9.12.10

Duc in Altum




Kamu mau menganan atau mengiri? Satu jalan namun beda belokan. Tidak selamanya si kanan itu baik dan tidak selamanya kiri itu buruk. Kamu mau pilih yang mana? Dalam hidup kita ini pasti kita pernah merasakan termometer semangat yang drop. Kita bingung dan ingin menangis namun terkadang menangis tidak menyelesaikan masalah apabila apa yang mau ditangiskan pun tak tahu. Mungkin kita hanya sedang capek. Capek dengan rutinitas yang mengejar. Sesak.

Ditengah menumpuknya pekerjaan , permasalahan , jiwa kita tersungkur. Di saat inilah manusia membutukan presensi sebuah keluarga. Ketika aku sedang miskin semangat, ketidakberadaan keluarga secara fisik kadang membuat semangat gagah beraniku turun. Dan aku sebagai seorang anak akan merindukan orangtuaku dari waktu ke waktu. Namun aku tahu pasti bahwa seberapa jauh aku melangkah, aku masih punya tempat untuk kembali. Keluarga. Masih ada rumah hijauku dengan Ayah Ibuku serta kedua adikku di rumah.

Kucoba untuk terbangun dan terjaga. Mungkin fase kehidupanku saat ini amat cocok dengan sebuah kalimat berikut ini: Duc in Altum.

Duc in Altum berasal dari bahasa latin yang artinya: Bertolaklah ke tempat yang lebih dalam. Injil Lukas 5: 2-6. Yesus menyuruh Simon untuk berlayar sedikit jauh dari pantai.

Lalu Yesus pun berkata kepada Simon: " Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan."


Yesus sendiri berpesan bahwa kita harus melangkah jauh ke tempat yang lebih dalam. Maksudnya , agar kita bisa lebih menyelami lebih dalam, lebih luas, dan lebih jauh lagi. Kita diajak untuk menjadi orang yang tidak statis di zona nyaman kita. Untuk bisa mengambil tantangan baru mendapatkan hal-hal baru demi menjadi sebuah pribadi yang matang. Ketika kita berusaha untuk melangkah lebih jauh lagi dan meninggalkan zona nyaman kita, pasti pada awalnya kita akan ketakutan dan kehilangan arah. Kita merasa salah disebuah tempat yang sebenarnya paling tempat bagi kita. Bukankan biasanya sesuatu yang benar biasanya terasa salah?

Misalnya saja ketika kita sedang mendayung sebuah perahu, tentu kita harus membawa perahu kita ke tempat yang agak dalam agar dayung kita tidak tebentur daratan/pinggiran. Mendayung perahu ke tempat dalam pun bukanlah hal yang mudah karena begitu banyak gelombang. Kita harus mengendalikan keseimbangan perahu dan juga harus terus mendayung agar perahu kita terus jalan. Arah mengendalikan perahu pun berbeda. Ketika kita ingin belok ke kiri kita harus mendayung di kanan, kalau kita ingin belok ke kanan kita harus mendayung di kiri. Seharusnya ini pun bisa kita praktekkan pada kehidupan kita. Kita harus lebih fleksibel pada sebuah keadaan. Masih banyak peluang dan kesempatan untuk menuju cita-cita dan tujuan kita. Tentu pernah mendengar sebuah pribahasa zaman SD: Banyak jalan menuju Roma. Apabila tidak bisa yang ini yaaa.... jangan dipaksa coba dengan cara lain. Ketika situasi seakan tak ada solusi mungkin kita harus mundur sebentar lalu ambil jalan yang lain.

Kita pun harus ingat, ketika kita mencoba untuk mendapatkan hal yang lebih; ada begitu banyak harga yang harus kita bayar. Ada banyak gelombang dan ombak. Namun kalau kita tidak mencoba gelombang dan ombak itu kapan kita sampai ke tujuan? Siapa bilang hidup ini bisa semena-mena? Ayolah please. Jangan bercanda. Mari kita mengejar mimpi-mimpi kita yang tertunda. Sungguh keterlaluan apabila mimpi kita dikalahkan dunia. Aku selalu percaya bahwa selama kamu bisa memikirkannya pasti bisa mewujudkannya.

Mari saudara-saudara kita mengencangkan sabuk pengaman kita masing-masing untuk mendayung ke tempat yang lebih dalam menikmati gelombang dan semilir angin serta keindahannya. Hidup ini indah kawan :)) Angkat pantatmu, ayo berjuang !!!


Salam,

gadis payung kuning

25.11.10

Filosofi Ikan

sumber gambar: goblue.or.id



Disuatu Rabu yang penat. Sebuah hari di mana merupakan pertengahan dunia nyata sebuah satu minggu. Seminggu yang bisa saja berubah arti bukan 7 hari ; namun terasa lebih. Biasalah....manusia terlalu sering melebih-lebihkan. Begitu banyak majas hiperbolis yang dilontarkan. Mungkin akibat terlalu merindu akhir pekan?

Saat itu hari Rabu. Aku berlari dari sebuah rutinitas. Setelah makan malam aku melarikan diri ke sebuah lapangan luas dan berjalan sendirian. Jadi anti sosial sementara. Mendengarkan lagu-lagu sambil menikmati malam sendirian. Apabila ingin menggambarkannya dengan jelas, bayangkan sebuah lapangan olahraga di sebuah universitas yang pada malam hari banyak orang yang beraktivitas. Asyik dengan dunia masing-masing. Sendiri, berdua-dua, bertiga-tiga, atau mungkin segerombolan. Saat itu adalah jam anak kuliah malam untuk masuk dan menuntut ilmu. Penuh, ribet.

Aku berjalan menyusuri lapangan setapak demi setapak dengan lagu: More to Life- Stacie Orrico. Dengan sedikit liriknya dibawah ini:

There's gotta be more to life...
Than chasing down every temporary high to satisfy me
Cause the more that I'm...
Tripping out thinking there must be more to life
Well it's life, but I'm sure... there's gotta be more
Than wanting more


Menurutku kadang aku sebagai manusia tidak bisa belajar lebih bersyukur dengan apa yang telah aku dapatkan. Lalu mulailah kita dengan majas perbandingan. Lalu ingin lebih, lebih, dan lebih. Banding, banding, naik banding. Kapan puasnya? Kapan cukupnya? Kapan besyukurnya?

Aku tidak ingin menjadi seseorang yang tidak bisa mensyukuri apa yang telah aku terima, yang telah Tuhan berikan padaku. Aku tidak mau selalu merasa kehausan padahal perutku jelas sudah kembung. Aku tidak ingin selalu merasa kurang ketika sebenarnya ada yang kekurangan di luar sana. Aku tidak mau jadi pribadi yang seperti itu. Aku mau hidup damai, aman, tentram dengan pemikiranku sendiri dan bersyukur untuk apa yang telah Tuhan berikan padaku. Aku diberikan keluarga yang kusayangi, mereka mungkin tidak sempurna, mungkin kadang aku pun sebal dengan ayah ibuku yang kadang cerewet dan jadi tidak sabar karenanya. Namun apakah untuk jadi bahagia semua harus sempurna? Tidak toh. Aku pun bersyukur punya teman-teman di sekitarku yang 24 jam untukku. Sahabat-sahabat baikku yang selalu ada untukku setiap saat. Mengapa terkadang kita lupa untuk bersyukur?

Kita terlalu memikirkan keadaan, situasi, lalu menyalahkannya. Lalu takabur lupa bersyukur karena terpengaruh keadaan. Mengapa kita harus kalah pada keadaan? Dan terpengaruh di dalamnya. Misalnya ketika orang lain berteriak-teriak marah karena keadaan yang tidak adil mengapa kita harus ikut-ikutan? Kita bisa belajar dari seekor ikan. Coba lihat! Apakah ikan di lautan akan menjadi asin meski air laut itu asin? Apakah dagingnya menjadi asin kecuali apabila kita menambahkan garam saat memasaknya? Lihatlah ikan di kolam air tawar yang penuh dengan lumut, lumpur, dan makanan mereka adalah tai manusia. Apakah tiba-tiba ikan-ikan itu dagingnya terpengaruh beraroma dan terasa rasa lumut, lumpur, atau bahkan tai?

Begitu pun dalam kehidupan kita, seberapa sulit pun keadaan atau lingkungan di kehidupan kita janganlah mudah terpengaruh. Jadilah manusia bebas. Manusia yang bertanggung jawab total pada dirinya sendiri apakah akan terpengaruh oleh keadaan atau malah tetap dengan keteguhan pribadi. Manusia yang bisa memilih.

Menjadi manusia bebas itu sulit. Karena bebas bukan berarti 'liar' dan tidak mengidahkan apapun namun bebas bertanggung jawab pada hidup masing-masing. Dengan bertanggung jawab pada hidup kita pun belajar bersyukur dengan apa yang kita punyai. Dengan bersyukur kita berani untuk menyelami sebuah nilai baru tentang menerima diri sendiri.

Beranikah kita menjadi ikan yang tidak akan menjadi asin meski tinggal di lautan?

***



Nb.

Hallo mid test udah selesai dan satu-satu nilai pun keluar aaaaaaaaaaaa mamak. Oke aku bukan mau curhat ttg nilaiku yg mengsong. Yaaaah setidaknya aku sudah berusaha dan tidak melupakan bersenang-senang lalu berdoa :)) Sastra mandarin pun sudah selesai mari kita pasrahkan seluruhnya pada Tuhan. Amin.

Kemarin aku bermimpi aneh. Aku mimpi di sekolahku aku ketemu Ferninda. Lalu tiba-tiba sekolah banjir air bah, airnya asin. Ternyata eh ternyata itu air laut. Air itu dateng gede banget lalu berubah jadi lautan besar banget. Terus aku liat ikan GEDEEEEEEEEEEEE banget warna item kayak ikan mujair *haaa ketahuan sebenernya pengen makan ikan mujair goreng buatan ibu*. Ikan itu gede gak kira-kira, gila gede banget. *Ya udah sih,Met!* Terus entah kenapa tiba-tiba aku baru sadar kalo sebetulnya ikannya yang segede babon itu aku. Dibelakangku ada ikan-ikan kecil ngikutin aku perasaanku saat diikuti ikan kecil-kecil itu aku risih, kesel, dan keki tapi aku cuek tetep berenang. Lalu tiba-tiba laut itu berubah jadi surut lagi dan aku terlempar ke luar, tersedot ke luar, air laut pun makin berkurang, ikan-ikan kecil yang ikutin aku klepek-klepek *jatuh cinta kali klepek2* mati kehabisan nafas karena tidak ada air. Lalu aku pun berubah jadi manusia lagi.

Idih mimpi apaaa coba aneh banget! Idihhh gembel. Tapi sodara-sodara setelah pikir punya pikir, aku baru sadar kalo aku punya tulisan yang belom sempet aku publish isinya tentang ikan juga. Mungkin ini kali yah maksud mimpiku suruh nulis tentang ikan. Hahaha :))

Oh iya maap yah karena hampir 1 bulan off nulis dari blog karena begitu banyak kerjaan kuliah dan harus nari di sana-sini. Ayo kita bersemangat untuk mimpi dan cita-cita kita. GBU!


salam,

gadispayungkuning
Metta





28.10.10

Dari Taiwan untuk Indonesia

Hari ini 28 Oktober
Peristiwa Sumpah Pemuda
Aku muda.

Apa yang bisa aku berikan untuk negeriku?
Ketika bencana meluluh lantakan negeriku.
Ketika bapak-ibu delegasi asyik ke luar negeri
Sementara terdapat letusan gunung, gempa, banjir, tsunami
Ke mana moral?
Ke mana hati?

Dari Taiwan
Untuk Indonesia
Dengan penuh cinta,
Mungkin ragaku di negeri orang
Namun jangan hatiku

29.9.10

Secangkir Teh

Sejumput metafora dalam cangkir teh
Mencandu teh dengan ritual sakralnya


Air diceret sudah berdenging memilukan. Ceret itu begitu buruk rupa sebagai sebuah tanda korban ritual. Cemong hitam dibagian pantatnya. Air pun mulai mengeluarkan bunyi 'bulb' perlahan dengan frekuensi yang sering. Tertatalah sebuah ritual sakral: menyeduh teh. Aku bukan penggila sebuah kebiasaan yang tersusun rapi yang mampu mengorganisir agenda hingga jamnya. Aku bahkan sering lalai, dikhianati oleh jadwal yang kubuat sendiri. Mungkin suatu hari nanti aku harus 'menikmati' jadwalku yang kubuat sendiri.

Kembali lagi. Tehku bukan sembarang teh. Aku lebih menyukai teh tubruk. Teh yang masih berbentuk daun teh kering. Terdengar 'ndeso huh? Memang saya dari kampung dengan sebuah lidah ajaib yang lebih menyukai makanan sunda dengan sambel terasinya dari pada makanan bule.

Teh tubrukku beraroma melati dengan 2 sendok gula diaduk disebuah gelas keramik. Nikmat. Kuseruput pelan. Oh iya! Satu lagi yang paling penting. Dibuat oleh ibuku.

***

Aku si lidah kampung pun ternyata harus menggeser pantatnya ke negeri seberang. Tetap membawa teh. Namun bedanya kini tehnya jadi turun pangkat, menjadi teh celup. Hanya diseduh dengan air panas dispenser lalu ditambah dengan 2 sendok gula pasir. Bedanya tanpa sesuatu yang penting, ibuku. Wah, sekarang aku sudah mahir membuat teh sendiri. Tapi aku melupakan ritual.

Sampai suatu hari ketika lelah menggelayut. Aura negatif yang melahirkan sebuah ketidakseimbangan. Lalu ke mana lagi logika?

Hei lihat! Aku mulai membuat teh. Dengan teh celupku, cangkir keramikku, 2 sendok gula, dan air panas dispenser. Kurang ajar. Air panas mengalir lebih dari volume gelas yang seharusnya. Mengguyuri tanganku yang sertamerta jadi merah panas. Menstimulasi otakku untuk memberikan sinyal: sakit. Air mataku mulai membayang. Aku menangis. Bukan karena panasnya tanganku namun karena 'sakit'. Sebuah perasaan cengeng dan emosional yang berlebihan akibat overloaded.

Aku merindukan sebuah ritual tehku. Sebuah kenyamanan dan sebuah kasih. Teh penawar dikala lelah dan kemerosotan sebuah semangat sampai dititik rendah.

Seseorang dengan secangkir teh manis hangat ditangannya. Sesederhana itu.


23.4.10

Ketika Siput Berlari




Lihat!!! Seekor siput sedang berjalan membawa rumahnya dengan diam, perlahan, namun pasti . Tanpa hirau kanan kiri. Kecepatan siputnya membuat dia dianalogikan sebagai sesuatu yang negatif dan lama. Lamban.....lama.....ter-pu-tus....pu---tu--s---.....tus.......t.....u.....s..... l.....a..............m...............a..... setitik demi se----ti---tikk. Tes...........tes........tes. Lama.

Menjadi seekor siput mungkin bukan sesuatu yang membanggakan malah cenderung menjadi sebuah momok simbolis kelambanan, keterbelakangan. Bahkan mungkin banyak yang tidak suka padanya karena bentuknya menjijikan. Si siput melihat dengan mata kepalanya sendiri sebuah dinamik gerak makhluk lain, benda lain, berseliweran. Dan dia berjalan terseret-seret perlahan-lahan. Pernahkah seekor siput merasa iri dengan makhluk lain misalnya? Jawabannya: Pasti. Siapa juga yang ingin menjadi yang terujung, yang terbelakang, yang terlama; sementara yang lain berlari, melaju, atau bahkan terlontar dengan kecepatan 'fenomena sebuah mencret' ? Yang satu melejit, yang satu lagi berjalan lurus kepayahan membawa rumahnya.

Belum lagi penghakiman jadi-jadian, 'hewan pintar' yang asal ucap, menilai sesaat, lalu tertawa dalam hati. Hidup siput yang payah itu makin menjadi-jadi. Namun, hei kawan, lihat! Si siput berjalan tengadah dan menulikan telinga. Anggun, cuek, dan terkesan 'ndablek. Menikmati setiap perjalanannya, melihat lebih jauh, sedikit demi sedikit.

Dia lama. Dia tahu persis itu. Dia dibelakang. Dia lihat itu. Dan apa yang dia lakukan dengan pengetahuan akan dirinya? Dia menerima dirinya dan berjalan dengan pasti. Mungkin dia tidak bisa berlari seperti anjing atau terbang cantik seperti kupu-kupu. Namun dia berlari dengan cara dia, sekuat-kuatnya, semampu-mampunya, secepat-cepatnya.

Siput itu berlari. Berlari dengan versinya sendiri.

Ada yang keberatan?



Taiwan, 2010
Di tengah sebuah pencarian dan hujan gerimis.



" Live your own and never mind them."

14.3.10

Teras Hijau






Lihat teras rumahku!
Hijau.
Di sana tempatku duduk di kala sore
Minum segelas teh melati buatan ibu
Bersenda gurau bodoh dengan Aga, adikku
Berdiskusi adu kusir dengan Bob, babeh gondrong
Membaca koran dengan ibuku.

Lihat teras rumahku!
Hijau.
Bergelimang cinta ibu dan pak bob
Kuingat ketika kita sekeluarga,
buat selametan heboh karena Aga baru disunat.
Kuingat ketika teman kita orang Baduy datang
Lengkap baju adatnya tanpa alas kaki, Jasrip namanya
Datang ke rumah kita menginap.
Kuingat ketika si copi melahirkan di teras kita.
Kuingat ketika nenek datang ke rumah kita setiap Juli.

Lihat teras rumahku!
Hijau.
Semoga tetap hijau
Semoga tetap ada kursi panjang coklat
Semoga tetap digantung lukisan perempuan yang memegang ayam
Semoga tetap ada rak hiasan ibu
Semoga tetap dihiasi topeng muka bali di dindingnya

Dan lalu,
saat kupulang nanti,
Teras rumah kita tetap sama
Hijau.


***


Jangan lagi datang, rindu
Pergi jauh!
*Float-pulang*







Bob Hariyadi Martopranoto
a.k.a Babeh Gondrong

Hati-hati.... bapaknya gondrong :))



new post

ganti blogspot

 YAK  pemirsah, maapin banget nihh udah ga punya blog.com karena......hhh yaudahlah kayaknya gapapa hehe. tadinya aku mau melatih pemikiran ...