Saya sedang sedikit canggung untuk menulis karena rasanya hari ini bukan hari yang tepat untuk menulis karena mood saya sedang tidak untuk itu. Namun saya ingat kalau saya janji mau sok-sok serius menulis rutin yang tadinya mau hari Selasa, Jumat dan Minggu saya sunat seenak hati menjadi Rabu dan Jumat karena saya merasa berat. Gila. Lalu sekarang saya menemukan diri saya tidak dalam kondisi sebegitu bergairahnya untuk menulis karena banyak rasa-rasa yang seharusnya tidak dirasa-rasa, semelankolis itu. Kan saya jadi malu kalau saya menulis layaknya orang curhat. Tapi sudahlah, saya sudah rela ditelanjangi dan berbagi perasaan, mengingat pasti yang membaca blog saya adalah kalian yang 'dekat' di hati baik sahabat atau orang tidak saya kenal namun memiliki kembaran rasa. Hai!
Saya sangat ingin memulai tulisan ini dengan keceriaan yang sama seperti tulisan sebelumnya namun nyatanya saya sedang tidak seceria biasanya hari ini. Manusiawi sekali saya rasa ketika seseorang bersedih akan sesuatu dan bersuka ria akan sesuatu. Mungkin porsinya saja harus seimbang dan bersedia untuk bisa kembali ke titik nol. Zero, seperti di zen.
Pagi ini saya mendapat kabar bahwa Om saya, kakaknya ayah saya, sebut saja Pak Harto, ternyata menderita sakit kanker paru-paru stadium empat, setelah selama ini didiagnosa sakit jantung. Lalu saya jadi kepikiran seharian. Kami tidak sedekat itu memang, namun mengingat dia adalah sosok yang lucu, jenaka, ceria dan rupawan lalu harus terbaring sakit cukup berat, rasanya kok tidak cocok ya? Meski saya tahu sakit kanker paru-paru itu bukan masalah cocok atau tidak cocok. Mungkin karena beliau adalah perokok yang cukup aktif, namun setelah saya pikir-pikir lagi rasanya banyak perokok aktif yang tidak sakit juga, ya rokok salah satu faktor pemicu juga tapi bukan inti. Duh pokoknya saya tidak tahu. Saya hanya berdoa semoga semua baik-baik saja sesuai dengan rencana Allah. Sudah.
Kalian
tahu kan, apabila memulai hari dengan suatu perasaan negatif maka rasanya semua
energi negatif jadi ikutan merasa diundang, nah itu yang terjadi hari ini.
Rasanya saya seperti membawa satu kaca pembesar dan men-zoom-in semua pandangan
saya, sehingga melihat semua serba detail. Ada baiknya hingga akhirnya saya
aware dengan keadaan sekitar, namun akhirnya saya jadi kewalahan karena capek
semua terlihat buruk. Kembali lagi ini masalah jarak pandang dan cara memandang
sih, ya ya saya tahu. Saya serta merta menyadari beberapa hal yang sengaja
tidak saya kulik lebih dalam karena takut. Padahal bukankah ketakutan itu seharusnya
semakin didekati hingga semua jelas sebenarnya apa yang membuat takut? Saya sedikit
tersentak kaget dengan keadaan kalau saya sudah tidak lagi bertumbuh karena
merasa inilah comfort zone saya. Padahal setelah saya telaah, comfort zone ini
bukanlah kenyamanan yang sedemikian nyamannya bagai rahim Ibu namun segala hal
yang sudah saya kenal dan familiar saja. Ketakutan-ketakutan saya akan
perubahan karena harus beradaptasi lagi dan pasti harus belajar dari awal lagi.
Kenyamanan yang kita kira nyaman namun sebenarnya ini hanyalah persoalan
terbiasa dan kebiasaan. Saya tidak tahu sih dengan pemikiran ini apakah saya
menjadi tidak bersyukur?
Hal
kedua adalah saya sedang dalam stage berusaha melihat segalanya realistis namun pandangan saya malah bias, kabur dan tidak lagi menemukan garis
pemisah tipis antara realita dan mimpi. Seperti berlari-lari menuju mimpi namun
realitanya harus sedemikian adanya, hingga agar tetap waras saya harus menjaga
diri agar tetap realistis. Duh saya tidak tahu bagaimana cara
mendeskripsikannya dengan mudah. Mungkin begini momennya ketika saya berkata
pada diri saya: “Anjing, mamam deh tuh mimpi!”
Kata
orang, kenikmatan terakhir yang dimiliki oleh anak muda adalah idealisme, lalu serta merta
saya merasa pahit sendiri karena idealisme itu hanya akan menjadi 'ideal' saja tanpa bisa kita raih, mungkin hanya mendekati. Kemarin tiba-tiba saya tersadar
dari seorang teman yang sedang bekerja di Taiwan bahwa dia pun memiliki pergulatan
sendiri yang kurang lebih tidak jauh beda. Mungkinkah usia-usia saya ini adalah
usia berdarah-darah menyelaraskan idealisme dan realitas? Karena itu sungguh
bertolak belakang dan saya tidak tahu bagaimana mendamaikan keduanya dalam diri
saya. Pergolakan yang pasti dimiliki karena ada masanya menjadi sedemikian
riuhnya pertanyaan kita dan harus disederhanakan dengan berpikir
setuntas-tuntasnya. Lalu datanglah sebuah pencerahan di suatu garis waktu
tertentu, entah datangnya terlambat, lebih awal atau malah tidak sama sekali dan memulai suatu perubahan adalah kesulitan yang nyata. Di setiap mimpi pasti
ada rasa-rasa tolol karena merasakan aliran penggerak yang tak disangka-sangka
hingga akhirnya yang terbaik adalah mengikuti arusnya dan menjalani jalan-jalan
yang sudah ditetapkan.
Hari ini
saya menemukan sebuah ayat kecil Yakobus 4:14b-15, begini bunyinya: Apakah arti
hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap.
Sebenarnya kamu harus berkata: “Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan
berbuat ini dan itu."
Sedikit
bengong karena menemukan ayat ajaib ini, kok bisa sekebetulan itu. Mungkin ini
bukan kebetulan tapi wahyu. Tsah. Uap itu sesuatu yang bisa dilihat namun cepat
menghilang juga. Lalu hidup disamakan dengan uap yang bisa hilang cepat hingga
semua kembali lagi pada Tuhan. Aduh kepala saya pening sekali. Dalam hidup ini
banyak sekali yang tidak bertahan lama, kita tahu itu. Lalu bisa saja seseorang
merasa bahagia dengan hanya mendapatkan sedikit dari hidup karena sudah merasa
terbiasa dan takut keluar dari zona nyaman. Entah itu bersyukur dengan keadaan
atau semata-mata bodoh saja. Bukankah Tuhan juga menginginkan kita bahagia dan
menjadi penuh dalam hidup? Entahlah. Saya tidak bisa membedakannya.
Lalu
kata penulis favorite saya Paulo Coelho, melepaskan mimpi adalah kedamaian.
Hidup seperti Minggu sore, ketika kita tidak menginginkan sesuatu yang luar
biasa. Saat itu kita merasa inilah menjadi dewasa meninggalkan impian masa muda
dan mengejar pencapaian pribadi dan profesional. Kita sudah merasa cukup meski
di nurani kita telah menyerah pada impian kita. Lalu impian malah mati dan
merusak jiwa dan hanya kematian yang dapat membebaskan kita dari segalanya, mendamaikan segalanya. Hingga sebenarnya yang membunuh mimpi kita adalah diri
kita sendiri yang takut berjuang sekuat tenaga. Seperti Minggu sore, suasana tenang nyaman namun besok pada akhirnya harus terus berjuang. Keindahan yang terselubung dan jangan kira perjuangan bukanlah sebuah keindahan.
Baiknya
saya catat dan saya ingat baik-baik bahwa: Janganlah berhenti bermimpi. Dan berjuanglah untuk mendapatkannya karena itu adalah upaya mengasihi diri sendiri. Dan baiknya juga besok saya ke kantor pakai sedikit make up dan
eyeliner karena mata saya sudah sembab luar biasa.
No comments:
Post a Comment