Ciamis, Desember 2017 |
Aku harus cermat menghitung kalender kapan aku datang bulan bukan karena takut hamil atau menghitung masa subur. Namun aku menginginkan bisa mendapatkan sebuah antisipasi yang nyata karena hari-hari menjelang datang bulan adalah hari-hari emo sedunia. Namun aku akhir-akhir ini merasa bersedih yang tidak aku ketahui mengapa dan asal usulnya dari mana. Aku hanya merasa bersedih tanpa alasan dan salah satunya karena ada perasaan janggal seperti merasa tidak berada di tempat yang seharusnya di mana aku berada. Rasanya seperti tersesat di sebuah perjalanan. Seperti ingin bersembunyi sekaligus ingin ditemukan. Tidakkah aku sedemikian egois untuk ingin ditemukan padahal sesungguhya aku sedang bersembunyi?
Rasanya kamu tidak akan mengerti apa yang kumaksud karena
aku sendiri pun tidak tahu bagaimana menjabarkannya dengan jelas. Seperti
terpotong-potong antara badan, pikiran dan hati yang entah berada di mana lalu
aku rasanya mengambang di ruang hampa udara. Ternyata bersedih itu tidak untuk
digembor-gemborkan atau dikatakan karena manusia terlalu awkward dan jengah
untuk mengetahui manusia lainnya sedang bersedih dengan perasaannya dan tidak
tahu mengapa demikian. Hanya terjadi demikian saja tanpa kecuali, tanpa
permisalan, tanpa andai.
Kurasa adalah sebuah momen di mana aku ingin beranjak keluar
dari lingkaran namun beberapa hal masih ditarik-tarik dan tidak bisa lepas-lepas.
Atau seperti makan permen karet mint yang sudah hilang manisnya, sudah
seharusnya kamu lepeh tapi kok sayang eh tapi aku ingin minum teh. Itulah
perasaannya. Random kan? Sudahlah pasti kamu tidak mengerti, aku pun tidak
berharap ada yang mengerti. Bagaimana mungkin aku yang memiliki perasaan pun
tidak mengerti, bagaimana mungkin kamu bisa mengerti? (Aku tahu kalimat ini
tidak efektif tapi aku butuh filter yang luar biasa ampuh, isi otakku ampas
semua.)
Seharian ini aku berpikir rasanya dari pada jadi kaya aku
mau jadi bahagia saja. Aku tahu sih kalau seseorang pasti akan berkata kalau
kebahagiaannya adalah menjadi kaya. Ih kok dia curang ya. Emang bisa ya
kebahagiaan dicampur sama hal yang material? Material bisa menjadi penyebab
bahagia, tapi bukan bahagia itu sendiri. Bukan getaran itu sendiri, karena
perasaan bahagia sepertinya ada campuran kimiawi tertentu di otak. Apakah perasaan bahagia itu bisa diukur dengan
satuan apa gitu? Seperti misalnya setelah ditimbang-timbang bahagianya seberat satu
kilogram jadi bisa dijual kembali sebesar sekian-sekian rupiah. Rasanya tidak.
Pasti pernah kita mendengar sebuah perkataan bahwa
kebahagiaan sendiri dari bersyukur atas apa yang dimiliki sehingga tidak
diperbudak keinginan. Bahwa semua yang kita miliki berasal dari keinginan kita
yang terdahulu, yang sudah didoakan siang malam. Namun, seringnya pada suatu
masa kita jadi menyesal akan keinginan itu karena ternyata keinginan itu tidak
sedemikian okenya. Hingga rasanya aku harus berhati-hati dengan keinginan
sendiri. Kamu bisa tiba-tiba berubah pikiran dan menginginkan yang lain. Aku
terkadang jadi takut untuk menginginkan sesuatu karena pada akhirnya aku hanya
akan menginginkan hal yang lain dan tidak bisa ditahan-tahan terus saja begitu
muter-muter hingga akhirnya ladang koko cruch kejatuhan meteor coklat.
Kemarin aku sempat membaca buku essai isi renungan Haruki
Murakami saat dia berlari, di situ dia berkata bahka dia tidak bisa melakukan
dua hal secara bersamaan karena yang satu pasti akan menjadi lemah dan tidak
maksimal; dia tidak suka itu. Lagi pula dia semenjak dahulu tidak bisa
mengerjakan sesuatu yang tidak dia sukai. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk
melakukan satu hal yang dia sukai benar-benar dan membuat itu menjadi
prioritas. Aku jadi berpikir apakah menjadi amfibi yang hidup di dua alam itu
sebuah anugerah ataukah terdesak? Anugerah karena dia bisa melakukan keduanya
atau dia semata-mata melakukannya untuk survive? Apakah hidup berdasarkan
pilihannya lebih baik dari pada hidup yang hanya dilakukan untuk tetap survive?
Jadi apa arti hidup itu sendiri kalau tidak ada pilihan dan hanya memilih hidup
semata-mata untuk kehidupan. Lalu ada satu paham Stoic yang berkata bahwa
apabila tidak punya alasan lain yang bisa dibanggakan dan diperjuangkan untuk
hidup, lebih baik mati saja. Gitu masa katanya. Tapi aku juga takut mati. Heu.
Seharian ini aku berencana gila-gilaan untuk kabur dan
melarikan diri ke Tibet dan berdiam di sana. Aku merasa bosan bosan bosan.
Seperti berenang di danau yang terlalu tenang, dalam dan dingin. Rasanya aku
terhisap di dalamnya. Tapi kembali lagi, ini hanyalah sebuah isi otak yang
sedemikian sampahnya dan berkerak terlalu lama. Hingga aku pun tidak mengerti,
aku hanya meracau. Kalau begitu saya permisi sebentar. Saya mau cari tahu: Mengapa ada orang yang
memiliki hidup begitu fungsional sedangkan yang lain tidak? Seperti segalanya
harus memiliki tujuan padahal nyatanya segalanya dimulai dari kekosongan? Mau
di mulai dari mana pembicaraan kita sekarang?
Kenapa Tibet? Kenapa ga Tahiti? Hawaii? Atau Haiti?
ReplyDelete