Hidup Setegas Kentut
Pada hakikatnya manusia adalah ciptaan Nya
Dari akar-akar manusia sendiri
Mengapa kita musti tercerabut, terbuang?
Berbeda antara satu dan yang lain?
Sedangkan kita berasal dari akar yang sama?
Makhluk sosial
Atau
Makhluk So Sial?
***
‘Maaf bagaimana menuliskannya Mbak?’
‘M-e-t-t-a. Huruf T-nya double.’
Ya....itulah namaku Metta, yang artinya cinta kasih. Banyak sekali orang salah dalam menulis namaku. Mereka menuliskan namaku dengan huruf T yang hanya satu. Aku sebal sekali. Enak saja mengganti nama orang seenak jidat sendiri.
Metta—dengan huruf T double terasa lembut memukau. Pengucapannya puin terasa lebih indah dengan sentuhan huruf T yang tegas dan diakhiri dengan huruf A yang mengaga sempurna. Nah....kalau mengucapkan Meta pengucapannya jadi terasa cepat dan akan ada tambahan huruf lainnya seperti L dan K. Sehingga menjadi seperti MetaL dan MetaK. Sungguh gatal kupingku dibuatnya.
...Ketika aku masih balita dulu...
Aku lahir di Bandung, 30 Desember 1990. Aku tidak ingat bagaimana aku dilahirkan dan dibesarkan. Aku lupa. Tapi menurut orang lain saat aku masih kecil, aku ini galak. Aku pernah menjepit jari sepupuku di pintu.
Masa kecilku saat itu sangatlah mengasyikan. Selain karena tinggal di kota Bandung yang saat itu masih dingin dan sejuk namun ada alasan lain. Yakni kedekatan dengan saudara-saudaraku. Aku tumbuh ditengah-tengah saudara-saudara sepupuku. Mereka sering kali datang ke rumah kami. Bisa dibilang aku saat itu adalah anak terkecil diantara sepupuku yang lainnya. Sehingga tentu saja aku mendapatkan perhatian lebih.
Saat aku masih bayi ibuku bukanlah ibu rumah tangga biasa. Dia adalah seorang guru di Santa Angela, Bandung. Apabila ibuku sedang pergi mengajar di Santa Angela, aku pun akan diasuh oleh pengasuhku, Mbak Sus namanya. Orang jawa tulen dengan rambut yang sangat panjang hingga pinggang tapi dalam kesehariannya selalu ia gelung dengan ikat rambut. Mbak Sus ini sangat sabar dan setia, ia pun sayang dengan anak kecil. Terkadang sebulan sekali nenek dari pihak ibu datang Ciamis untuk sekedar menjengukku. Saat aku kecil aku sangat dekat dengan nenek.
Hobiku saat balita adalah naik taksi anak-anak yang mulai beredar di sore hari dengan lagu-lagu ala bocah. Jalur taksi anak-anak ini hanya seputar kompleks perumahan saja. Dengan membayar Rp 100,- anak-anak bisa terhibur dan bisa berkeliling komplek perumahan. Apabila anda sekalian melihat anak perempuan lecek dan rambut awut-awutan sehabis tidur siang. Aku lupa bagaimana rasanya naik taksi anak-anak.
Satu sifat yang tidak pernah hilang sedari aku kecil adalah ceriwis. Aku bukanlah tipe anak pemalu. Biasanya anak-anak seusiaku saat gigi susu belum lepas pasti mereka akan malu apabila ditanya pertanyaan sederhana seperti siapa namamu, sudah makan belum dan pertanyaan ringan lainnya namun beda denganku. Aku tidak hanya memberi jawaban iya/tidak namun juga menyajikan cerita-cerita yang lain. Aku saat itu selalu ingat apabila ada orang bertanya harus dijawab . Pernah suatu kali aku tidak menjawab dan malu-malu kucing sehingga aku pun mendapatkan ganjaran setimpal atas perbuatanku yakni dicubit. Jadi, pembelajaran awal yang selalu ditanamkan kedua orang tuaku adalah menjawab pertanyaan orang lain.
Saat aku masih kecil hingga sekarang banyak orang yang bingung dengan caraku saat memanggil kedua orang tuaku. Aku memanggil ibuku dengan sebutan ibu. Sedangkan memanggil ayahku agak berbeda dari aturan dan norma yang berlaku. Aku langsung memanggil namanya Bob. Aku juga tidak tahu apa asal usulnya.
Aku pun mempunyai kebiasaan-kebiasaan aneh. Yakni, mempunyai bantal aneh yang aku percaya sebagai bantal keramat, bahkan aku pun menamakan bantal itu dengan sebutan geli-geli. Itu adalah bantal yang paling nyaman sedunia. Bantal keramatku ini sekilas nampak biasa namun apabila diperhatikan dengan lebih teliti akan nampak pulau-pulau putih yang menghiasi geli-geliku, yaaaa itu tak lain dan tak bukan adalah ilerku. ;p Maklum aku kalau tidur ngiler. Mengapa aku memanggil bantal keramatku dengan sebutan geli-geli? Karena eh karena bantalku ini sebenarnya adalah bantal untuk sofa sehingga ada renda-renda disekelilingnya. Warna dasarnya coklat dengan gambar bunga-bunga. Oleh karena adanya renda-renda halus disekelilingnya dan saat kuusap renda-rendanya tanganku jadi geli keenakkan jadi aku pun menyebutnya dengan geli-geli. Kreatif bukan? Haha. Dan untuk sekedar informasi aku masih sering tidur dengan geli-geli. Sampai sering kali temanku suka bercanda mau buang geli-geliku atau mungkin mempertanyakan apakah aku saat sudah bersuami masih tidur dengan geli-geli ?
Penampilanku saat itu, kata orang amat imut, manis dan menggemaskan. Dengan muka bulat, jidat jenong, potongan rambut bob dan rambut ikal keriting kecoklatan yang sering kali diikat tinggi seperti air mancur.
Rumahku pada awalnya ada di Arcamanik, Bandung namun kami sekeluarga pindah ke Pasar Minggu, Jakarta agar memudahkan ayahku bolak-balik. Pasalnya, karena jarang bertemu dengan ayahku aku suka lupa dan saat bertemu aku seperti tidak mngenalinya. Maklum, anak balita. (bersambung)