pic: tumblr |
Kamu nampak jauh terselubung dalam jalan pikiranmu
sendiri.
Kamu tersesat dalam otakmu dan berlari memutar dalam labirinnya.
Aku
tidak mengenali kamu lagi.
Kamu berusaha menjelaskan dan menguraikan alasanmu,
seraya tanganmu memainkan jemarimu
pertanda kamu kebingungan dan kehabisan kata-kata yang paling kamu butuhkan.
pertanda kamu kebingungan dan kehabisan kata-kata yang paling kamu butuhkan.
Hingga akhirnya kamu pun terpaku dalam satu
titik dalam satuan waktu yang panjang.
Andai kini peluk dapat menyatukan hati kita tentu
sudah kulakukan sejak tadi.
Andai peluk sesuai dengan kenyataannya,
meninggalkan setiap centimeter fisik menjadi satu rengkuhan, menghangatkan dan
meninggalkan jeda,
tentu kita tidak perlu sejauh ini.
tentu kita tidak perlu sejauh ini.
‘Mencari apa?’
‘Mencari sesuatu yang hilang dan kini serasa
kosong.’
Kamu gelisah di tempat dudukmu hingga lipatan bajumu
agak kusut.
Aku pun mulai kedinginan serasa ditinggal panas tubuh.
Berdua kita
terdiam dan hanya terdengar tarikan nafas kita yang semakin cepat
seolah saling berebut oksigen dalam ruangan.
seolah saling berebut oksigen dalam ruangan.
Ketegangan yang melelahkan, gelombang yang tidak
serasi membuat kita ingin saling berjauhan.
Jarak yang menganga kita tinggalkan
begitu saja.
Kita serasa berbeda waktu, entah kamu yang terlalu cepat
atau hanya aku yang berputar dalam porosku sendiri.
Kita serasa berbeda waktu, entah kamu yang terlalu cepat
atau hanya aku yang berputar dalam porosku sendiri.
Lalu kamu pun bersuara:
‘Lepaskan aku,..’
Entah dari mana asalnya emosiku berontak,
ketenanganku pecah dan aku pun merangsak masuk ke zonamu. Aku berusaha sekuat
tenaga mengambil apa yang aku punya, apa yang aku miliki dari dirimu.
Namun
kamu terdiam tak bergeming.
Aku mulai memukulmu dan berteriak meronta.
Air mataku mulai meleleh dan panas membasahi pipiku.
Proses pelepasan jiwa yang berdiam terlalu lama.
Sandingan hati yang berlepasan
bagai ombak luluh lantak menembus dinding dan penjara,
bergerak kembali padamu.
bergerak kembali padamu.
Kamu kokoh dan tegak di tempatmu, memandangku dengan
iba.
Aku menangis hingga gemetar dan kamu pun terisak pedih.
Kamu dan aku
terluka.
Tembok kita runtuh sudah, belahan jiwa kembali ke masing-masing.
Kamu dan aku terlepas,
meninggalkan perasaan pada pelabuhan yang berbeda.
meninggalkan perasaan pada pelabuhan yang berbeda.
Metta
Kaohsiung, Februari 2011
No comments:
Post a Comment