"Tidak sesaat pun saya ragu-ragu mengenai integritas dan kehormatan diri sendiri sebagai wanita. Saya tahu bahwa profesi saya telah diciptakan oleh lelaki, dan bahwa lelaki menguasai dua dunia kita, yang di bumi ini dan yang di alam baka. Bahwa lelaki memaksa perempuan menjual tubuh mereka dengan harga tertentu, dan bahwa tubuh yang paling murah dibayar adalah tubuh isteri. Semua perempuan adalah pelacur dalam satu atau lain bentuk. Karena saya seorang cerdas, saya lebih menyukai menjadi seorang pelacur yang bebas, saya lebih menyukai menjadi seorang pelacur yang bebas daripada menjadi seorang isteri yang diperbudak. " - Perempuan di Titik Nol halaman 132-133 ( Nawal el-Saadawi)
Ada segurat rasa penasaran pada sebuah buku mungil berwarna merah ini. Buku ini selalu disebut-sebut di setiap kritik sastra feminis. Ada yang berkata bahwa buku ini terlalu feminis, terlalu memojokkan peran laki-laki, sebuah kritik sosial yang pedas. Namun menurut saya, buku ini berani karena mengupas tatanan sosial dan politik pada zamannya. Pengarang buku ini adalah Nawal el-Saadawi, seorang dokter bangsa Mesir. Ia dikenal di seluruh dunia sebagai novelis dan penulis wanita pejuang hak-hak wanita.
Saya menyukai sastra karena dalam sastra saya bisa lebih mengenal hidup dari sisi yang berbeda. Bahwa sebenarnya hidup ini abu-abu, tidak sepenuhnya hitam dan tidak sepenuhnya putih dan bagi yang melihat hanya salah satunya saja, dia miskin perspektif.
Seperti judul tulisan ini, Firdaus. Firdaus adalah tokoh utama dari buku ini yang adalah seorang pelacur. Pelacur yang meneriakkan suaranya akan ketidakadilan posisi perempuan di masyarakat. Mirisnya dalam buku ini adalah banyak perempuan yang tidak merasa ditindas lalu merasa itu adalah suatu hal yang lumrah untuk perempuan diperlakukan tidak adil. Dan malah berbalik menyerang Firdaus karena Firdaus merasa tatanan ini salah dan dia memberontak. Ada satu perikop yang cukup menohok saya yakni saat Firdaus kembali pulang ke rumah Pamannya karena habis dipukuli oleh suaminya namun Pamannya malah berkata bahwa semua suami memukul istrinya, dan istrinya menambahkan bahwa suaminya pun seringkali memukulnya. Lalu Firdaus pun berkata pada pamannya kalau tidak mungkin pamannya ini memukuli istrinya karena ia terhormat dan terpelajar dalam hal agama, tidak mungkin memiliki kebiasaan memukuli istrinya. Namun dibalas oleh pamannya dengan jawaban, justru laki-laki yang memahami agama mengijinkan untuk melakukan hukuman itu. Aturan agama mengijinkan untuk melakukan hukuman itu. Seorang isteri yang bijak tidak layak mengeluh tentang suaminya. Kewajibannnya ialah kepatuhan yang sempurna.
Tidaklah saya mengerti bahwa tafsiran agama manakah yang dapat mengeluarkan statement seperti itu? Saya rasa ini bukan urusan agama namun manusia itu sendiri yang salah menafsirkan hingga akhirnya menjadikan agama sebagai dalil tertinggi untuk bisa dihormati dan dipatuhi. Saya benci sekali jikalau segala sesuatu dihubungan dengan hukum agama dan penafsiran sendiri bahwa Tuhan itu begono begini. Hingga akhirnya saya rasa manusia sendiri yang membuat gambaran Tuhan itu begono begini, bahwa Ia Maha Penghukum. Mungkin memang kita manusia terlalu sok tahu untuk menyelami semua pemikiran-Nya. Hingga akhirnya kita, manusia menjelma menjadi tuhan itu sendiri.
Buku ini sungguh menggambarkan bahwa tubuh perempuan bukanlah milik perempuan, namun milik laki-laki. Karena tubuh perempuan bisa dibeli dan sewaktu-waktu bisa ditinggalkan apabila sudah bosan. Perempuan tidak memiliki haknya atas tubuhnya sendiri dan di buku ini juga digambarkan bahwa perempuan tanpa dilindungi oleh laki-laki, maka dia tidak aman dan tidak dianggap. di masyarakat. Anggapan bahwa laki-laki sebagai pelindung rasanya sangat kontradiktif sekali. Melindungi dari apa? Dari laki-laki lain yang akan menyakiti dan merampas tubuhnya? Namun apa bedanya jikalau 'lelaki pelindung' atau suaminya pada akhirnya malah jadi momok yang menakutkan dan sumber kesengsaraan. Dari mana perlindungannya?
Ada satu yang cukup menggelitik saya dari sekian tokoh laki-laki di buku ini. Ada satu tokoh namanya Ibrahim, dia adalah teman Firdaus yang menjadi salah satu kekasih Firdaus. Dia tipe laki-laki kritis, pintar yang meneriakkan revolusi. Seorang revolusioner, pada awalnya saya jatuh cinta pada tipe Ibrahim ini. Sosok yang memanjakan otak dan intelegensi bukannya menawarkan harta seperti lelaki lain di buku ini. Sosok yang menawarkan rayuan baru yakni sesuatu yang saya bilang sebagai tipe laki-laki yang mampu men-seduce otak dengan pemikiran-pemikiran smartnya. Sayang ujung-ujungnya dia pun lari meninggalkan Firdaus dengan putri presiden direktur tempat Firdaus bekerja. Hal yang mau digambarkan nyata dalam buku ini adalah betapa laki-laki mudah tergoda dengan kekuasaan. Saya rasa sebenarnya tidak hanya laki-laki namun perempuan juga. Pada akhirnya manusia menginginkan rasa menguasai manusia lainnya. Layaknya bermain peran budak-majikan. Sebuah perasaan primitif manusia untuk menguasai.
Menurut saya buku ini buku yang galak. Kritiknya nyelekit dan tajam. Bisa saja pada zaman ini kita memandang buku ini sebagai kemarahan seorang perempuan atas laki-laki, mungkin karena dia aliran sakit hati pada laki-laki, sebagai pelarian cinta yang ditolak dan ditinggalkan. Banyak orang yang menuduh feminist seperti itu, namun kembali lagi. Kita tidak berhak menghakimi seseorang dan cara pandangnya, hanya karena dia bersebrangan dengan kita. Saya rasa si penulis buku ini adalah perempuan yang berani dan saya kagum dengan karyanya karena dia menyuarakan situasi ekstrem yang terjadi pada zamannya dan meneriakkan suara-suara perempuan pada zamannya.
Bagi saya hal yang paling kasihan adalah bukan pada orang yang tertindas dan meneriakan keadilan namun dihiraukan. Tapi orang-orang yang tidak menyadari bahwa ia tertindas dan menganggap itu adalah tatanan sistem yang benar dan membenarkan hal itu terjadi pada orang lain. Tidak menyadari kalau dia juga korban itu kasihan, sungguh kasihan.
No comments:
Post a Comment