Mencandu teh dengan ritual sakralnya
Air diceret sudah berdenging memilukan. Ceret itu begitu buruk rupa sebagai sebuah tanda korban ritual. Cemong hitam dibagian pantatnya. Air pun mulai mengeluarkan bunyi 'bulb' perlahan dengan frekuensi yang sering. Tertatalah sebuah ritual sakral: menyeduh teh. Aku bukan penggila sebuah kebiasaan yang tersusun rapi yang mampu mengorganisir agenda hingga jamnya. Aku bahkan sering lalai, dikhianati oleh jadwal yang kubuat sendiri. Mungkin suatu hari nanti aku harus 'menikmati' jadwalku yang kubuat sendiri.
Kembali lagi. Tehku bukan sembarang teh. Aku lebih menyukai teh tubruk. Teh yang masih berbentuk daun teh kering. Terdengar 'ndeso huh? Memang saya dari kampung dengan sebuah lidah ajaib yang lebih menyukai makanan sunda dengan sambel terasinya dari pada makanan bule.
Teh tubrukku beraroma melati dengan 2 sendok gula diaduk disebuah gelas keramik. Nikmat. Kuseruput pelan. Oh iya! Satu lagi yang paling penting. Dibuat oleh ibuku.
Kembali lagi. Tehku bukan sembarang teh. Aku lebih menyukai teh tubruk. Teh yang masih berbentuk daun teh kering. Terdengar 'ndeso huh? Memang saya dari kampung dengan sebuah lidah ajaib yang lebih menyukai makanan sunda dengan sambel terasinya dari pada makanan bule.
Teh tubrukku beraroma melati dengan 2 sendok gula diaduk disebuah gelas keramik. Nikmat. Kuseruput pelan. Oh iya! Satu lagi yang paling penting. Dibuat oleh ibuku.
***
Aku si lidah kampung pun ternyata harus menggeser pantatnya ke negeri seberang. Tetap membawa teh. Namun bedanya kini tehnya jadi turun pangkat, menjadi teh celup. Hanya diseduh dengan air panas dispenser lalu ditambah dengan 2 sendok gula pasir. Bedanya tanpa sesuatu yang penting, ibuku. Wah, sekarang aku sudah mahir membuat teh sendiri. Tapi aku melupakan ritual.
Sampai suatu hari ketika lelah menggelayut. Aura negatif yang melahirkan sebuah ketidakseimbangan. Lalu ke mana lagi logika?
Hei lihat! Aku mulai membuat teh. Dengan teh celupku, cangkir keramikku, 2 sendok gula, dan air panas dispenser. Kurang ajar. Air panas mengalir lebih dari volume gelas yang seharusnya. Mengguyuri tanganku yang sertamerta jadi merah panas. Menstimulasi otakku untuk memberikan sinyal: sakit. Air mataku mulai membayang. Aku menangis. Bukan karena panasnya tanganku namun karena 'sakit'. Sebuah perasaan cengeng dan emosional yang berlebihan akibat overloaded.
Aku merindukan sebuah ritual tehku. Sebuah kenyamanan dan sebuah kasih. Teh penawar dikala lelah dan kemerosotan sebuah semangat sampai dititik rendah.
Seseorang dengan secangkir teh manis hangat ditangannya. Sesederhana itu.
No comments:
Post a Comment