23.4.16

Hal-Hal Sederhana yang Luput dari Indera Kita



"Udah tahun baru aja ya? Lemesin aja lemesin."

Kata mas-mas berambut tidak santai dengan tato di sekujur lengannya, namanya Djito mungkin panjangan dari Warjito atau Djitodiningrat tapi kayaknya yang terakhir kebagusan. Kami berkenalan di Stasiun Gambir menunggu kereta terakhir ke Cirebon. Kata Djito cita-citanya mau jadi anak punk yang kritis dengan issue hak asasi manusia. Ah sedap! Itu dia suka ikut aksi Kamisan yang mulai dilarang itu, aksi permintaan pertanggung jawaban atas issue HAM.

"Di tahun yang baru ini saya mau ngelemesin semua yang tidak santai. Lagian ye, coba deh baca bukunya Paulo Coelho yang judulnya Aleph. Katanya ya kalo hidup ini udah kayak naek kereta api, orang-orang yg ada di hidup kita ada di gerbong yang sama kalau mereka belum berpindah cerita ya kita ga bisa ganti gerbong, harus bergulat gitu. Ya intinya saya mau menghadapi apa yang harus dihadapi gitu lah, kalo kamu Maemunah ngapain?"

"Di tahun yang baru ini sih saya mau realistis aja deh. Abis kalo misalnya saya bilang mau jadi 'manusia baru' belom bisa. Kan kalo jadi manusia baru berarti meninggalkan yang lama yang artinya mampu meninggalkan kekecewaan yang lama tapi kayaknya saya masih stuck nih. Maju kena, mundur kena. Ya udah...saya stagnan aja. Kan gak salah dong kalo  memilih stagnan. Itu juga melatih endurance ya gak sih?"tanya saya lagi.

"Kebiasaan deh kalo ditanya eh nanya balik, si kampret emang haha," kata Djito sambil meneguk botol air mineralnya. "Udah ah yuk, udah waktunya harus naek kereta!" ajak saya sambil mengambil tas.

“Kamu ke Cirebon mau ngapain Mae? Cari jati diri ya, buat anak-anak gadis macam kamu yang mau aja diperbudak kapitalis?” tanya Dhjito sambil duduk di kursi kereta. Tidak terlalu banyak penumpang pada hari itu maklum belum waktu liburan.

“Enak aja! Anak gadis macam apa nih maksudnya? Saya mau nengok nenek beliau lagi sakit. Kamu sendiri kenapa ke Cirebon? Patah hati ya ditolak cewek?”kekeh saya sambil memukul lengannya perlahan. Menurut saya pasti Dhjito ini anak punk cengeng mungkin ke arah emo. Eh tapi itu beda aliran ya. Pokoknya begitulah.

“Widih...saya mau mencari inspirasi sambil nyobain empal gentong mamang-mamang di Cirebon. Pasti enak. Lagian patah hati mah udah satu paket datangnya sama jatuh cinta. Gak usah kaget gitu, cuman masalah waktu itu," kata Dhjito kemudian.

“Tapi makin ke sini saya semakin skeptis sama urusan hati. Kayaknya chemicalnya gak nyampe ke otak saya yang seuprit ini. Sebingung kenapa manusia sekarang tidak bisa lepas dari layar smart phone mereka. Mungkin cinta sama smart phone sama-sama adiktif kali ya,”ujar saya sambil garuk-garuk kepala yang tidak gatal sama sekali.

“Ah ya, ketergantungan smart phone udah mulai macam berhala kali ya buat zaman sekarang. Saya juga berasa gitu dan merasa khawatir berlebihan kalau gak bawa hp, itu udah termasuk sakit jiwa. Pernah suatu kali saya perhatiin kalo beberapa orang bertemu tidak untuk ngobrol namun nunduk sibuk sendiri dengan hp mereka. Mungkin kita sampai di masa fakir sosialisasi dan ketakutan untuk ngobrol santai dengan siapapun. Curigaan aja bawaannya,”ujar Djito dengan raut sebal.

“Hahaha apalagi kalo mau ngobrol ama kamu ya Djit udah tatoan, rambut heboh lagi yaa kan? Ya gitulah ketika pembicaraan dicukupkan dengan sekedar menatap layar tanpa melihat mata, udah tidak perlu lagi membaca raut muka, ekspresi, nada suara dan bahasa tubuh. Akhirnya pembicaraan jadi minimalis, betapa mahalnya harga sebuah percakapan kalau bukan perlu-perlu banget,”timpal saya sambil memandang jendela kereta sesaat.

"Dhjit, kamu pernah gak sih ngerasa gak diterima sekitar kamu?  Berasa kayak alien turun ke bumi lalu kamu mati-matian buat adaptasi tapi tetep gak pas?"tanya Maemunah. Pemandangan di luar jendela semakin gelap dengan semburat cahaya matahari tenggelam.

"Seringlah Mae haha.. ya kamu tau kan dari penampilan saya aja udah ga normal. Tapi inilah saya dengan gaya urakan, yang kata orang amburadul, sok revolusioner atau sok golongan kiri yang anti kemapanan. Tapi saya ga peduli kata orang," kata Dhjito dengan muka mantap, saya tahu dia pasti melewati berbagai hal untuk sampai menjadi dirinya yang sekarang. Kita juga demikian kan? Ditempa oleh waktu.

"Idealisme apa yang membawa kamu pada tahap ini? Maksud saya kamu tau kan perut  gak bakal kenyang dari idealisme?"tanya saya bertubi-tubi. Mencari jawaban di kerutan dahinya. Saya berharap menemukan jawaban yang memuaskan.

"Kamu tau kan yang namanya panggilan hidup. Saya cuman menjawab semua panggilan yang saya percayai karena itulah saya ada. Saya percaya panggilan itu mengalir di jantung , darah , nadi , mengalir di tulang dan saya hirup sebagai nafas. Itu yang menggerakan untuk hidup," ujar Djito sambil memandang saya.

"Kamu pernah putus asa dengan panggilan kamu?"saya bertanya kembali.

"Sering menyerah, sangat sering. Tapi hal yang saya percaya adalah ketika panggilan itu berulang-ulang datang, harus dijawab dan semesta pasti ikut mendukung untuk sampai ke sana. Mestakung, semesta mendukung. Emang panggilan kamu apa Ma'e?"

“Saya mau jadi penari. Menari menurut saya membebaskan. Kamu pernah nggak ngerasain ketika melakukan hal yang kamu suka, lalu berasa trans, seolah eksistensi melebur dengan entah energi apa dan saat itulah kamu ngerasa high. Lalu muncul sebuah aliran kencang dari tulang punggung terus masuk ke otak dan tiba-tiba penglihatan  hanya bidang putih yang bercahaya. Pernah? Nah esensi itu yang saya kejar,”kata saya menggebu-gebu.

“Haha Mae-mae menarik ya, cara kamu menggambarkan rasa. Tapi bisa saya ketahui korelasinya ketika gue lagi dengerin musik yang saya suka. Rasanya seperti tubuh saya ‘kepenuhan’ oleh musik itu sendiri. Saya merasa ‘penuh’ dan utuh. Dan itu nagih banget,” cerita Dhjito sambil tertawa dan mengangguk-angguk.

“Kamu tau Jalaluddin Rumi gak? Seorang penyair sufi yang lahir di Afganistan. Saya inget banget dia pernah berkata begini : Ketika kamu melakukan sesuatu dari jiwa, kamu akan merasakan aliran sungai dari dalam  dirimu, kebahagiaan. Mungkin itu jawabannya. Saya merasa dengan menari, jiwa saya ikut memuliakan Tuhan,”ujar saya sambil mengangguk-angguk. Lalu kami berdua sibuk dengan pemikiran sendiri. Kita juga sering kali sedemikian asyik berdialog dengan diri sendiri. Bukan gila, hanya saja tidak semua hal bisa dibicarakan hanya bisa dirasakan. Dan dengan jeda sesaat itu sudah menjawab. Terkadang hening pun adalah percakapan penuh makna namun tidak dirayakan meriah.

“Lalu apa yang sudah kamu lakukan untuk sampai ke sana, untuk menjadi penari?” tanya Dhjito memecah keheningan.

“Hmm latihan nari. Gimana dengan kamu Dhjit? Sudah selesai dengan diri sendiri?”

“Selesai dengan diri sendiri? Rasanya itu gak mungkin deh Mae. Saya gak akan selesai dengan diri sendiri. Saya masih mencoba segala hal yang saya punya untuk menjadi diri  sendiri dan saya menemukan semakin dicari, saya semakin kehilangan,” kata Djito sambil memandang mata saya. Lalu dia pun berkata lagi “Mimpi saya adalah menjadi aktivis dan sampai sekarang saya sedang menuju ke sana, ah udah ah kita dari tadi serius terus ya ngobrolnya,” gelak Djito menggelegar.

“Haha ya habis kepancing sih gimana dong? Eh Djit kamu percaya gak dengan sebuah kebetulan. Kayak misalnya kenapa kita bisa bertemu dengan seseorang  entah dia menetap lama atau tidak?” tanya saya penasaran.

“Kebetulan ya? Saya gak percaya sama kebetulan. Semuanya sudah ada yang atur, dengan siapa pun saya bertemu, berkenalan pasti ada sebuah konspirasi tingkat tinggi dari semesta untuk bisa saling bertemu. Dan menyebalkan sekali kita manusia tidak punya pengetahuan untuk itu. Kenapa sih nanya-nanya?”tanya Djito kemudian sambi berganti posisi duduk.

“Ya... kadang saya kesal saja dengan sebuah kata kebetulan. Karena rasanya manusia tidak mempunyai kontrol atas apapun yang ada di sekelilingnya kecuali kontrol atas diri sendiri, bagaimana bersikap. Bukankah itu tidak adil sekali?”

“Haha aduh Mae, lagi pula ya untuk apa sih ingin mengontrol ini dan itu. Dulu saya juga selalu marah dengan berbagai hal yang tidak sesuai dengan tempatnya. Hingga suatu waktu saya capek karena terus marah dan mau berdamai saja dengan apapun itu. Lalu menikmati apapun yang saya punya penuh-penuh. Aih anjeeeeng serius amat!” kelak Djito sambil menoyor kepalanya sendiri.

“Djit...udah masuk kota Cirebon Djit, kamu mau temani saya makan empal gentong gak?”

“Siap!  Jadi ini namanya kita berdua ‘kebetulan’ bertemu atau ada konspirasi alam semesta untuk bertemu?”

“Kalo yang ini mungkin rezeki mamang-mamang tukang empal gentong, karena saya laper ngomong terus sama kamu. Yuk ah!”

“Baik Nona, Tuan temani.”

Ini bukan cerita cinta.



Sebuah fiksi mini cerita bersambung saya di Instagram lalu saya putuskan untuk ditaruh juga di blog agar tidak tercecer. Ini sudah sedikit diedit. 


2 comments:

new post

Bergulir

Kehidupan ini bergulir sebagaimana mestinya. Sudah November di tahun 2025 ini. Semoga di tahun ini kita pun kian mampu menghargai diri sendi...