| Bandung, 2016 |
Dari kejauhan terdengar panggung lenong dengan musik Betawinya yang khas. Terdengar lagu-lagu ceria berirama cepat dengan cengkokannya. Terbayang tarian yang lincah dan centil bergoyang ke sana ke mari. Sebuah kebiasaan di RT saya untuk menyambut sebuah perayaan hari besar. Sedangkan saya? Asyik tiduran di hari Jumat malam, berbaring dengan lampu nyala remang-remang. Ogah melakukan aktifitas yang lebih produktif atau kegiatan apalah yang kiranya bermanfaat di hari depan.
Memilih untuk bermalas-malasan memeluk guling, membaca sambil tiduran dan sesekali menulis jurnal harian tentu bisa ditebak dengan seksama kalau minus mata saya sudah kian bertambah entah. Mendengarkan lagu kesukaan berkali-kali seperti melakukan abuse pada tombol play. Akhir-akhir ini saya sedang mendengarkan lagunya Cigarette After Sex yang judulnya Nothing’s Gonna Hurt You Baby. Cobalah dengarkan di suatu kesempatan. Lagunya berwarna abu-abu, seolah kamu diajak berdansa tanpa alas kaki di ubin yang dingin. Tapi kamu rileks dan menikmati di setiap langkahnya.
Sepertinya sudah menjadi kebiasaan yang menuai ritme tubuh saya, bahwa saya akan ketiduran pukul sembilan malam. Rasanya tubuh ini dikhianati oleh kantuk padahal ada banyak hal yang mau saya kerjakan. Seolah setiap harinya saya membutuhkan waktu tidur lebih banyak dari hari sebelumnya. Entah mengantuk karena obat pilek batuk atau memang sekedar capek saja.
Sedang berpikir bahwa saya bukan seseorang yang mahir dalam menyikapi tiba-tiba. Semua yang sifatnya tiba-tiba saya sungguh tergagap-gagap. Ulangan tiba-tiba, tiba-tiba mens, tiba-tiba kebelet, tiba-tiba lembur, tiba-tiba dimarahi, tiba-tiba jatuh cinta, tiba-tiba patah hati, tiba-tiba mogok, tiba-tiba sakit, tiba-tiba meninggal, tiba-tiba pergi. Dan tak kembali.
Sesungguhnya bagaimana cara menyikapinya?
Banyak hal dalam hidup tidak bisa kita kontrol meski rasanya sudah pas digenggaman tangan. Rasanya satu jalan ini sudah pasti namun ternyata berbelok di sudut jalan dan akhirnya kita harus menambah rencana baru atau memangkas rencana lama dan menggantinya. Lalu semua rencana dan harapan berubah menjadi sebuah kata waktu lampau.
Sampailah pada sebuah masa ketika saya merasa mual, seluruh tubuh saya linu, pusing, persendian lutut kiri saya sakit. Sudah persis oma-oma. Kata dokter mungkin saya hanya kecapekkan dan butuh olah raga, apabila meriang saya harus kembali lagi ke dokter. Hari itu bertepatan dengan meninggalnya seorang anak tetangga teman Abhimanyu, Apin namanya. Apin cukup sering main ke rumah bersama Abhimanyu dan berisik selayaknya anak kelas 2 SD. Penyebab kematiannya karena kurang oksigen dan sakit panas tinggi. Rasanya saya kebingungan dan sedih akan konsep kematian itu sendiri. Seharian itu saya mual dan pusing. Apakah saya takut mati? Saya pun belum memutuskannya. Rasanya tidak. Saya rasa saya ketakutan kehilangan orang-orang yang saya cintai dan tidak tahu bagaimana menyikapi tiba-tiba itu.
Seminggu sebelum Apin meninggal saya menjenguk Om saya yang sakit kanker stadium akhir. Sungguh sebuah waktu yang membingungkan karena saya tidak tahu harus menghibur atau bersedih. Mungkin hanya dengan kehadiran akhirnya dapat memberi dukungan. Entah dengan berdoa dan saling menguatkan. Lalu saat pamit pulang, saya menghampirinya, memeluk dan menciumnya lalu Om berbisik sambil sedikit terisak, “Aku pamit dulu ya, pergi duluan. Doakan dan jangan lupakan aku ya.” Saya pun bersedih. Mengapa kesedihan ini membingungkan rasanya saya seperti berenang di air es yang dingin menggigit ke tulang punggung.
Saya seseorang yang tidak berpengalaman, kembali meraba-raba untuk kesekian kalinya. Sebuah perasaan yang nyata dan tidak bisa ditawar dan pendekatannya tidak bisa dipikir otak. Entah dengan logika, spiritual, mistis tetap saja kematian orang yang dikasihi memiliki selaputnya sendiri yang tidak terbaca. Lalu seminggu setelah menjenguk Om, beliau pun berpulang kembali ke Bapa.
Sesungguhnya saya tidak ingin menuliskan akan topik kematian ini karena rasanya seperti membicarakan suatu hal yang tidak saya tahu. Sesuatu yang besar dan menurut saya misteri. Ketika menuliskannya seperti kembali mengingat, mendalami luka, menelusuri benang kusut, membuat saya tidak enak dan merasa terganggu. Kembali membuka dan melihat ke dalam, entah yang akan ditemukan adalah suatu pencerahan atau kekuatan itu sendiri. Namun rasanya harus dituliskan dan dibagikan karena itulah gunanya menulis, menyembuhkan dan ‘mengganggu’ orang sekitar dengan banyak pertanyaan.
Kematian adalah sesuatu yang pasti dan itu adalah akhir cerita dari kita semua. Kita dipersiapkan untuk sampai pada hari tersebut. Entah kematian kita sendiri ataukah orang yang kita kasihi. Saya jadi tersadar bahwa umur kita siapa yang tahu bahkan anak kecil pun bisa meninggal entah kapan. Maut bisa menjemput kita kapan saja lalu kita kembali menjadi jiwa-jiwa. Betapa saat kita menjenguk orang sakit dan melayat orang meninggal sebenarnya kita menjenguk dan melayat diri kita sendiri di masa yang akan datang.
Semoga ketika saatnya tiba kita bisa menjawab: Ya, saya siap. Semoga ketika ditanya apa yang sudah kamu lakukan? Kita bisa menjawab: Sudah saya lakukan semua. Semoga tidak ada cerita barang satu bab pun yang kamu sia-siakan. Semoga semua doa-doa dan meditasi panjangmu sampai pada pemahaman kesempurnaan jiwamu. Semoga dalam segala diam panjang dan bacaan panjang di ayat Kitab Sucimu sudah kamu lakukan bukan hanya hafalan. Akan tiba saatnya keterasinganmu dengan dunia menjadi menyenangkan. Memilih tidak kembali karena tempat yang Dia sediakan jauh lebih indah. Ketika tetap hidup adalah kekuatan dan kematian adalah kebahagiaan bersatu kembali dengan Allah. Lalu kamu memilih pergi seperti hujan. Meninggalkan rasa dingin senyap lalu hilang. Kau dikenang dengan sejuknya dan wanginya yang segar karena hujanmu luruh di kaki gunung. Lalu tidak ada yang meratapi kepergianmu dengan hati yang susah. Karena sekali lagi, kau adalah hujan. Di kaki gunung.
:"(
ReplyDelete*puk puk Kak Ais*
DeleteThis is so beautiful! Love love love!!!
ReplyDeleteNanaaa! Thanks for reading and dropping comment. Kan terinspirasi dari semangat nulis kamu Nana :))
DeleteAmin Met! Dua bulan lalu anak salah satu kenalanku meninggal, umur 18 tahun. Bener-bener waktu kita ga ada yang tau sampai kapan :)
ReplyDeleteHai fer :) iya bener kita ga pernah tahu ya, akhirnya satu yang bisa kita pilih adalah hidup yang benar-benar hidup.
Deletekakekku (89 th) udah divonis dengan berbagai macam komplikasi sejak bbrp tahun yang lalu dan sebulan terakhir kondisinya drop parah. cucunya semua mulai dateng (termasuk aku yang pulang sekalian natalan), sanak saudara mampir untuk ketemu, dan kita udah undang pastor utk sakramen perminyakan. salah satu keponakannya, 30an tahun ikut jenguk juga sebelum tahun baru kemarin. dia sehat wal'afiat dan sempet ketemu aku juga. tapi 3 hari yang lalu tiba2 dikabarkan meninggal mendadak gara-gara pembuluh darah di otaknya pecah.
ReplyDeletekita semua siap untuk ditinggal kakekku, eh, ternyata Yang Berkehendak maunya lain. it's scary how life can be that unpredictable, that fragile ya met.
-nissa
hai nissa turut berduka cita ya :( kadang waktu Dia selalu beda dengan waktu manusia ya niss... semacam reminder buat kita kalau hidup tuh berharga.
Delete