Semenjak hobi membaca bergeser jadi hobi membeli buku tanpa
pernah tahu kapan mengumpulkan niat untuk dapat mulai membaca lagi, rak
buku pun menjadi super penuh dengan banyak buku yang dibeli impulsive saja. Aku
jadi tidak cermat membeli karena sekedar lapar mata. Sebenarnya aku juga
tidak mau jadi pengecut dengan menyalahkan internet atau sosial media sebagai
musabab utama dari menurunnya minat baca. Mungkin memang otakku kadang sudah
terlalu lelah untuk membaca buku dan hanya ingin mencari tahu yang
sedikit-sedikit saja dengan instan atau leha-leha nonton series drama korea.
Itu jauh lebih menyenangkan dan mudah.
Lepas dari berbagai hiburan instan di sosial media yang tiap
hari adaaaa aja yang viral dan hobi baru liatin foto anak anjing di Instagram yang bulunya
‘diwut-diwut’, akhirnya aku bisa bosan juga. Di tengah kegemaran menonton series drama
korea yang menurutku sangat menolong jiwa-jiwa lelah setelah hari kerja dan
bertemu banyak orang, bisa juga akhirnya memencet tombol pause dan mencoba log
in lagi di dunia nyata. Menurutku untuk mencoba log in ke hidup yang nyata
sering kali kita gagal paham karena otak keburu ke mana-mana. Panik dengan WA
kantor, panik liat WA klien, cek email, twitter, IG dan sebagainya. Hih. Lalu
aku juga baru sadar kalau banyak sekali orang yang mulai bosan dengan sosial
media dan mencoba untuk detox. Enak juga sebenarnya bisa detox sosial media dan
tidak terpapar, lalu pindah manual. Namun kenyataannya, ada banyak tanggung
jawab yang perlu dilakukan berhubungan dengan gadget dan sosial media.
Untuk aku pribadi, mengalihkan diri dari gadget adalah
pilihan yang rumit karena tidak mungkin bisa lepas gadget dengan tidak
menggunakannya sama sekali. Beralih dari pengguna gadget yang betul-betul
nempel kayak perangko ke pengguna yang fungsional saja memang butuh sebuah
kerelaan untuk mengurangi kepo yang berlebihan. Perlu ada jeda untuk segala
sesuatu memang.
Kemarin ini aku membaca sebuah buku super imut dan tipis, namun berpengaruh besar pada nafsu membacaku yang sedang lemah, letih, lesu dan berbeban berat. Buku
ini berjudul Rumah Kertas karya Carlos Maria Dominguez, terbitan Marjin Kiri. Bukunya
hanya 76 halaman saja saudara-saudara, namun di halaman pertama kau akan
disuguhkan pada sebuah tragedi yang konyol namun juga mengenaskan. Bagaimana
penulisan buku ini mengalir begitu saja dengan beberapa kejadian yang
menggelitik perut, lalu menampilkan sedikit fakta dan kebiasaan penikmat buku.
Kita akan berakhir dengan mengangguk-angguk dan berkata: “Ih, bener banget!”
Mengawali halaman pertama kamu akan penasaran dan mengira
buku ini berisi cerita detektif, namun ternyata lebih dari itu. Kamu akan
disambut dengan awalan cerita ganjil, seorang professor sastra bernama Bluma
yang tewas tertabrak mobil saat sedang berjalan sambil membaca buku puisi Emily
Dickson. Lalu ada kalimat yang menarik, begini bunyinya, ‘Buku mengubah takdir
orang-orang dan Bluma termasuk korban buku-buku.’ Ada lagi celotehan tokoh
utama yang bercerita bahwa neneknya sering berkata, “Sudah, buku itu berbahaya
tau.” Lalu kehebohan orang sekitar Bluma karena kematiannya yang aneh bin ajaib
hingga menimbulkan pertanyaan dan debatan, salah satunya dengan ungkapan lucu
menurutku, “Bluma mati karena mobil, bukan karena buku.”
Kemudian di samping
berita kematian Bluma, kau akan diperkenalkan dengan seorang pencinta buku
nyentrik yang rumahnya penuh dengan buku-buku. Sampai ia memutuskan untuk tidak
mandi air panas lagi karena ada koleksi bukunya ia taruh di kamar mandi dan ia
khawatir uap-uap air panas akan membuat bukunya berjamur (hehe). Ia pun pernah
menjual mobilnya agar garasinya kosong dan bisa menaruh banyak-banyak koleksi
bukunya!
Sore pukul empat dan baru saja beres-beres rumah karena baru
saja renovasi dan pindahan. Tetap saja banyak yang perlu disapu, dilap dan dibereskan.
Kurasa aku adalah seseorang yang membereskan rumah dengan pelan-pelan dan tidak
tergesa-gesa. Aku tidak menyukai ketergesaan yang mendadak sesak. Walaupun tiap
hari aku tidak bisa juga memaksakan untuk melakukannya lebih lambat. Aku selalu
terburu-buru dan panik. Kenapa ya?
Dengan adanya kebiasaan harus menyelesaikan segalanya dengan
rampung dan tepat pada waktunya, akhirnya itu pun membuat kebiasaan membaca dan
berjalan kaki menjadi semacam lomba lari marathon. Sudah lama sekali aku tidak
membaca buku yang benar-benar membaca dengan tekun dan memperhatikan dengan
details sana sini.
Aku pribadi merasa buku ini seperti diajak berkenalan dengan
pencinta buku ekstrim di mana beberapa kebiasaan membaca buku bisa digambarkan
dengan cerkas dan hangat. Aku sesekali tergelitik dengan mengingat bagaimana
upaya membaca itu sendiri dari menandai buku, membuat catatan, membaca dua
sampai tiga buku sekaligus karena harus mencari refrensi, mencari buku-buku jadul
yang bisa saja harganya amit-amit.
Sesungguhnya ini adalah kali pertamaku mengenal dan membaca
buku Carlos Maria Dominguez seorang penulis asal Argentina. Beliau mampu
mendeskipsikan suasana dengan detail yang pas, khas dan lugas. Bahkan dalam
buku Rumah Kertas ini dia menuliskan ceritanya dengan sangat singkat. Hingga
saat selesai membacanya aku ingin membaca lagi dan membuat notes buku-buku apa
saja yang menarik disebutkan dalam cerita. Buku ini seperti mempunyai kenalan
seseorang yang massive membaca buku dan kamu duduk berdua minum teh hangat berbagi
pengalaman membaca buku. Buku Rumah
Kertas ini amat nikmat dibaca, mungkin kamu hanya butuh satu atau dua gelas teh buah hangat saja untuk dapat habis menyelesaikan buku ini.
Selamat membaca!