Bandung, Aug 2016 |
Memutuskan untuk menyudahi suatu hal karena ternyata melepaskan itu diperlukan demi kenyamanan diri sendiri. Mungkin awalnya akan sangat sulit tapi dengan bersiteguh ternyata bisa. Ternyata memang kebiasaan itu dibentuk. Ternyata segalanya itu dilakukan dengan pola. Dan ketika kamu stop lakukan, kamu akan membuat pola baru. Lalu hidup bergulir seperti biasanya. Seolah tidak ada apa-apa dan semuanya tergantikan lagi.
Saya sedang berusaha meninggalkan kebiasaan jelek saya. Kebiasaan ini sebegitu mengganggu hingga tidak akan membuat saya berkembang. Saya gemar sekali mengkritisi diri saya sendiri sehingga tidak mulai-mulai melakukan sesuatu. Dengan jahatnya saya mematahkan semua teori positif dalam otak saya dan berkata: "Udahlah Metta, kamu gak akan bisa. Kamu gak mampu." Pola pikir ini sangat enak, sangat nyaman karena saya tidak perlu usaha lebih. Tidak melakukan apa-apa menjadi sebuah kenyamanan nikmat tiada tara. Lalu akhirnya saya jadi pengecut dan tidak lagi berbuat sesuatu karena sekedar takut gagal. Padahal belum dicoba. Tapi takut gagal. Belum memulai karena takut gagal. Seperti nyerah kalah sebelum datang ke medan perang.
Lalu sebegitu pedulinya dengan 'kata orang', sebegitu pedulinya dengan pikiran orang lain. Padahal belum tentu itu adalah pendapat absolut yang mutlak. Perlu diingat, setiap orang memiliki taste dan jalan pikiran sendiri. Kita tidak perlu sebegitunya mengikuti orang banyak kan? Kita tidak perlu mengikuti standard normal masyarakat terus menerus kan? Seharusnya kita jangan mau diseragamkan terus pikirannya. Seolah tidak memiliki otak sendiri untuk mengkaji lebih lanjut.
Seperti kemarin saya sedang ngobrol dengan Ibu yang bercerita kalau salah satu muridnya tertarik dengan sejarah. Bacaannya adalah buku-buku sejarah tebal yang berisi fakta. Dan dia tidak mempunyai ketertarikkan pada pelajaran lain. Lalu untuk masuk ke cara kerja pendidikan di Indonesia, anak ini pasti akan sedikit kesulitan. Bagaimana tidak? Pendidikan kita masih menjejali ilmu-ilmu yang akan kita lupakan di umur-umur kerja. Lalu ketika seorang anak tertarik pada suatu hal dan mendalaminya, dia dianggap freak dan bodoh karena tidak tertarik mempelajari ilmu tersebut. Aneh ya. Ketika anak-anak lain tidak mengetahui ketertarikkannya apa dan mengikuti jalur biasa dianggap pintar dan sesuai standard. Sedangkan seorang anak sudah mengetahui bakat dan minatnya di mana malah tidak didukung dan digiring ke tempat 'normal' itu. Ini gimana sih sebenarnya?
Lucu ya ketika sebegitu banyak orang dewasa masih mencari-cari ladang mereka yang sesungguhnya karena mungkin sedari kecil tidak diberikan ruang sebebas-bebasnya untuk explore ketertarikannya. Atau mungkin manusia saja yang sedemikian bingung dengan pencariannya. Entah sebenarnya jawabannya ada di depan mukanya persis atau harus digali lebih dalam. Intinya kita makhluk bingung.
Namanya juga bingung pasti hilang arah dan langkah ekstrimnya adalah mencap diri sendiri bego dan tidak mampu. Kalau kamu sudah sampai di sana, rasanya kamu harus diam sebentar dan menarik diri. Jawaban sesungguhnya: Men, lo bukan bego men, cuman salah tempat doang. Seperti misalnya kamu pemain bakset handal jago abis eh tapi malah masuk ke tim bola sepak. Lha kan salah tempat. Nah itu kira-kira bentuk sederhananya. Lalu kenapa bisa sampai salah? Banyak faktor misalnya comfort zone, faktor ekonomi, kebutuhan, gengsi, keinginan orang lain, dan tidak mengenal diri. sendiri. Tapi untuk memulai dan mengkaji ulang sesuatu memang manusia harus menjadi bingung dulu agar mikir otaknya. Menghitung seluruh kemungkinan dan strategi untuk sampai di tempat yang sesungguhnya.
Hari ini saya sempat berjalan-jalan lalu berenang sebentaar dengan Babeh dan Abhi. Lalu pulangnya melihat tenda pecel siram dan rawon. Babeh langsung berkata "Ini lho tenda makan pelukis yang gambarnya bagus itu. Menurutku lukian dia lebih bagus dari pada Bapak X dia sepertinya udah kering." Bagi seniman dikatakan 'udah kering' rasanya adalah statement kuat yang menandakan eksistensi dia sebagai seniman sudah tidak lagi dilihat dari karya. Semantara seniman itu dikatakan seniman karena berkarya. Lalu saya berkata, "Mungkin tempat kerja Bapak X tidak memungkinkan dia melukis lagi." Namun dibantah mentah-mentah karena menurut Babeh di mana pun seniman berada dia bisa berkarya. Seseorang berkarya sebenarnya tidak atau karena situasi. Itu adalah state of mind atau keinginan seseorang untuk melakukan atau tidak. Semacam pilihan.
Ternyata kita memang tetap memilih dan hidup memang adalah pilihan. Kita mau menjalani sebagai apa? Kita mau menjalaninya sebagai pengusaha, karyawan kantor, pekerja kreatif, seniman, tukang ojek, atau pelacur pun adalah pilihan. Tanpa kecuali. Meski kadang hidup tidak bisa ditebak sedemikian rupa meski kita sudah merencanakan suatu hal, ketika haluan harus berputar dan angin tidak berpihak pada kita. Berubah sudah. Lalu kita menjadi sadar bahwa manusia memiliki pancaran mata yang sama. Menutupi segala kelemahan dan menunjukkan kehebatan tanpa menunjukkan kekuatan sebenarnya. Kekuatan kita disembunyikan karena sebenarnya kekuatan kita adalah kelemahan itu sendiri yang tetap membuat kita bergerak dan hidup.
Kadang kala kita nampak konyol dengan segala cita-cita kita, melakukan banyak keputusan-keputusan yang sembrono dan salah, lalu terkadang kita sedemikian pengecutnya, berpikiran bahwa diri tidak sanggup berkembang, menganggap diri tidak diberkati dan tidak memiliki kelebihan, tidak yakin dengan apa yang sedang dikerjakan sekarang, menghabiskan malam-malam berpikir apa yang sedang kita lakukan sekarang? Hanya melahirkan pertanyaan baru yang berulang dan tak habis.
Namun jadilah tenang. Karena kita semua demikian. Kita memiliki pancaran mata yang sama dan khas. Berjalan di pilihan-pilihan hidup kita dan tidak menyesali apa yang sudah. Kembali memilih ide dan petualangan baru. Memilih sendiri perjalanannya dan tak sedikit pun mengeluh.
Aku skrg ikutan ngblog, Met..hehe.. Kamu menginspirasi aku untuk terus menulis :)
ReplyDeleteasyik :) mau dong aku bagi link nya aku ingin berkunjung dan baca ceritamu jugaaa :))
Delete