Baru hari Kamis ya, iya baru hari Kamis. Tarik nafas dulu karena besok masih hari Jumat. Apakah kita seharusnya berkata 'masih Jumat' ataukah 'sudah Jumat'? Silahkan pilih. Saya rasa beberapa orang dan termasuk saya memberikan label bahwa weekend is the loveliest thing in the world. Menurut saya iya.
Saya sedang berpikir, mungkin karena weekend memberi rasa nyaman dan kita manusia cenderung menempatkan diri kita di tempat yang menurut kita nyaman. Saya paham kalau setiap orang memiliki definisi kenyamanan yang berbeda-beda serta memiliki tingkat kenyamanan yang berbeda-beda. Bagi saya nyaman itu artinya ketika saya bisa menjadi diri saya sendiri dan membuat saya merasa betah dan bersemangat. Lalu seorang teman saya pun nyeletuk "Oh kalau begitu menurut kamu nyaman itu adalah subject ya? Bukan tempat, bukan object?" Lalu saya berpikir, iya juga ya, nyaman untuk saya adalah orang-orang di sekitar saya.
Kamu adalah zona nyaman itu sendiri
Manis, gak sih jikalau ada seseorang yang tiba-tiba berkata padamu bahwa kamu adalah zona nyaman untuk mereka. Ketika keberadaan kita bisa membuat seseorang merasa aman dan nyaman. Bahwa segalanya pasti akan baik-baik saja jikalau ada kamu. Manis gak sih? Saya rasa lutut saya pasti lemes dan saya tersanjung sekali jikalau ada seseorang berkata seperti itu pada saya.
Menurut saya tidak banyak orang yang bisa membuat orang lain merasa nyaman dengan keberadaan mereka. Ketika orang tersebut bisa membuat diri kita jadi terbuka dan menjadi diri sendiri. Sebenarnya lucu juga sih jikalau kita malah mencari zona nyaman untuk menjadi diri sendiri dalam diri orang lain. Mengapa tidak dimulai dari diri sendiri terlebih dahulu? Dimulai dari kita bisa merasa nyaman dengan diri sendiri, merasa ok dengan diri sendiri.
Dahulu ketika saya masih labil banyak hal yang saya pertanyakan seperti kenapa sih rambut saya tidak lurus namun bergelombang ikal, saya kan maunya lurus cantik gitu. Dan saat itu saya ingat sekali kalau saya saat itu sedang berjerawat heboh parah, hingga saya malas ngaca dan melihat muka saya yang menurut saya jelek. Makin ke sini saya rasa saya sudah terbiasa dengan jerawat saya, bahwa saya berjerawat dan jerawat sudah menjadi hiasan muka saya semenjak kuliah. Hingga saya sudah tidak ambil pusing lagi dengan itu.
Saya rasa ketika kita bertumbuh menjadi dewasa, akan banyak kritik dan omongan negatif seiring dengan pertumbuhan kita. Pada akhirnya bisa saja kita akan berpikir bahwa kita tidak menarik karena gendut atau jerawat atau berambut ikal atau tidak tinggi atau tidak putih atau tidak memiliki muka yang cantik dan banyak label lainnya. Hingga akhirnya kita tidak menyukai apa yang ada di dalam tubuh kita. Padahal kalau dipikir-pikir, cara kerja tubuh kita ini sungguh amazing. Ada suatu mekanisme tertentu dalam tubuh kita yang bekerja dengan ajaib dan kalau satu tidak berfungsi dengan baik maka mampus sudah kita. Ya...memang manusia suka lupa akan sesuatu yang di dalam dan lebih memikirkan polesan luar. Bahwa sesungguhnya sesuatu yang ada di dalam itu tidak kalah baik kualitasnya. Dan sudah saya bilang berkali-kali bahwa penampilan luar itu menipu.
Terkadang dilupakan
Apabila kita sudah nyaman dan selesai dengan diri sendiri pasti kita pun bisa menerima orang lain dengan baik. Dan kita merasa yakin bahwa kita ini ok dengan diri sendiri sehingga saya pun ok dengan orang lain. Tidak peduli dengan kata orang karena kita sudah menerima kekurangan diri sendiri.
Saya memiliki satu kelemahan yakni saya bukan anak eksak, hitungan saya parah, matematika saya amit-amit. Dan ini berpengaruh pada suatu hal yakni saya kesulitan membedakan mana kanan dan kiri. Saya selalu menutupi kelemahan ini dan mungkin sekarang tidak terlalu ketara, namun ketika saya harus menunjukan arah itulah suatu hal yang paling tidak saya sukai. Buat saya kanan dan kiri sangat sulit untuk dibedakan, maka itu saya selalu pakai jam tangan di tangan kiri saya untuk sebagai pengingat. Mungkin bagi orang lain ini aneh dan bego sekali, namun iya itulah saya. Kanan dan kiri tidak semudah atas dan bawah. Kanan dan kiri tidak semudah besar dan kecil. Dulu saya malu sekali jikalau saya harus memberi tahu kelemahan ini, namun sekarang saya sudah cuek saja. Iya memang saya sulit membedakan, namun bukan berarti saya tidak usaha untuk menjadi bisa. Saya selalu latihan kok. Dan ketika saya berkenalan dengan teman baru atau orang baru, saya pasti akan langsung memberi tahukan hal ini. Menurut saya saya membuat satu langkah untuk menjadi nyaman dengan diri sendiri.
Menurut saya, it's okay kalau kita mengakui kelemahan kita, bahwa kita memang tidak sempurna dan kita ini manusia biasa. Kita tidak sempurna namun kita berusaha untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi, ya kan? Pernah suatu hari teman saya berkata bahwa dia buta warna. Saya tidak pernah tahu kalau dia buta warna. Awalnya saya kaget, namun saya jadi penasaran, akan dunia yang dia lihat seperti apa, karena pasti cara pandang dia berbeda. Saya selalu tertarik dengan cara pandang orang lain melihat dunia, karena menurut saya pasti berbeda-beda.
Pernah suatu hari adik saya yang paling kecil sedang bermain dengan temannya, mereka bermain kadang akur dan kadang berantem lalu nanti bermain lagi. Menurut saya anak kecil selalu memberikan kenyamanan untuk temannya. Mereka bermain dengan saling menawarkan kenyamanan sehingga mereka pun memiliki rasa kasih yang lebih luas dari kita yang katanya dewasa ini.
Saya jadi ingat sebuah quote dari Atticus begini bunyinya : Watch carefully, the magic that occurs, when you give a person just enough comfort to be themselves.
Hingga akhirnya tidak lagi menjadi berarti dengan yang namanya perbedaan status, penampilan, harta benda, baju yang kamu pakai, tas yang kamu pakai, rambut yang kamu punya, atau wajah yang terpapang di kepalamu. Itu menjadi sesuatu yang fana ketika ada suatu hal yang lebih berharga ditawarkan, yakni pribadi yang penuh kasih. Karena kualitas yang terbaik ada di hati.