan? Kalau kota bisa jadi tidak hanya sebuah kota saja dengan panas 34 derajat tanpa ada siapa dan apa yang bisa dikulik dan kenal lebih dalam. 

Hal personal yang menurutku menarik dari Cirebon adalah hadiah jeda buat kepalaku yang sedang ruwet 24/7 non stop, lalu perhatian yang mulai lelah, kebutuhan akan butuh suasana baru untuk memberikan jarak pada banyak hal yang terus-terus beradu dan mantul aja ke sana ke mari. Untunglah jarak selalu bisa menjadi obat yang baik. Memberikan jada, hingga rasanya bisa nafas lagi. Ternyata hal yang aku rasakan dan realitas tidaklah sinkron. Kadarku perasaanku berlebihan sehingga aku sering nyemplung ke dalam. Padahal tidak rumit, semata-mata menjadikan yang ada menjadi apa adanya, ada itu sendiri.

Ada satu perikop bagus dari diktat kuliahku yang aku suka, begini bunyinya: Individually, by the single human being alone for himself, to gain some insight into own misery and need, into his own limitation." —Nietzsche. 

Ya begitulah kira-kira. 

new post

ganti blogspot

 YAK  pemirsah, maapin banget nihh udah ga punya blog.com karena......hhh yaudahlah kayaknya gapapa hehe. tadinya aku mau melatih pemikiran ...