“Antrilah di loket untuk beli tiket siapkan dompet, awas ada copet, antrilah semua … biar disiplin. Meski pala pusing, betis varises…antri dong ah!” (Project P- Antri Dong)
Masih segar diingatan
saya akan sebuah lagu nyeleneh dari
Project P ini. Maklum untuk anak
angkatan 90’an seperti saya ini pastilah familiar dengan lagu-lagu yang kocak
dan aneh ini. Apa sebenarnya korelasi lagu ini dengan tulisan saya kali ini?
Mengenai budaya antri kita yang sepertinya harus dikaji ulang dan mulai
digalakkan lagi.
Sebenarnya budaya antri
itu sebuah budaya tua dan sudah diajarkan sedari kecil. Coba silahkan dibuka
lagi buku PPKN zaman SD pasti ada. Budaya antri itu bagaikan budaya yang ‘tau
sama tau’ dalam artian elu tau dan gue
tau, budaya dasar yang merupakan anak pinak dari bentuk disiplin.
Peristiwa
1
Kejadian yang menurut
saya lucu adalah ketika saya pergi retret pribadi. Kebetulan karena sudah tiga
tahun lamanya saya tidak ikut kegiatan yang sifatnya rohani, akhirnya saya
didaftarkan secara paksa oleh ibu saya untuk ikut retret pribadi dengan peserta
sekitar 400 orang. Sejujurnya saya sih malas ikut retret ini karena saya
sendirian dan tidak kenal siapa-siapa. Saat keberangkatan pun saya sudah bisa bayangkan
bahwa untuk empat hari tiga malam kedepan saya pasti akan garing luntang luntung sendirian. Namun berkat kemampuan adaptasi
yang cepat karena dikarbit oleh keadaan terpaksa, akhirnya saya pun berkenalan
dengan berbagai macam orang di sana, senang sih dapat kenalan baru yang umurnya
jauh lebih tua dari pada saya.
Secara keseluruhan acara
retret ini sangat menarik dan menambah pengetahuan mengenai relasi saya dengan
Tuhan dan mengenai adanya karunia bahasa roh. Saya juga menjadi tersadar bahwa
ternyata umat Katolik itu banyak sekali, ada perasaan senang bisa bertemu
dengan saudara seiman dan berkumpul bersama-sama untuk bisa mengenal dan memuji
Tuhan.
Mungkin karena begitu
banyaknya manusia yang ikut dalam retret ini sehingga terkadang kami terpaksa harus berebut untuk
mendapatkan fasilitas yang kami mau. Tidaklah usah jauh-jauh mari kita lihat saat
waktu makan dan snack. Banyak orang berdesak-desakkan lupa dengan kepentingan
dan hak orang lain yang juga mempunyai perut yang sama-sama lapar. Saya sebenarnya
agak heran saja gitu sepertinya kita bisa dibilang beruntung untuk bisa makan
tiga kali atau lebih di rumah dengan kenyang dan enak, kenapa juga di tempat
retret ini semua orang nampak bar-bar
sikut sana sini, serobot sana sini. Itu yang tidak saya mengerti. Logikanya,
kalau kita sudah bayar untuk menjadi peserta di retret ini pastinya pengurus
tempat retret ini juga sudah bisa memperkirakan seberapa besar jumlah konsumsi
yang harus dia siapkan untuk peserta retret. Kenapa juga harus bersikap seperti
tidak pernah bertemu nasi selama ratusan hari? Toh dibawah ada kantin dan
tukang jualan lainnya. Tapi yaa…harus bayar lagi lah hehe.
Kalau saya kaji lagi,
sebenarnya tujuan kita datang ke retret ini untuk bertapa, menjauh dari segala
yang enak-enak yang biasa kita dapatkan di rumah secara mudah. Kapan lagi coba
kita berdoa dingin-dingin dengan perut yang agak kelaparan ingin makan nasi goring
tektek yang lewat depan rumah? Tuhan Yesus saja puasa 40 hari lamanya sampai
digoda setan tidak terpengaruh kenapa kita tidak bisa menunggu beberapa saat dengan
sabar untuk antri tanpa perlu nyerobot sih? Mungkin inilah contoh kecil bahwa keinginan daging itu lebih besar dari pada roh.
Ternyata kita harus lebih banyak belajar
untuk bisa sabar dan tidak melulu harus saya dan saya.
Peristiwa
2
Masih pada acara yang
sama,retret pribadi, tibalah di hari ketiga yakni pengakuan dosa . Mengaku atas
dosa-dosa kita terkadang memang mendebarkan. Pintu ruang pengampunan dosa itu
dekat mungkin barang hanya 15 langkah dari tempat duduk saya. Namun rasanya
dibutuhkan waktu berjam-jam lamanya untuk menuju ke sana. Menunggu giliran
untuk mengaku dosa selalu membuat saya agak gelisah. Rasanya jutaan setan
sedang berkata-kata ditelinga saya untuk menyerah di antrian panjang ini dan
pergi ke ruang makan untuk makan siang. Masih ada 18 orang lagi sebelum
akhirnya jatuh ke giliran saya. Rasanya saya sudah tidak sabar dan ingin
membeberkan dosa-dosa saya selama enam bulan lalu. Kenapa juga yah menunggu dan
duduk diam manis sambil senyum-senyum bukanlah keahlian saya, kenapa juga yah
saya ini terlalu hyperactive dan tidak tahan pada sesuatu yang statis, ditambah
sifat dari lahir yang sangat mudah
bosan.
Sampai akhirnya saya
pun sibuk sendiri memperhatikan orang sekitar saya yang ternyata sama saja
dengan saya ‘berpantat panas saat menunggu’ antrian. Bapak ibu disamping saya sedang
membicarakan seberapa lama lagi antrian ini akan usai, nampaknya kesamaan nasib
dan seperjuangan dapat membuat beberapa orang asing jadi berkenalan dan asyik berbicara
satu sama lain. Kali ini sesuai dengan kemampuan kuping saya yang extra sensitive
pada gossip, saya mencuri dengar pembicaraan bapak ibu tersebut. Sebenarnya saya
agak-agak sedeng juga yah, wong sedang mengantri mengaku dosa
bukannya refleksi pribadi tentang dosa-dosa saya, malah sibuk nguping pembicaraan orang lain, lalu ditulis
lagi di buku jurnal harian saya, ini siapa yang lebih bejat coba?
Seorang ibu yang
sedang duduk tepat dibelakangku berkata:
‘Haduh Ibu Rambut
Pendek ini lama sekali yah ngaku dosanya. Dititipin dosa kali yah sama
tetangganya! Hihihihi…’ lalu mereka pun tertawa berderai-derai.
Mengantri itu bukanlah suatu hal yang mudah
pun sebenarnya itu sangat simpel. Mengantri suatu giliran ketika semua orang
mempunyai kesempatan yang sama, dengan hak yang sama juga nampaknya adalah
sesuatu yang wah di zaman sekarang.
Tanpa harus mengeluh dan bawel sana
sini.
Jangan
hilang harapan
Saya juga pernah
membaca sebuah kutipan menarik di sebuah buku: Bersemangatlah ketika menunggu. Bagaimana
caranya kita bersemangat saat menunggu? Untuk tetap berdiri menunggu di suatu
antrian yang panjang memang sebuah cobaan lahir dan batin. Apalagi kalau kita
itu mengantri demi mendapatkan karcis yang jumlahnya terbatas. Kepastian untuk
mendapatkan hasil yang kita antri dan tunggu itu belum tentu kita dapatkan.
Bagaimana caranya kita untuk bisa bersabar, menarik usus kita untuk lebih panjang
lagi.
Sejujurnya saya
pun belum sampai ke tahap: Bersemangat ketika menunggu. Saya masih seseorang
yang egois dan sering kali jengkel lalu misuh-misuh
saat antrian saya diserobot orang. Ya dong…rasanya pengen saya getok kepalanya,
saya colok matanya. Wetss…kasar!
Nah, orang-orang
yang mempunyai kegemaran nyerobot sana
sini dan sikut sana sini, inilah yang seringkali hilang harapan. Cara berpikir
mereka adalah: ‘Kalo seandainya gue gak nyerobot udah pasti gak kebagian! Mana
antrian panjang, panas pula, mana orang depan gue bau ketek pula!’ Kalau sendainya
semua manusia punya pemikiran seperti ini benar-benar bencana karena ketika
seseorang kehilangan harapan maka bisa jadi dia berhenti dan mundur atau dia
mencari alternative lain yang biasanya ya
gitu deh.
Sering kali saya
yang kepalang pasrah dengan keadaan berpikir kenapa juga sih harus grusak-grusuk sana-sini takut tidak
dapat jatah, toh kalo memang sudah rezeki tidak ke mana. Ya kan?
No comments:
Post a Comment