Memasang sabuk pengaman dengan pandangan kabur karena air mata, lalu sesekali memalingkan muka untuk mengusapnya agar tidak terlihat oleh penumpang yang lain sebenarnya sungguh menyebalkan. Kesedihan yang tumpah ruah begitu saja lalu hatimu berantakan sedemikian rupa. Sedu sedan yang kau tahan ketika pesawat akhirnya lepas landas. Meninggalkan apa pun, apa pun yang ada di tempat itu. Teman-teman, kampus, guru-guru, asrama, gedung kuliah, perpustakaan tempat kamu menyendiri dan membaca, kamar asrama, kantin dengan makanan ajaibnya, rumah makan kesayangan, pasar malam, kapel kecil yang sejuk, taman depan kampus, kedai kopi yang hangat dan tentu saja kamu.
Dada sesak dan lalu meminta segelas air putih pada pramugari yang memandangi penuh iba karena mata saya sembab dan hidung merah. Ia pun menawarkan handuk hangat basah dan saya pun mengangguk. Bapak-bapak yang duduk di samping pun melemparkan pandangan kasihan berkali-kali dari sudut matanya. Saya sudah tidak peduli dan mulai mengusap muka saya yang lengket oleh air mata. Rasa kesal dan sedih masih menggelayut di sudut kening, saya memutuskan meminum segelas air putih itu hingga tandas namun tetap tidak ada rasa lega di sana. Seketika pesawat rasanya sungguh sempit dan singup, lalu saya hanya ingin menangis lagi.
Tidak ada seorang pun yang menjadi ahli dalam menghadapi perpisahan. Ketika selamat tinggal mampu mencabut akar sebegitu dalam namun sayangngnya tidak bisa memilih. Atau mungkin memilih namun tetap saja menyakitkan rasanya. Mengharapkan dia hadir sesaat di cafe kecil airport untuk berpisah secara baik-baik dan lalu berpelukan erat, rasanya menjadi suatu harapan yang sangat muluk. Duduk sendirian di cafe itu dan menghirup kopi panas yang terlalu encer namun untunglah rasanya pahit. Untunglah sehingga setidaknya kegetiran ditemani kopi pahit itu. Mungkin sejak itulah saya memiliki apresiasi berlebih pada kopi pahit.
Namun kamu tak kunjung datang hingga akhirnya nama saya dipanggil untuk boarding. Kau tetap tidak datang.
***
Sudah saya katakan berkali-kali hal yang saya suka darimu, salah satunya adalah kumis. Jatuh cinta pada seseorang karena kumisnya tidak salah kan? Seperti misalnya seseorang suka makan donat coklat kacang karena alasan ya.. suka saja. Lalu apakah menyukai sesuatu dengan alasan 'suka saja' sebenarnya bukan jawaban yang cukup memuaskan untuk dikatakan pada orang lain terlebih kekasih? Padahal sebenarnya banyak hal yang kita sukai tanpa kita ketahui mengapa, seperti sudah demikian dari sananya.
Memandangimu dengan rambutmu yang panjang digelung, lalu kaos oblong warna biru tua yang kau pakai ke mana-mana serta asap rokok yang mengepul sesekali dari mulutmu hingga membuat rambut saya jadi ikut bau asap rokok.
"Aduh, asapnya kena ke rambut saya nih, bau,"ujar saya sambil mengibas-ngibaskaan asap rokok dengar muka masam.
"Iya, nanggung satu lagi, asam nih mulut saya. Udah nanti keramas lagi. Eh mau minum apa?"tanyamu sambil melambaikan tangan ke pelayan. Dan kamu pasti memesan kopi plus gula dan saya memesan kopi hitam tanpa gula. Tidak ingat semenjak kapan kita sering menghabiskan waktu berdua sekedar untuk duduk dan lalu ngobrol atau hanya diam saja sibuk dengan pikiran masing-masin
"Memang harus ya minum kopi pakai gula? Itu tuh merusak rasa kopi, jadinya kayak kolak tau, tinggal dicemplungin kolang-kaling aja," kata saya sambil menggeleng-geleng tertawa. Saya heran setengah mati dengan orang yang minum kopi pakai gula, untuk apa mencari pahit kopi tapi inginnya pakai gula. Rasa kopi kabur, rasa gula tidak tercampur jadi satu. Tidak habis pikir.
"Eh... udah deh gak usah mulai lagi, haha. Inilah cara saya menikmati kopi dengan gula. Saya males kalau pahit sekali, getir banget rasanya. Lagian ya harusnya kita tuh impas dan gak usah saling ledek, coba kalau kamu minum bir maunya Radler, itu mah sirop," tungkasnya sambil menepuk-nepuk kepala saya.
"Tapi Radler tuh enak, rasanya cukup untuk saya. Tidak usah bir yang sungguh-sungguh bir. Kalau saya sudah bisa dicukupkan dengan Radler. Oke, kalau gitu kita impas ya?" sahut saya sambil meninju bahunya perlahan.
"Nah, ya benar itu. Toh setiap orang punya selera masing-masing dengan keperluan masing-masing, jadi nikmatin saja apa yang menurut kita nikmat ini, tidak usah ngajak-ngajak orang lain."
"Oh maksud kamu semacam keblinger dengan cara masing-masing, gitu kan ya?"canda saya lagi. "Eh tapi menurutmu kenapa bisa ada orang yang ingin membuat orang lain ikut percaya dengan keyakinan yang dia miliki? Seperti mereka fanatik lalu merasa apa yang mereka yakini paling benar dan orang lain harus ikut?"tanya saya sambil memandang matanya.
"Akan selalu ada orang seperti itu, mungkin di hati kecilnya membutuhkan pengakuan lebih akan keyakinannya itu dan melihat keyakinan itu menjadi benar apabila dilihat dari kuantitas yang mempercayai entah apa pun itu, tidak hanya agama loh ya," katamu sambil membalas tatapan saya. Berbagi tatapan sepersekian detik dan mempelajari gurat wajahnya dan lipatan kulit di ujung matanya saat tersenyum lebar.
"Hei, tahu tidak kemarin saat pelajaran Human Development, kita ada diskusi singkat kelompok mengenai asal usul kita dan bagaimana kita menghargai hidup. Lalu saya menemukan yang menarik. Seperti yang kita tahu, Taiwan adalah negara maju yang beberapa orang tidak memeluk agama, seperti agama bukan sebuah kebutuhan mereka. Mereka percaya ada Yang Besar namun hanya percaya dalam waktu tertentu seperti saat mau test masuk univ atau minta ini itu," cerita saya sambil menyeruput kopi perlahan.
"Ya, bahkan ada yang tidak percaya sama sekali dan tidak merasa Yang Besar itu ada,"ujarmu menimpali.
"Lalu, saat ada pertanyaan mengenai asal usul kita dari mana, tentu kamu tahu saya akan menjawab bahwa manusia berasal dari ciptaan Tuhan. Lalu ada beberapa anak Taiwan yang merasa bukan demikian, bahwa kita berasal dari orang tua kita, dari merekalah kita berasal, kalau tidak ada orang tua ya kita tidak ada. Lalu saya berpikir, ya benar juga sih. Itu tidak salah. Akhirnya diskusi tersebut berakhir dengan dua jawaban; berasal dari orang tua dan manusia sebagai ciptaan Tuhan. Laoshi bilang dari mana pun kita berasal entah apa pendapat kita, sudah selayaknya kita menghargai hidup," kata saya sambil mengangguk-angguk. "Padahal ya saya kira diskusi ini akan sangat sengit dan tarik urat leher dengan ayat-ayat kitab suci bertebaran di mana-mana, namun mereka santai saja dan tidak ada ketakutan akan perbedaan itu" lanjut saya takjub.
"Ya menarik ya, ketika kita masuk ke negara yang tidak menjadikan agama sebagai sebuah kewajiban dan memberikan kebebasan untuk memilih percaya dan tidak karena itu privasi. Mungkin mereka memasukan agama sebagai kebutuhan sekunder sih dan tidak menjadikan itu sebagai sebagai identitas. Bahkan pernah saya berdiskusi singkat dengan teman lalu ia berkata yang terpenting adalah perbuatan baik pada sesama, makhluk hidup lain dan alam dengan tidak merusak keseimbangan itu. Namun tidak enaknya dari negara ini adalah libur sedikit karena tidak ada hari besar agama, ya kan? Lalu kita tidak bisa ikut merayakan hari besar agama lain dengan libur," candanya sambil tertawa.
Saat itu matahari jam empat sore sehingga agak terik dan silau. Kedai kopi itu berasa di sisi Ai He, terjemahannya Love River. Banyak orang yang jogging, bermain sepeda, bersepatu roda, skate board dan lalu kami pun memilih untuk berjalan-jalan di seputar sungai itu.
"Kemarin saya ada tawaran freelance menjadi translator dari mantan rektor kita yang sudah sakit itu. Dia ada pembantu baru dari Indonesia yang baru datang dan diantar ke rumahnya namanya Rini. Jadi Rini seumuran saya dan sama sekali tidak bisa bahasa Mandarin dan bahasa Inggris. Mungkin hanya sedikit-sedikit dan kita tahu kan bahasa Mandarin bukan bahasa yang mudah untuk dipelajari semalam kecuali kalau kamu kerasukan setan cina tiba-tiba. Hingga akhirnya saya dipanggil untuk membantu translate,"cerita saya sambil berjalan santai.
"Lalu kamu pasti terbawa perasaan sendiri seolah Rini ini adalah sebagian dari dirimu sendiri yang merantau entah di mana dengan bahasa asing yang tidak kamu suka-suka amat. Lalu kamu teringat perjuanganmu belajar Mandarin siang malam hingga stress dan menangis di malam hari setiap hari itu?" tanyamu setengah menggoda.
"Ih kok tau? Gila, saya tahu sekali rasanya ketika semua suara tidak saya mengerti, saya mendengar namun tidak paham. Lalu tidak bisa mandiri dan bergantung pada orang lain, helpless sekali rasanya. Hingga berjuang itu sampai mati-matian dan benci pada diri saya sediri karena banyak waktu saya habis untuk belajar, stress, menangis, tuntutan nilai tinggi, persaingan, sikap perfeksionis saya, dan akhirnya pelarian-pelarian di perpustakaan kampus tujuh lantai yang bagai surga itu. Kadang saya menyesal kenapa saya bukan anak gaul clubbing namun malah sibuk berkencan malam minggu dengan Haruki Murakami, Tagore, Rumi, Ernest Hemingway, Paulo Coelho dan lain-lainnya itu," cerita saya sambil tertawa perlahan.
"Mungkin karena setiap orang punya cara untuk lepas dari belenggu apa pun itu dan kebetulan caramu untuk survive adalah dengan sepi meski sebenarnya ada pesta kembang api yang ramai di otakmu. Lalu anak clubbing, mereka tidak suka sepi hingga mencari keramaian sehingga menyepikan otak sesaat agar bebas dan high. Sebenarnya sama-sama mencari kedamaian dengan arti sepi dan ramai masing-masing sih,"tuturnya sambil memandang saya.
"Ya mungkin demikian, lalu kembali lagi ke Rini lagi ya, saya terkadang bingung dengan posisi saya sebagai seorang translator. Karena baiknya translator menjadi penghubung dua belah pihak. Dan kamu tahu saya ini adalah translator yang buruk karena saya tidak sampai hati menerjemahkan semua tuntutan dan peraturan rumah pada Rini. Bagaimana dia ada kamar tidur namun harus tidur si sofa menjaga pasien, bagaimana dia terkadang tidak boleh sholat lima waktu, dan bagaimana passport dan uang yang ditahan. Dan lagi, apabila belum sampai suatu masa yang ditentukan Sabtu Minggu harus tetap kerja, ya mungkin sebulan sekali dan hanya sekali-kali boleh libur. Coba kamu bayangkan bagaimana kamu menjelaskan hal itu pada Rini? Akhirnya saya menjelaskan dengan memberi solusi sendiri. Tapi hati saya saat itu hancur sekali ya walaupun banyak juga sih TKI yang bandel sekali dan jadi sumber onar, saya tahu. Namun ketika saya membantu menerjemahkan hati saya amburadul. Lalu saya pulang menangis," ujar saya sambil sibuk memandang ke arah lain.
"Tidak mudah ya, ingin menolong lebih namun kesempatan untuk menolong hanya secukupnya dan hati kecilmu berontak karena kamu sama-sama orang Indonesia kan?" tebakmu sudah mengetahui arah bicara saya yang akhirnya ke sana juga.
"Tepat, seperti pertanyaan apa ya yang bisa dilakukan untuk menolong, saya sih inginnya bilang: Ayo Rini kita pulang saja yuk, tidak usah di sini. Namun, itu juga tidak menyelesaikan, saya hanya bisa berdoa semoga Rini baik-baik saja dan bisa cepat ngerti bahasa Mandarin," kata saya menerawang.
"Ya semoga ya. Kita jauh dari Indonesia dan merasa seperti mencintai Indonesia dari kejauhan. Mendengar kabar dari media massa yang terkadang mungkin bisa saja bias. Lalu kekecewaan kita pada Indonesia mengapa belum membaik, kerinduan dengan Indonesia sebagai tempat tanah air kita. Lalu ada kalanya mendengar lagu Indonesia Pusaka saja, kita bisa secengeng itu,"sahutmu ikut menerawang. Kamu pun berjalan menuju pagar pembatas sungai dan bersandar di sana. "Di sana tempat lahir beta, dibuai dibesarkan bunda, tempat berlindung di hari tua, tempat akhir menutup mata,"dan kau pun bernyanyi.
"Tempat berlindung di hari tua, sampai akhir menutup mata. Itu sih sebenarnya. Kita bisa mencintai Indonesia dari jauh dan mencintai dengan jarak rasanya saya jadi memahami kalau saya cinta Indonesia, bagaimana pun itu. Sekian. Lalu saya jadi teringat puisinya Remy Sylado berjudul Nasionalisme begini bunyinya: Bahwa hatiku boleh saja keluar dari tanah airku tapi jangan pernah tanah airku keluar dari hatiku." lanjut saya lagi ikut bersandar di pagar.
"Kania, makan mie bebek yang dekat Katedral yuk."
"Kamu traktir ya."
***
"Oh iya, setengah semester lagi saya harus pulang ke Indonesia. Saya mau tinggal di Indonesia saja, saya tidak bisa membayangkan tinggal di Taiwan, bekerja, berkarya, kawin, berkeluarga, melahirkan, saya ingin pulang ke Indonesia," kata saya lagi sambil memegang lengannya.
"Kenapa harus pulang? Taiwan akan berkembang pesat seperti Jepang dalam beberapa tahun lagi. Dan pergerakkan politik di Taiwan lambat laun kian berani melawan China, coba saja lihat calon presiden Tsai Ying Wen, pasti dia bisa maju jadi presiden Taiwan. Kamu bisa mencari apa pun di Taiwan, kecuali cobek ulekkan sambel haha," candamu sambil tersenyum.
"Saya tahu, semua kemudahan ada di Taiwan, saya tahu. Namun rasanya hati saya sudah cukup menetap empat tahun di Taiwan. Meski saya tahu ada berbagai macam cara menunjukkan rasa cinta pada tanah air selain tinggal di sana. Saya tahu dan sejujurnya saya takut sekali untuk kembali ke Indonesia for good. Saya khawatir setengah mati karena pasti tidak akan senyaman sekarang dan saya harus kembali beradaptasi setelah lama tidak pulang. Namun hati saya berkata saya harus pulang ke Indonesia,"lanjut saya menjelaskan.
"Lalu kita?" tanyamu memandang lekat-lekat.
"Kita? Ayo kita pulang ke Indonesia."
"Saya di sini, saya tidak pulang."
***
Pesawat ini terbang tenang tanpa ada turbulensi, tempat duduk kelas ekonomi yang tidak empuk-empuk amat dan lagu Norah Jones yang mengalun perlahan. Catatan jurnal harian yang terbuka di halaman kosong belum ditulis. Pertanyaan besar akan ketakutan dan kesedihan. Mengapa mau pulang saja harus sedemikian beratnya? Berbicara tentang masa depan yang sedemikian abunya dan hati yang patah lalu entah bagaimana cara memperbaikinya. Ternyata cinta saja tidak cukup dalam sebuah hubungan, kesamaan visi, tujuan dan cita-cita adalah sekelumit di antara hambatan lainnya. Bukan melulu tentang cinta saja namun pencarian-pencarian mimpi dan aktualisasi diri. Pertanggung jawaban atas diri sendiri dan belajar untuk tidak lari. Bahwa menerima apa yang ditawarkan hidup bisa sepekat ini rasanya. Tidak ada kemudahan di sana.
Melihat sesuatu sebagaimana adanya dan menjadi bijak dalam melihat, bahwa tidak semua harus dirasa dan dilihat dengan dekat, bijaksana dalam melihat suatu hal dan ada kalanya melihat sesuatu dari gambaran yang besar sangat membantu ketimbang melihat dari potong-potongan.
Dan kini baiknya memandangi senja di ketinggian sekian kaki dari jendela pesawat. Cantik, sungguh cantik. Ingin rasanya saya kantongi dan bawa pulang. Namun tidak, keindahan hanya dapat dinikmati bukan untuk dimiliki. Dinikmati penuh-penuh lalu simpan dalam hati.
![]() |
| Menuju Jakarta |
Serpong, 2016
Terbangun jam 2 pagi dan menulis fiksi mini. Lalu bingung mau diapain.
Diapain ya enaknya?

No comments:
Post a Comment