Rasanya saya sudah butuh beli kacamata atau contact lens. Penglihatan saya udah mulai siwer-siwer dari jauh, jadi kalau liat objek dari jarak jauh matanya harus minceng-minceng dan mengeluarkan mimik nyengir-nyengir aneh. Jelek? Oh... sudah biasa itu.
Mengapa saya mulai menyerah dan butuh kacamata? Karena tulisan mandarin itu menyiksa mata dan batin saya. Sudah tulisannya kecil-kecil, jelimet lagi. Pokoknya saya mau menjadikan tulisan mandarin sebagai kambing hitam atas bertambahnya minus mata saya. Titik. Kini saya sudah mulai susah lihat orang dari jarak jauh dan baru sadar kalau ternyata ini orang sudah senyam-senyum dari jauh ke saya, namun saya cuekin. Kalau begini terus bisa membuat pergaulan saya jadi terhambat dan disangka sombong. Padahal saya mah ramah orangnya, suer deh! Belum lagi sering kali saya salah liat. Saya kira saya kenal eh taunya...enggak. Sebel kan? Terperdaya penglihatan sendiri?
Halusinasi
Pada suatu malam saat sedang winter break, sesudah saya mandi dan bermain-main tak sengaja melihat jendela kamar. Lalu dari kejauhan saya melihat menara Eiffel. Cantik, anggun dengan lampu kemerlip kekuningan. Hati saya pun langsung nyess seketika, padahal jelas-jelas otak saya yang seuprit ini tahu bahwa keberadaan saya ini di Taiwan bukan di Paris. Dan di Taiwan sini tidak ada Eiffel, adanya Taipei 101 itu pun di Taipei bukan di Kaohsiung. Tapi entah mengapa saya suka sekali melihat ke luar jendela dan memandang 'lampu menara Eiffel' yang sebenarnya berwujud plang toko sepatu berwarna kuning.
Nyaris setiap malam setelah saya mandi saya berdiri sejenak untuk menikmati menara Eiffel jadi-jadian saya. Lalu suatu hari saya memberitahu roommate saya akan pemandangan menakjubkan itu. Namun jelas mereka tidak bisa melihatnya, jelas yang mereka lihat adalah plang toko sepatu berwarna kuning bukan menara Eiffel. Alhasil roommate saya bingung setengah mati dan berusaha mengerti dari mana letak sisi ke-menara-Eiffel-an-nya? Saya jelaskan berkali-kali dari setiap sisi sudut pandang tentang apa yang saya lihat. Tapi rasanya apa yang saya lihat jelas bukanlah apa yang dia lihat dari matanya.
Jangan salahkan jikalau...
Lalu saya berpikir bahwa sebenarnya bukan salah saya atau salah roommate saya kalau ternyata sudut pandang kita berbeda. Apa yang dia lihat berupa wujud lain dan apa yang saya lihat adalah menara Eiffel. Tidak ada yang salah atau kurang kreatif, itu hanyalah sebuah 'penglihatan' masing-masing yang ternyata berbeda, bahwa mata saya minus sehingga penglihatan saya kurang awas sehingga saya bisa melihat 'yang lain'.
Saya yakin sebenarnya itu juga sebuah awal di mana setiap orang punya sudut pandang dan pemikiran yang berbeda akan suatu hal. Jangan salahkan apabila seringkali kita berserbangan pendapat dengan orang lain di sekitar kita karena barang kali lensa mata yang mereka pakai berbeda. Jangan salahkan apabila lensa orang tersebut adalah lensa cembung sehingga apa yang dia lihat extra besar sehingga dia bisa melihat dengan detail dan rinci, jangan salahkan juga apabila lensa orang tersebut adalah lensa cekung jadi dia hanya lihat selewat saja, asal gembira, asal senang.
Begitu juga dengan warna-warna lensa, ada orang yang punya lensa pelangi di matanya sehingga apa yang dia lihat warna warni, ada yang lensa matanya warna hitam sehingga apa yang dia lihat ya... berwarna hitam. Dan lucunya, kalau dua orang itu bertemu dan berdiskusi tentang suatu objek, misalnya bunga mawar lalu mereka mendeskripsikan bunga mawar itu. Si Lensa Pelangi pasti akan berkata: Mawar itu cantik sekali berwarna-warni seperti pelangi. Lalu Si Lensa Hitam berkata: Ah.... itu mawar sudah layu, warnanya hitam. Lalu gawatnya mereka bertengkar dan sibuk meyakinkan satu sama lain bahwa warna mawar itu berdasarkan apa yang dia lihat. Kan bego itu namanya! Wong Si Lensa Pelangi melihat mawar itu warna-warni dan Si Lensa Hitam melihat mawar itu hitam! Tidak ada yang salah, tidak ada yang benar, hanya berbeda saja.
Beda Itu Tidak Jelek
Sedari kita kecil, kita selalu takut untuk menjadi yang beda. Kita takut dengan menjadi beda maka kita tidak normal. Padahal sebenarnya sedari lahir saja kita sudah 'beda' tidak ada yang sama satu sama lain. Kita selalu ingin sama dengan orang lain agar kita terlihat normal. Begitu juga dengan pikiran dan perasaan. Kita ingin mempunyai pemikiran yang sama agar bisa diterima di masyarakat karena kebetulan masyarakat mempunyai pemikiran yang seragam sehingga jadi harmonis. Tapi kita kan tidak tinggal di negara komunis, kita bebas, bebas bicara, bebas berpendapat, bebas berekspresi. Kenapa harus sama? Kenapa kita sangat takut dengan pluralitas? Karena takut terpecah-pecah? Eh.... belum tentu. Pluralisme itu indah, beragam, berbeda. Dan hal yang harus kita miliki adalah toleransi bahwa saya berbeda, kamu berbeda, kita berbeda dan kita semua menghargai perbedaan tersebut. Kebayang dong, kalau kita semua sama pasti dunia ini membosankan sekali!
Ketika kita berbeda-beda kita jadi bisa melihat banyak sudut pandang dari orang lain dan itu jelas bisa memperkaya kita menjadi manusia yang lebih baik lagi kan? Kita jadi mengetahui bahwa ada pemikiran gila dan rumit yang dimiliki oleh orang lain dan kita akan terkagum-kagun dengan pemikirn orang yang super simple sehingga hidup dia happy-go-lucky. Bawa perbedaan itu pembelajaran untuk kita menjadi terbuka dan maklum dengan sekitar.
Kini saya mulai bersyukur dengan pengliatan saya yang rada siwer-siwer ini. Saya bisa melihat sesuatu yang indah yang belum tentu orang bisa lihat, saya bisa membodohi diri sendiri dengan melihat sesuai kemampuan mata saya, meski terkadang saya jadi nubruk-nubruk kalau jalan. Saya rasa saya butuh kacamata secepatnya. Tetep.