Satu sore ini aku sibuk membaca lalu menulis lalu membaca lagi lalu menulis lagi. Terus-terusan. Aku baru selesai baca bukunya Mitch Albom berjudul For One More Day. Aku selalu suka dengan tulisannya Mitch Albom, menggelitik, anggun, menggoda dan mistis. Aku gak bisa habis pikir, gimana yah cara orang nulis buku itu? Salut. Menurutku menulis itu layaknya 'mendoktrinasi' pemikiran dan gagasan kita ke orang lain dengan memberikan kebebasan berpikir sebebas-bebasnya. Membiarkan orang lain bisa mampir sebentar duduk di tengah otak kita dan ikutan berpikir.
Di awal buku ini, Mitch Albom, memulai narasinya begini:
This is a story about a family and, as there is a ghost involved, you might call it a ghost story. But every family is a ghost story. The dead sit at our tables long after they have gone.
Dan aku sudah terpesona, kasmaran, jatuh cinta klepek-klepek di awal paragraf. Gila gak sih?
Buku ini bercerita tentang seorang pria yang berusaha untuk bunuh diri karena kecewa pada diri sendiri, merasa gagal sebagai seorang ayah, suami dan anak. Lalu bagian yang menarik adalah di masa kritis ini, roh ibunya yang sudah meninggal datang dan mereka melakukan deep conversation dan menguak cerita-cerita lama dan rahasia di keluarga mereka.
Terkadang ada beberapa hal dalam hidup kita yang rasanya salah, lalu kita menyesal secara berkepanjangan karena adanya rasa bersalah yang terus-terusan datang. Pahitnya, kita tidak cukup sakti untuk bisa mengulang waktu dan mencegah beberapa peristiwa terjadi dan terkadang peristiwa tersebut terjadi di luar kemampuan kita, tiba-tiba sudah lewat dan terlambat. Di buku ini digambarkan penyesalan Charley karena dia tidak bisa hadir saat ibunya meninggal dan dia merasa gagal sebagai seorang anak.
Terus sebagai pembaca kebanyakkan pikiran, aku jadi ikutan berpikir, aku sebagai seorang anak, sudah cukup membanggakan dan membahagiakan belum yah? Rasanya belum.
Ketika aku masih kecil sering kali aku berandai, "Jikalau aku sudah besar nanti, jikalau aku sudah dewasa nanti....." dan sebagai anak kecil normal aku ingin cepat-cepat dewasa. Tanpa sadar bahwa jikalau aku bertambah dewasa berarti orang tuaku pun bertambah tua. Ibuku pernah berkata "Sampai selama-lamanya, sepanjang segala abad, amin. Kamu akan tetap menjadi gadis kecil kami berdua. Jadi ketika kamu pulang... ya kamu adalah anak." Hubungan orang tua dan anak itu tidak pernah bisa dipisahkan. Pacar, teman, suami, istri bisa menjadi mantan, tapi mantan anak dan mantan orang tua, belum pernah denger sih aku.
Semakin beranjak kita dewasa pasti ada beberapa hal yang berubah, lalu munculah sang momok menakutkan yang dinamakan: generation gap. Ketika anak dan orang tua sudah mulai gak nyambung saat berkomunikasi. Entah yang muda tidak sabaran dengan yang tua karena tidak kunjung mengerti, atau yang tua marah-marah berkelanjutan karena merasa menjadi alien tidak mengerti zaman lalu tersadar kalau zaman sudah maju dan merasa tertinggal, singkat kata yang tua panik sendiri namun kepayahan untuk catch up. Ini adalah polemik yang sangat biasa terjadi, sangaaaaaaaat biasa dan setiap generasi pasti pernah mengalaminya.
Lalu, yang menarik adalah, tetap saja yang tua dan yang muda ini sedarah dari bibit yang sama, dari akar yang sama. Mereka tetap satu keluarga, susah senang tetap satu keluarga. Ya... mau gak mau ya toh, karena kita tidak bisa minta tukar keluarga ke Tuhan. Seperti yang di buku ini katakan:
You have only one family, Charley. For good or bad. You have one family. You can't trade them in. You can't lie to them. You can't run two at one, substituting back and forth. Sticking with your family is what makes it a family.
Tanpa Sadar
Kemarin malam aku iseng-iseng berhadiah membuka lagi file-file lama di laptop. Eh... ada satu tulisan kayak upil nyelip-nyelip nyempil di dalam folder. Aku buka, aku baca ulang dan aku syok setengah mati karena aku pernah nulis model beginian. Tadinya, aku malu dan ingin menjadikan tulisan ini konsumsi pribadi saja, tapi aku jadi takut tulisan kecil penting ini hilang, mubazir, ditelan zaman, dimakan rayap dan cacing tanah, jadi aku taruh di blog aja. (hahaha toh blogku kecil ini, gak ada yang baca kecuali ibuku, sang ibunda kepo abad milenium ini :)) Trus, kalau ada pembaca lain yang baca ini, kita diem-diem aja yah, jadi rahasia kita, tos dulu dong mamen.) Begini ceritanya. Ehem.
Cerita Kecil
Pernah suatu kali aku sedang sibuk dalam pekerjaanku,
membaca. Aku berubah menjadi pribadi yang berbeda saat aku sedang sibuk
membaca. Aku akan menjadi pribadi yang anti social dan tidak akan peduli dengan
oran lain di sekitarku.
Sering kali aku malah marah-marah karena sebal diganggu dan
ditanya ini itu. Atau mungkin aku akan hanya menjawab dengan anggukan atau
senyuman kecil.
Kurasa kebiasaanku ini harus diubah sekaligus dengan
bertambahnya aku dewasa tak ada ubahnya aku dengan anak-anak muda lainnya yang
sombong dengan sekitar. Baru saja mencecap kehidupan muda, mencecap kebebasan
yang seharusnya bisa aku pertanggung jawabkan dengan baik, aku malah
mengambilnya dengan cara yang berbeda.
Kenapa juga yah terkadang orang-orang muda suka sok jumawa
dengan keadaannya tanpa adanya pengetahuan lebih tentang ini itu.
Hingga suatu kali di sebuah siang yang panas, ketika ayahku
sedang menyantap telur mata sapi kesukaannya. Aku sedang tenggelam dalam
kesibukanku dengan tokoh-tokoh cerita dalam novelku. Tiba-tiba ayahku sibuk
bertanya ini itu tentang soal computer.
Aku yang merasa sebal diganggu akhirnya cukup diam dan
mengangguk. Hingga akhirnya timbulah pertanyaan yang menurutku cukup
aneh dan konyol. Ayahku bertanya: "Kalo
password di computer itu bagaimana carinya?"
Aku pun tak kuasa menahan senyum dan menjawab sekedarnya.
Lalu seperti harga diri yang terluka ditertawai oleh
anak-anaknya, ayahku berkata:
"Kamu tahu tidak perbedaan anak bertanya pada orang tua dan
orang tua bertanya pada anaknya?"
"Lihat sana Abhimanyu (adikku 2 tahun) tanya ini itu, orang tua menjawab
dengan baik, lain halnya dengan orang tua bertanya pada anaknya, dijawab dengan
tertawaan dan ejekkan bodoh."
Mendengarnya aku merasa agak tersentak. Apakah benar sikapku
seperti itu? Baiklah aku memang mengakui kalau aku berbuat seperti itu karena
aku merasa: "Duelah...masa gitu aja gak tahu?"
Apakah itu tandanya aku pun sombong dengan tindakkanku?
Apakah itu tandanya aku juga sama dengan anak-anak muda lainnya yang juga kerap
kali sok tahu ini itu padahal pengalaman pun kalah jauh dibandingkan orang-orang
tua?
Mana tahu.
Sepertinya iya. Aku masih seorang muda yang terlalu sombong merasa dewasa padahal belum tau apa-apa.
Malu gak sih lo?
***
Aku jadi degdegkan sendiri. Tapi bener deh, tulisan ini jadi refleksi kecil seorang Metta, anak durhaka yang sebentar lagi dikutuk jadi batu, nemenin Malin Kundang.
Pesan moralnya yah, kepada pembaca setia yang makin kece aja, kalau orang tua kita itu tidak selamanya hidup terus-terusan. Mereka akan menjadi tua dan dipanggil Tuhan. Dan itulah kehidupan, tidak ada yang abadi di bawah kolong langit ini, semua akan kembali lagi ke Tuhan. Itu sudah menjadi suratan takdir, bahwa kita manusia pada akhirnya, setakut apapun kita pada kematian, kita akan tiba gilirannya untuk mati. Titik.
Intinya sih satu, sayangilah dan gunakan waktu sebaik-baiknya bersama orang-orang yang kita cinta, sayang dan berarti untuk kita. Jangan sampai kita malah menyesal di kemudian hari namun itu semua sudah terlambat dan kesempatan sudah hilang. Seperti yang ditulis Mitch Albom:
Have you ever lost someone you love and wanted one more conversation, one more chance to make up for the time when you thought they would be here forever? If so, then you know you can go your whole life collecting days, and none will outweigh the one you wish you had back.
Ordinary People
Kalau kata John Legend, "We're just ordinary people, we don't know which way to go. Cuz we're ordinary people maybe we should take it slow. This time we'll take it slow." Kita memang manusia biasa yang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tapi kita tetap bisa jadi diri kita yang terbaik.
Nikmati hari-harimu sekarang dengan keluarga dan orang-orang yang kamu sayangi. Lalu yang terakhir, yang paling nendang dari buku Mitch Albom, For One More Day ini adalah:
It was so ordinary in so many ways, but you can find something truly important in an ordinary minute.
Jadi, untuk memeluk ayah dan ibumu lebih lama dari biasanya, terdengar cukup beralasan kan? :)
aaaaaaaaaaaaawwwwhhhhh:* jadi mo peluk!
ReplyDeleteiyaaaaaa peluk-peluk gak papa :D :D
ReplyDelete