24.2.19

Merekam Percakapan Sebuah Kota





Bergulat dengan hidup barangkali salah satunya adalah dengan menolak untuk terus menerus tidur-tiduran ayam di tempat tidur saat sedang flu dan hari mendung. Memilih untuk duduk-duduk santai di balkon, melihat tanaman Ibu, menyesap teh hijau, lalu membaca buku menjadi salah satu pilihan kegiatan yang menyegarkan pikiran dan tidak berisik. Kita selalu memiliki banyak pilihan dalam hidup, namun manusia cenderung memilih yang itu-itu saja sebagai ungkapan alami atas dirinya.

Tetap bertahan dengan alasan yang sama yakni: waktu dan distraksi teknologi, aku kembali memilih buku yang tipis-tipis untuk bisa dibawa enteng ke mana-mana dan kujadikan sebagai sebuah buku fiksi pertama yang kubaca di tahun 2019. Kurasa aku terlalu optimis dengan jumlah bacaan tahun 2019 ini karena seringnya aku hanya duduk bengong memandang layar handphone dan membaca berita di twitter atau line today. Kurasa aku berkembang menjadi pembaca buku yang praktikal dan 'mau tak mau' harus membaca bukan karena dari ketertarikan untuk membaca buku tersebut, namun ada perasaan merasa perlu membaca karena FOMO (fear of missing out hahahaha gila). Padahal perlu disadari bahwa setiap buku ada penikmatnya sendiri dan kamu tidak perlu menjadi merasa bersalah kalau kamu gak cocok sama Haruki Murakami dan hanya suka buku essaynya What do you talk about when I talk about writing? dan novel absurdnya yang berjudul Kafka on the Shore saja. Sudah-sudah, tidak semua buku diciptakan untuk kamu, kok hehe.

Beberapa waktu lalu aku baru saja menyelesaikan buku kumpulan cerita  Umar Kayam berjudul Seribu Kunang-kunang di Manhattan. Bukunya tipis-tipis saja dan enak untuk dibawa ke mana-mana karena tidak besar. Dalam buku ini dipenuhi dengan percakapan-percakapan dengan kedekapan antar personal yang berbeda-beda. Percakapan yang timpang satu sama lainnya, percakapan yang mendominasi untuk sebuah tujuan adapun percakapan yang ngawur tidak diketahui kebenarannya. Ada sebuah kebutuhan dalam tokoh-tokoh cerita untuk saling bertukar pesan. Lalu, aku suka sekali dengan cerpen Seribu Kunang-kunang di Manhattan. Percakapan Marno dan Jane akan hal yang itu-itu lagi, kebosanan mereka, dan kerumitan hubungan mereka sebagai pasangan.

"Bulan itu ungu, Marno."
"Kau tetap hendak memaksaku untuk mempercayai itu?"
"Ya, tentu saja, kekasihku. Ayolah akui. Itu ungu, bukan?" 

Adapun salah satu cerita di dalam buku ini yang menurutku menarik; berjudul Istriku, Madame Schlitz, & Sang Raksasa. Ketika istri si tokoh utama yang luar biasa bosan dan ngeri dengan New York kota besar. Bagi istrinya New York adalah salah satu raksasa pemakan manusia. Kemudian sang istri bercerita pada suaminya bahwa ada tetangga mereka yang bernama Madame Schlitz yang amat sangat nyentrik. Sang istri dan Madame Schlitz pun akhirnya bisa saling berteman dan bercerita karena saling penasaran satu sama lain. Lalu, terbentuklah percakapan-percakapan di kota besar yang acuh itu.

Istriku tahu sekarang, siapa Enrich itu. Rupanya Madame Schlitz tahu kalau nama Erich masih perlu penjelasan.
“Semua yang aku cintai bernama Erich, Nyonya. Suamiku bernama Erich, anjingku bernama Erich, dan kalau aku punya anak laki-laki, namanya akan Erich juga.”
“Itu sungguh menarik, Madame.”

Hidup yang dipenuhi oleh percakapan-percakapan menandakan kita adalah makhluk komunal dan sosial yang membutuhkan orang lain untuk kita tetap bisa bertahan dan mewaraskan diri. Bahwa tetap kita membutuhkan orang lain untuk menjadi teman bicara dan memiliki percakapan. Apakah kini percakapan adalah barang yang mahal karena kita cenderung membicarakan diri sendiri yang itu-itu lagi. Apakah pertukaran percakapan adalah bentuk kemewahan karena kita mencipta barikade dalam diri, mencipta jarak guna pertahanan diri.

Aku rasa setiap karya yang dilahirkan berasal dari sebuah tragedi. Entah tragedi itu besar dan berdarah-darah ataupun dia tragedi yang tidak disadari karena sudah terlalu biasa. Tragedi yang menurutku alus banget adalah kehilangan percakapan. Percakapan yang bisa jadi tidak dimiliki setiap orang karena kita sudah egois dan abai dengan orang lain atau karena kita sudah ketakutan memiliki hubungan yang lebih dalam dengan orang lain. Menurutku Umar Kayam mampu menyuguhkan frame cerita tersebut dia mampu membungkus tragedi dan realitas ini di tengah hal-hal yang kita anggap keseharian dan biasa-biasa saja. Bacalah!

new post

ganti blogspot

 YAK  pemirsah, maapin banget nihh udah ga punya blog.com karena......hhh yaudahlah kayaknya gapapa hehe. tadinya aku mau melatih pemikiran ...