9.7.16

Dark Musk



pic: Aga, analog nikon fm 10, 35mm


Apabila untuk menjadi bahagia maka diperlukan memiliki ini dan itu yang sifatnya atrifisial mungkin bisa ya dan tidak. Ya karena ternyata bahagia bisa dibeli dengan uang dan dengan penuhnya tabungan lalu bisa membeli liburan. Meski pada akhirnya tidak sepenuhnya liburan karena badan ada di tempat liburan semahal apapun namun pikiran tidak pernah libur barang detik pun. Atau memang manusia sedemikian sulitnya untuk bisa hidup sini dan kini. Menghargai waktu yang sedang dihadapi saat ini tanpa terpanggil ke masa lalu atau masa depan. Lalu bisa menjadi tidak  artifisal karena bahagia sesederhana itu dengan catatan: bersyukur. Kini pertanyaannya apakah kita semua siap untuk bersyukur dan menyadari bahwa kita sebenarnya memiliki banyak?

Mengingat Pramoedya Ananta Toer pernah berkata “Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya.” Lalu serta merta saya tidak bisa menahan diri untuk tidak menggangguk-angguk setuju. Padahal memang hidup sedemikan sederhananya dengan menjalani apa yang harus dihadapi dan tidak lari. Seberapa menakutkan, seberapa membosankan, seberapa menyakitkan, seberapa menderita  dan seberapa menyedihkannya apapun itu. Tidak ada jalan pintas yang bisa menyasati kehidupan, dia sudah hidup lebih lama dari kita. Hadapilah, menghidupi hidup dengan terus hidup.

Sempat berpikir bahwa dalam setiap musim di kehidupan manusia sebenarnya kita tetaplah orang yang sama. Di tubuh yang tua renta sekalipun kita tetap jiwa yang sama dengan pergulatan dan pemikiran yang bisa jadi tidak berubah. Cara pandang bisa berubah namun pendekatan seseorang akan satu hal tetaplah dengan cara masing-masing sesuai karakter. Saya menyadari ini saat melihat kembali bahwa saya tetaplah seorang gadis remaja yang sama saat saya di usia 14 tahun, yang memotong habis rambutnya hingga pendek sekali karena tidak puas dengan raportnya dan menjadi semalu itu karena bukan barisan pintar dengan nilai Matematika yang terbakar merah. Ketika pintar dan cerdas artinya adalah memiliki otak eksak yang sempurna. Itu jelas bukan saya. Saya juga tetap adalah gadis kuliah itu yang sangat sering bangun pagi dan jogging sendirian di taman karena saya suka mendengarkan tarikan nafas sendiri yang terengah-engah, keringat yang membanjiri t-shirt, pikiran liar yang harus dituntaskan, memperhatikan oma-opa latihan Tai Qi, bermain dengan anjing di taman dan lalu menikmati sarapan sendiri. Saya juga tetap menjadi gadis kutu buku itu yang duduk lama-lama di sudut perpustakaan kampus lantai tujuh , menekuni lembar demi lembar dan mencatat journal. Saya tetap adalah gadis yang sama. Tidak ada yang berbeda dari jiwa kita, kita hanya mengalir. Kita hanya berubah sedikit lebih tua, sedikit bijak dan berpengalaman. Itu saja.

Mungkin seperti perpaduan antara teori Democritus yang menyatakan alam ini tidak berubah karena tersusun dari bahan dasar yang sama, namun di lain pihak juga ada benarnya teori Heraclitus yang menyatakan semua ini ‘mengalir’ sesuai dengan siklusnya. Kita tetap adalah diri kita, inti jiwa kita tetap namun mengalir. Teori yang tumpang tindih namun menjelaskan pola, bahwa hidup kita terdiri dari pola yang sudah diatur sedemikian rupa hingga tidak ada yang akan bertabrakan dan hancur. Hanya bersinggungan dan saling mengisi.


pic: Aga, analog Nikon 10 fm, 35mm

Sedemikian rumitnya menjabarkan pola dan musim dalam hidup kita, semi dan gugurnya yang ada masanya, ada waktunya. Betapa semesta ini sudah dijaga dan diatur agar setiap garis sesuai pada letak koordinatnya. Hingga bisa saja saat koordinat kita sudah tepat dengan seseorang maka di situlah terjadi pertemuan. Itu yang saya yakini. Dari berjuta-juta orang di dunia ini untuk bertemu dengan seseorang pastilah bukan sebuah kebetulan namun sudah digariskan. Bedanya apakah hanya selewat saja ataukah akan menetap dan kekal. Dan kita manusia harus mampu menerima ini selapang-lapangnya karena jangan-jangan hati kita pun bisa diatur kadar perasaannya, layaknya diatur oleh hal lain di luar diri yang sifatnya elementer seperti rintik hujan, pelangi, jingga senja, derai ombak dan semilir angin. Dan semoga saja perasaan kita bukan hal yang puitis semata namun nyata.

Memperhatikan diri saya yang ternyata seegois itu karena merasa kesendirian sungguh menyenangkan. Seolah begitu terisi dengan kekosongan, dengan udara hampa yang ringan, lalu akan ada bagian dari hati yang penuh sendiri. Ada yang pernah berkata bahwa kesendirian dan kesunyian adalah bentuk apresiasi dari mencinta itu sendiri. Kau tidak akan mengerti arti kehadiran apabila tidak mengalami kesunyian dan kesendirian. Kau tidak akan mengerti arti menemukan apabila tidak mengalami kehilangan panjang. Menikmati setiap detik yang tumpah dan tidak menolak, hanya menerima. Menarik diri dan mencukupkan diri dengan pertemuan pribadi yang tidak semua orang berani melakukannya. Perjumpaan dengan diri sendiri dan berjalan ke kedalaman. Akan tiba waktunya ketika permukaan, cangkang manusia menjadi sekedar kulit pelapis daging dan tulang lalu akhirnya kedalaman jiwa-jiwa yang begitu dalam dan gelap itulah yang akan kamu cari. Semua orang ingin ditemukan di sana bukan?

Lalu kemudian mengeja makna cinta yang tidak dimengerti namun ditampilkan wajah cinta yang sedemikian manis gula-gula kapas yang bisa kita jumpai di etalase toko. Mungkin memang cinta memiliki banyak manifestasi dan kedalamannya adalah sebuah lembaran yang putih baru. Seperti cinta seorang anak yang tidak bisa pulang di hari Lebaran dan menuliskan pesan pada Ibunya yang single parent: Mama sehat-sehat ya, aku sayang Mama, maaf tidak bisa sering pulang. Lalu hati siapa yang tidak serta merta menjadi haru dan menjadi sadar bahwa energi cinta bisa sedahsyat itu untuk menggulirkan kehidupan?  Kamu hanya perlu merasa dan membuka indra lebar-lebar. Jangan terkecoh olehnya.

Apabila ide cinta itu sendiri sedemikian variatif, apakah ada ide cinta yang kekal dan abadi? Yang sama bentuk, terjabar, terperinci, sesuai ukuran, terdefinisi dan tidak berubah-ubah? Mungkin konsep ini sesungguhnya sudah ditemukan dasarnya oleh Plato. Bahwa sesuatu yang nyata itu terdefinisi menjadi dua yakni dunia indra yang bisa kita rasakan melalui kelima indra kita. Hingga serta merta menjadi berubah bentuk dan tidak ada yang permanen. Karena sekali lagi itu adalah kinerja indra manusia yang bekerja terbatas. Dan ada pula yang dinamakan dengan dunia ide, sebuah pengetahuan sejati dengan menggunakan akal kita bukan dari indra dan sifatnya kekal. Mungkin cinta pun demikian, kita memahaminya dari dua dunia, dunia indra dan dunia ide. Hingga apa yang kita lihat selama ini adalah bentuk cinta di dunia indra yang berubah-ubah padahal di dunia ide dia tetaplah kekal, sebagai Cinta itu sendiri. Dan bisa sangat dipahami apabila penggambaranya di tiap entitas pun berbeda-beda, kita memiliki indra yang berbeda dan itu subjektif. Kita sulit menjadi objektif apabila tidak menggunakan akal sehat dan hanya bergantung pada indra saja. Bukankah, Yesus  pernah berkata: Berbahagialah dia yang tidak melihat namun, percaya! Saya rasa Yesus sedemikian sadar dan paham akan keterbatasan indra kita.

Manusia tidak akan habis mereka-reka dan menerjemahkan karena hanya itu yang bisa mencukupkan otak kecilnya. Betapa membingungkan menjelaskan arti kekekalan namun sesungguhnya dia tetap mengalir? Mungkin bukan hidup namanya jika sedemikian gamblangnya tertera tanpa kejutan di sana sini yang menyertainya. Mungkin bukan hidup namanya jikalau semestamu dan semestaku sedemikian luasnya hingga beberapa kali kita mengira hampir sampai pada limit kita, namun ternyata kita menemukan: Betapa luasnya dunia ini untuk dijelajahi!

Hingga saya jadi menyadari betapa kita pun bertumbuh dan bergerak meski hanya satu senti, satu inchi atau satu langkah. Pengalaman bertambah dan pandangan berkembang. Kita bertambah umur meski hanya angka yang hitungannya sendiri pun dibuat oleh akal manusia. Kita akan tetap terkagum-kagum dengan senja yang selalu berbeda di setiap harinya meski seandainya mendung akan datang menutupi beberapa hari-hari kita. Saat harapan dan pencerahan Tuhan seolah ilusi optik mata kita, lalu akan ada waktu di mana mencintai Tuhan akan sesulit itu. Semoga di saat itu pun kita bisa menyadari bahwa berserah dan tetap percaya adalah satu-satunya kekuatan. Kita tidak akan pernah tersembunyi dari pada-Nya karena setiap helai rambut Dia hitung.

Sempat suatu ketika saya sebegitu menyukai parfum stroberi yang manis dan segar itu. Saya kira selama-lamanya saya akan menyukainya, namun  ternyata kini saya menemukan aroma baru yang saya suka, dark musk. Saya sempat kaget dan merasa bersalah karena menyalahi sistem sendiri yang akan konsisten dengan ini itu. Ternyata konsistensi itu memiliki kelenturan sendiri agar tetap bisa beradaptasi dengan keadaan. Kita akan tetap belajar seumur hidup dan menemukan hal-hal yang sebenarnya sudah ada sedari dulu, namun kita baru diberikan kesempatan untuk mengenal dan mengetahui hal yang kita anggap baru itu. Semoga kita bisa selalu terpesona dan menemukan keindahan dalam apa pun itu. Seperti saya menemukan aroma dark musk ini. Dia feminin namun maskulin, dia manis sekaligus misterius. Saya rasa mungkin aroma ini cocok dengan wangi feromon yang saya punya.

Saya ulangi sekali lagi: Kau akan selalu menemukan. Masih banyak hal yang akan dialami untuk sampai pada kesimpulan arti hidup. Dan tidakkah kamu tergoda oleh rasa penasaranmu untuk mencarinya terus menerus, meskipun akhirnya dia sering kali meruap menghilang? Meninggalkan labirin otakmu yang menganga kebingungan. Selamat berpetualang dalam longgar ruang semesta dan kata-katamu.  Kau akan baik-baik saja, percayalah.

Bali, 2015
Untuk A yang berulang tahun kemarin.

No comments:

Post a Comment

new post

Bergulir

Kehidupan ini bergulir sebagaimana mestinya. Sudah November di tahun 2025 ini. Semoga di tahun ini kita pun kian mampu menghargai diri sendi...