Hai. Sebelum membaca tulisan saya ini saya mau mengingatkan bahwa tidak semua yang kamu baca bisa ditelan bulat-bulat dan seutuhnya, harus melalui nalar kritis dengan pertimbangan sana sini. Dan tulisan dengan tag Konspirasi Tai Kucing ini adalah sebuah tulisan sebagai diary belajar saya. Kenapa konspirasi tai kucing? Karena saya rasa dunia ini dipenuhi dengan pembodohan masal. Apa yang diyakini dan cara pandang kita ternyata masih di garis abu-abu dan masih harus dicari jawabannya dengan banyak-banyak belajar dan membaca. Saya rasa harus saya tuliskan agar saya punya record sendiri. Lalu suatu hari nanti ketika saya sudah tua dan gemetar bisa saya buka lagi dan menertawai diri sendiri betapa bodoh dan naifnya saya di masa lalu haha.
***
Sepanjang ingatan saya menjadi berbeda dan menonjol selalu digalakkan untuk dimiliki oleh anak-anak muda, kunci sukses katanya. Hingga dalam mengemukakan pendapat pun kita harus berbeda dan tidak sama dengan yang lain. Selalu diupayakan agar mencari alternatif lain dari berbagai studi kasus dan mencari solusi yang paling berbeda dari yang lain. Intinya berbeda itu baik. Ya menurut saya berbeda itu baik dan 'beda'. Intinya perbedaan yang tidak harus dibeda-bedakan. Dengan kita aware bahwa kita berbeda dan tidak usah mencari-cari persamaannya, saya rasa itu langkah awal dari toleransi. Menerima bahwa itu beda. Selesai.
Contoh sederhananya adalah saya suka band indie yang tanpa label musik lalu dibuat dengan dana seadanya namun liriknya cerdas dan ganas. Atau paling tidak bukan tipe musik yang ada di tivi-tivi dan didengarkan di supermarket gitu lah. Selera musik yang cukup nyusahin sih sebenarnya karena dengan begitu saya harus mencari-cari yang sesuai. Hingga sampai suatu masa di mana saya percaya teori melihat pribadi dan tingkat intelegensi seseorang dari jenis musik yang dia suka. Pasti anda sekalian sudah tahu mau dibawa ke mana tulisan ini. Long story short, saya melihat kalau penyuka lagu indie itu cool abis ( pada masa labil itu siapa juga yang tidak berasa keren sih? *tepok jidat*).
Menurut saya pada masa jahiliyah itu, memiliki selera musik yang beda memiliki kasta tersendiri seolah satu kasta lebih tinggi dari yang menyukai musik di tivi-tivi itu. Seolah dengan mendengarkan itu saya menjadi terlihat pintar atau cerdas dengan kesombongan-yang-apa-deh. Padahal seiring waktu, semua teori kasta selera musik itu runtuh menjadi serpihan karena sebenarnya itu sama sekali tidak valid untuk menjadi ukuran. Demikian pula dengan buku apa yang kamu baca, ideologi apa yang kamu anut dan lalu agama apa yang kamu peluk. Tidak ada yang namanya undakan tangga mana yang lebih tinggi dan mana yang rendah. Itu hanya ilusi belaka, pembeda-beda karena situasi dan latar belakang seseorang saja yang dikotak-kotakkan. Padahal sebenarnya sama.
Beberapa hari ini saya sedang tertarik dengan essay yang membicarakan generasi Y, generasi yang lahir di awal 1980 sampai awal 2000. Di essay tersebut kerap kali disebut kata medioker yang maksudnya adalah sesuatu yang standard, cukup, dan pas-pasan. Pada intinya anak muda jangan maulah menjadi medioker. Oke. Di satu sisi saya setuju kalau menjadi muda di zaman ini memang tidak bisa menjadi pas-pasan dengan begitu-begitu saja. Namun definisi pas-pasan setiap orang kan berbeda-beda ya... jadi sekarang saya jadi agak bingung parameternya non medioker apa?
Lalu saya berpikir lagi, apakah benar dengan menjadi medioker kita tidak akan bisa survive di dunia ini? Apakah maksud medioker ini adalah bermain aman di zona nyaman dengan ikut arus saja dan tidak menjadi ikan salmon? Bagaimana kalau seandainya saya tidak ingin menjadi ikan salmon yang berenang melawan arus, bagaimana kalau saya malah ingin loncat ke aquarium dan jadi ikan sapu-sapu yang membersihkan aquarium saja dan lalu saya menjadi bahagia karenanya?
Menurut saya kata medioker ini terlalu luas jangkauannya seperti misal analogi saya ketika saya merasa selera musik indie itu keren dan yang lain tidak. Lalu seiring berjalannya waktu saya berubah pikiran. Saya rasa demikian pula dengan definisi medioker seseorang. Kerap banyak yang mencap orang lain dengan gaya hidup yang kekinian, baju yang mengikuti fashion, mereka yang ikut arus zaman dicap sebagai si medioker ini oleh mereka yang merasa 'berbeda'. Saya melihat kenapa jadi seolah ada sebuah kasta lagi di sini. Apakah kita dalam hidup tidak akan lepas dari kasta, label-label dan kotak-kotak ya? Ya mungkin demikian.
Sampai hari ini saya membaca buku biografi Tan Malaka,buku keluaran Tempo dengan judul kecil Bapak Republik yang Dilupakan. Di situ saya merasa seperti oh dayummm... selama ini waktu SD saya belajar IPS Terpadu macam apa? Kenapa saya menelan bulat-bulat itu buku teks dan menganggap bahwa peran kemerdekaan adalah semata-mata adalah Pak Soekarno dan Pak Hatta saja ya? Memang ini adalah salah saya sebagai pelajar dan pembaca yang sedikit terlambat menyadari bahwa ada Tan Malaka yang keren ini juga adalah pemikir dan pejuang revolusi. Memang penyesalan itu datangnya selalu terlambat dan saya sebal sekali, sebodoh itunya saya. Bahwa pandangan seseorang berubah, prespektif orang berubah, dan sesuatu yang terlalu dipercayai dan diyakini sungguh-sungguh itu seharusnya disaring dengan akal sehat dan banyak riset. Itu yang saya pelajari, semoga jangan berakhir seperti saya, meyakini hal yang tidak dikaji nalar. Jangan, pokoknya jangan.
Mungkin menjadi medioker ada baiknya juga dan saya rasa menjadi medioker juga adalah pilihan dan itu bebas dilakukan selama tidak menyenggol kepentingan orang lain. Kalau kata Dewi Lestari, "Akan tetapi hidup ini cair. Semesta ini bergerak. Realitas berubah." Ya, hidup ini cair, Kawan. Semua berubah sesuai wadahnya dan kalau suatu hari kamu mau pindah wadah, ya monggo silahkan.
No comments:
Post a Comment