Sudah bulan Agustus, pemirsa! Dan rasanya saya sudah tidak sabar menunggu Natal. Lima bulan lagi menuju Natal horeeee. Siapa yang tidak senang? Berbicara tentang menunggu suatu event besar. Kadang saya suka tersenyum sendiri ketika memikirkan beberapa kekhawatiran saya dan rasa gelisah saya. Bukankah itu aneh ketika kita begitu takut dengan masa depan yang tidak kita ketahui. Saya sering sekali mengalaminya, setiap hari saya berpikir, kira-kira apa yang akan terjadi di akhir tahun ini apakah saya masih di Indonesia atau apakah saya masih melakukan apa yang saya lakukan sekarang?Atau mungkin bisa saja Tuhan sudah memanggil saya. Tidak ada yang tahu bukan?
Beberapa hari lalu sudah keluar jawaban besar yakni saya tidak diterima di universitas yang saya inginkan untuk melanjutka master. Saya mungkin sedikit kecewa namun pada dasarnya saya lega sekali karena saya tidak usah merasa khawatir lagi dan menunggu harap-harap cemas. Lucu sih ketika ternyata jalan masing-masing orang itu berbeda-beda tidak sama. Mungkin jalan kamu ke sana, namun belum tentu dengan saya. Begitu pula dengan saya, mungkin sukses saya di sini, dan tidak bisa diikuti oleh orang lain. Bukan rezeki katanya.
Beda jalan
Kemarin ini saya bertemu dengan teman lama reunian dengan teman SMA. Tentunya di saat-saat ini temu kangen dengan teman SMA dan heboh asyik ngobrol ini itu lagi dan bertemu dengan guru-guru pokoknya mah seru. Lalu terlibatlah sebuah pembicaraan "Eh lo di mana sekarang? Sibuk apa?" Dan lucunya apa yang dijalani sekarang, jauuuuuuh sekali dari apa yang kita bayangkan saat SMA. Aduh tahu apa sih anak SMA kalau dipikir-pikir?
Namun kembali lagi, seberapa pun jauhnya kamu melangkah sampai hari ini semata-mata karena rencana dan rancangan Tuhan dan jalannya pun berbeda, porsinya pun berbeda. Sehingga mengapa juga kita harus takut dan tidar berserah pada Nya?
Ada teman yang ketika saya ajak reunian berkata "Gue belom jadi apa-apa Met, apa yang mau dibanggain?" Lalu saya jadi berpikir apakah kita harus jadi apa-apa dulu baru bangga dengan diri sendiri? Memang kita harus jadi seperti apa dulu baru akhirnya bisa menerima diri sendiri? Saya tidak tahu sih. Memang harus ya kita jadi super, sukses dan jago ini itu? Bolehkah kalau kita bercita-cita menjadi jadi biasa-biasa saja yang luar biasa? Kenapa kita harus selalu dikhawatirkan dengan ke-apa-an kita bukan tentang siapa diri kita sendiri. Jikalau misalnya seorang 'saya' tidak punya ini itu, bukan siapa-siapa, tidak sekolah di tempat mentereng, biasa saja, lalu saya jadi bukan orang bahagia dan sukses?
Nah mulai berat
Jadi definisi sukses dan bahagia itu apa ya kalau begitu? Apakah dengan kita punya posisi tinggi di tempat kerja, dihormati (katanya), kaya sampai tujuh turunan, dan terkenal lalu kita akan bahagia? Saya rasa tidak ya. Lalu kita menjadi sukses? Sukses dalam apa dulu nih tolak ukurnya. Jadi dua hal itu tidak bisa kita satukan.
Sampai kemarin ada teman saya masuk profile di koran nasional karena karyanya dalam suatu bidang. Saya kaget sih lalu dengan nyinyirnya saya pun whatsapp teman saya " Lo coba baca deh, ini temen kita nih. Widihhh... keren amat yaa udah ke mana-mana, keren, sukses, terkenal, lha gue? Masih aja begini." Lalu teman saya ini dengan santainya berkata "Gue harap sih definisi sukses bukan cuman terkenal dan masuk koran nasional aja sih Met." Deg! Oh iya juga ya. Saya jadi ikutan berpikir akan hal tersebut. Definisi sukses salah satunya memang terkenal dan bisa masuk koran nasional tapi itu hanya salah satu saja, karena tolak ukur yang dipakai bisa berbeda-beda.
Saya juga tidak paham betul apa yang saya inginkan dan definisi sukses saya sendiri apa, karena rasanya saya juga bingung dan masih mencari. Namun biarkanlah itu demikian adanya. Musti melewati proses toh menara Eiffel tidak dibangun dalam sehari seperti candi Prambanan kan ya? Jadi semua butuh proses untuk menjadi clear dan jelas arah tujuannya. Lalu seiring waktu saya harap saya bisa lebih hmmm.... bijak?
Bebas
Hari ini saat saya berangkat kerja, saya melihat seorang ibu tukang sapu dan anaknya yang mau sekolah sedang berjalan bergandengan tangan. Si ibu dengan membawa sapu lidinya berjalan sambil mengobrol santai dengan anaknya. Lalu si anak pun berbicara sambil tersenyum pada si ibu. Figur sederhana yang juga seorang pekerja rendahan sama seperti saya, pergi bekerja untuk mencari sesuap nasi sama seperti saya, bekerja untuk diri sendiri dan demi orang yang dia sayang, sama seperti saya.
Lalu saya berpikir, apabila benar definisi sukses dan bahagia sebegitu sempitnya pada menjadi terkenal, uang banyak, masuk koran nasional, kedudukan yang tinggi, lalu bagaimana dengan ibu tukang sapu ini? Apakah dia menjadi tidak sukses dan tidak bahagia? Saya rasa tidak.
Mungkin saja dia lebih bahagia dan lebih sukses dari pada ukuran manusia. Karena sebenarnya harus kita tahu bahwa senang dan bahagia itu hal yang berbeda. Bisa saja seseorang itu senang namun belum tentu bahagia. Sejak kapan ya bahagia itu jadi susah sekali? Mungkin semenjak banyak ukuran yang dilekatkan padanya.
Lalu jikalau gelisah dan khawatir itu selalu ada, maka menjadi bahagia adalah suatu barang langka yang mahal harganya karena tidak terbeli dengan uang. Jadi masih berani mendefinisikan arti bahagia dan sukses?
No comments:
Post a Comment