"Udah tahun
baru aja ya? Lemesin aja lemesin."
Kata mas-mas
berambut tidak santai dengan tato di sekujur lengannya, namanya Djito mungkin
panjangan dari Warjito atau Djitodiningrat tapi kayaknya yang terakhir
kebagusan. Kami berkenalan di Stasiun Gambir menunggu kereta terakhir ke
Cirebon. Kata Djito cita-citanya mau jadi anak punk yang kritis dengan issue
hak asasi manusia. Ah sedap! Itu dia suka ikut aksi Kamisan yang mulai dilarang
itu, aksi permintaan pertanggung jawaban atas issue HAM.
"Di tahun
yang baru ini saya mau ngelemesin semua yang tidak santai. Lagian ye, coba
deh baca bukunya Paulo Coelho yang judulnya Aleph. Katanya ya kalo hidup ini
udah kayak naek kereta api, orang-orang yg ada di hidup kita ada di gerbong
yang sama kalau mereka belum berpindah cerita ya kita ga bisa ganti gerbong,
harus bergulat gitu. Ya intinya saya mau menghadapi apa yang harus dihadapi gitu
lah, kalo kamu Maemunah ngapain?"
"Di tahun
yang baru ini sih saya mau realistis aja deh. Abis kalo misalnya saya bilang mau
jadi 'manusia baru' belom bisa. Kan kalo jadi manusia baru berarti
meninggalkan yang lama yang artinya mampu meninggalkan kekecewaan yang lama
tapi kayaknya saya masih stuck nih.
Maju kena, mundur kena. Ya udah...saya stagnan aja. Kan gak salah dong kalo memilih stagnan. Itu juga melatih endurance
ya gak sih?"tanya saya lagi.
"Kebiasaan
deh kalo ditanya eh nanya balik, si kampret emang haha," kata Djito sambil
meneguk botol air mineralnya. "Udah ah yuk, udah waktunya harus naek
kereta!" ajak saya sambil mengambil tas.
“Kamu ke Cirebon
mau ngapain Mae? Cari jati diri ya, buat anak-anak gadis macam kamu yang mau aja
diperbudak kapitalis?” tanya Dhjito sambil duduk di kursi kereta. Tidak terlalu
banyak penumpang pada hari itu maklum belum waktu liburan.
“Enak aja! Anak
gadis macam apa nih maksudnya? Saya mau nengok nenek beliau lagi sakit. Kamu sendiri
kenapa ke Cirebon? Patah hati ya ditolak cewek?”kekeh saya sambil memukul lengannya
perlahan. Menurut saya pasti Dhjito ini anak punk cengeng mungkin ke arah emo.
Eh tapi itu beda aliran ya. Pokoknya begitulah.
“Widih...saya mau
mencari inspirasi sambil nyobain empal gentong mamang-mamang di Cirebon. Pasti
enak. Lagian patah hati mah udah satu paket datangnya sama jatuh cinta. Gak
usah kaget gitu, cuman masalah waktu itu," kata Dhjito kemudian.
“Tapi makin ke
sini saya semakin skeptis sama urusan hati. Kayaknya
chemicalnya gak nyampe ke otak saya yang seuprit ini. Sebingung kenapa manusia
sekarang tidak bisa lepas dari layar smart phone mereka. Mungkin cinta sama
smart phone sama-sama adiktif kali ya,”ujar saya sambil garuk-garuk kepala yang
tidak gatal sama sekali.
“Ah ya,
ketergantungan smart phone udah mulai macam berhala kali ya buat zaman
sekarang. Saya juga berasa gitu dan merasa khawatir berlebihan kalau gak bawa
hp, itu udah termasuk sakit jiwa. Pernah suatu kali saya perhatiin kalo beberapa
orang bertemu tidak untuk ngobrol namun nunduk sibuk sendiri dengan hp mereka.
Mungkin kita sampai di masa fakir sosialisasi dan ketakutan untuk ngobrol
santai dengan siapapun. Curigaan aja bawaannya,”ujar Djito dengan raut sebal.
“Hahaha apalagi
kalo mau ngobrol ama kamu ya Djit udah tatoan, rambut heboh lagi yaa kan? Ya
gitulah ketika pembicaraan dicukupkan dengan sekedar menatap layar tanpa
melihat mata, udah tidak perlu lagi membaca raut muka, ekspresi, nada suara dan
bahasa tubuh. Akhirnya pembicaraan jadi minimalis, betapa mahalnya harga sebuah
percakapan kalau bukan perlu-perlu banget,”timpal saya sambil memandang jendela
kereta sesaat.
"Dhjit, kamu pernah gak sih ngerasa gak diterima sekitar kamu? Berasa kayak alien turun ke bumi lalu kamu mati-matian buat adaptasi tapi tetep gak pas?"tanya Maemunah. Pemandangan di luar jendela semakin gelap dengan semburat cahaya matahari tenggelam.
"Seringlah
Mae haha.. ya kamu tau kan dari penampilan saya aja udah ga normal. Tapi inilah
saya dengan gaya urakan, yang kata orang amburadul, sok revolusioner atau sok
golongan kiri yang anti kemapanan. Tapi saya ga peduli kata orang," kata
Dhjito dengan muka mantap, saya tahu dia pasti melewati berbagai hal untuk
sampai menjadi dirinya yang sekarang. Kita juga demikian kan? Ditempa oleh
waktu.
"Idealisme
apa yang membawa kamu pada tahap ini? Maksud saya kamu tau kan perut gak bakal
kenyang dari idealisme?"tanya saya bertubi-tubi. Mencari jawaban di
kerutan dahinya. Saya berharap menemukan jawaban yang memuaskan.
"Kamu tau kan
yang namanya panggilan hidup. Saya cuman menjawab semua panggilan yang saya percayai karena itulah saya ada. Saya percaya panggilan itu mengalir di jantung , darah , nadi , mengalir di tulang dan saya hirup sebagai nafas. Itu
yang menggerakan untuk hidup," ujar Djito sambil memandang saya.
"Kamu pernah
putus asa dengan panggilan kamu?"saya bertanya kembali.
"Sering
menyerah, sangat sering. Tapi hal yang saya percaya adalah ketika panggilan itu
berulang-ulang datang, harus dijawab dan semesta pasti ikut mendukung untuk
sampai ke sana. Mestakung, semesta mendukung. Emang panggilan kamu apa Ma'e?"
“Saya mau jadi
penari. Menari menurut saya membebaskan. Kamu pernah nggak ngerasain ketika
melakukan hal yang kamu suka, lalu berasa trans, seolah eksistensi melebur
dengan entah energi apa dan saat itulah kamu ngerasa high. Lalu muncul sebuah
aliran kencang dari tulang punggung terus masuk ke otak dan tiba-tiba
penglihatan hanya bidang putih yang bercahaya. Pernah? Nah esensi itu yang
saya kejar,”kata saya menggebu-gebu.
“Haha Mae-mae
menarik ya, cara kamu menggambarkan rasa. Tapi bisa saya ketahui korelasinya
ketika gue lagi dengerin musik yang saya suka. Rasanya seperti tubuh saya ‘kepenuhan’ oleh musik itu sendiri. Saya merasa ‘penuh’ dan utuh. Dan itu nagih
banget,” cerita Dhjito sambil tertawa dan mengangguk-angguk.
“Kamu tau
Jalaluddin Rumi gak? Seorang penyair sufi yang lahir di Afganistan. Saya inget
banget dia pernah berkata begini : Ketika kamu melakukan sesuatu dari jiwa,
kamu akan merasakan aliran sungai dari dalam dirimu, kebahagiaan. Mungkin
itu jawabannya. Saya merasa dengan menari, jiwa saya ikut memuliakan Tuhan,”ujar
saya sambil mengangguk-angguk. Lalu kami berdua sibuk dengan pemikiran sendiri.
Kita juga sering kali sedemikian asyik berdialog dengan diri sendiri. Bukan
gila, hanya saja tidak semua hal bisa dibicarakan hanya bisa dirasakan. Dan
dengan jeda sesaat itu sudah menjawab. Terkadang hening pun adalah percakapan
penuh makna namun tidak dirayakan meriah.
“Lalu apa yang
sudah kamu lakukan untuk sampai ke sana, untuk menjadi penari?” tanya Dhjito
memecah keheningan.
“Hmm latihan nari. Gimana
dengan kamu Dhjit? Sudah selesai dengan diri sendiri?”
“Selesai dengan
diri sendiri? Rasanya itu gak mungkin deh Mae. Saya gak akan selesai dengan diri
sendiri. Saya masih mencoba segala hal yang saya punya untuk menjadi diri sendiri dan saya menemukan semakin dicari, saya semakin kehilangan,” kata Djito
sambil memandang mata saya. Lalu dia pun berkata lagi “Mimpi saya adalah menjadi aktivis dan sampai sekarang saya sedang menuju ke sana, ah udah ah kita
dari tadi serius terus ya ngobrolnya,” gelak Djito menggelegar.
“Haha ya habis
kepancing sih gimana dong? Eh Djit kamu percaya gak dengan sebuah kebetulan.
Kayak misalnya kenapa kita bisa bertemu dengan seseorang entah dia
menetap lama atau tidak?” tanya saya penasaran.
“Kebetulan ya?
Saya gak percaya sama kebetulan. Semuanya sudah ada yang atur, dengan siapa pun
saya bertemu, berkenalan pasti ada sebuah konspirasi tingkat tinggi dari semesta
untuk bisa saling bertemu. Dan menyebalkan sekali kita manusia tidak punya
pengetahuan untuk itu. Kenapa sih nanya-nanya?”tanya Djito kemudian sambi
berganti posisi duduk.
“Ya... kadang
saya kesal saja dengan sebuah kata kebetulan. Karena rasanya manusia tidak
mempunyai kontrol atas apapun yang ada di sekelilingnya kecuali kontrol atas
diri sendiri, bagaimana bersikap. Bukankah itu tidak adil sekali?”
“Haha aduh Mae,
lagi pula ya untuk apa sih ingin mengontrol ini dan itu. Dulu saya juga selalu
marah dengan berbagai hal yang tidak sesuai dengan tempatnya. Hingga suatu
waktu saya capek karena terus marah dan mau berdamai saja dengan apapun itu.
Lalu menikmati apapun yang saya punya penuh-penuh. Aih anjeeeeng serius amat!” kelak Djito sambil menoyor kepalanya sendiri.
“Djit...udah
masuk kota Cirebon Djit, kamu mau temani saya makan empal gentong gak?”
“Siap!
Jadi ini namanya kita berdua ‘kebetulan’ bertemu atau ada konspirasi alam
semesta untuk bertemu?”
“Kalo yang ini
mungkin rezeki mamang-mamang tukang empal gentong, karena saya laper ngomong
terus sama kamu. Yuk ah!”
“Baik Nona, Tuan
temani.”
Ini bukan cerita
cinta.
Sebuah fiksi mini cerita bersambung saya di Instagram lalu saya putuskan untuk ditaruh juga di blog agar tidak tercecer. Ini sudah sedikit diedit.
Metttaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa..keep writing!!! :):)
ReplyDeleteHaii fernindaa :) iyaaa thank you :))
Delete