pic: Aga, analog nikon fm 10, 35mm
Apabila untuk menjadi bahagia maka diperlukan memiliki ini
dan itu yang sifatnya atrifisial mungkin bisa ya dan tidak. Ya karena ternyata
bahagia bisa dibeli dengan uang dan dengan penuhnya tabungan lalu bisa membeli
liburan. Meski pada akhirnya tidak sepenuhnya liburan karena badan ada di
tempat liburan semahal apapun namun pikiran tidak pernah libur barang detik pun. Atau memang manusia sedemikian sulitnya untuk bisa hidup sini dan
kini. Menghargai waktu yang sedang dihadapi saat ini tanpa terpanggil ke masa
lalu atau masa depan. Lalu bisa menjadi tidak
artifisal karena bahagia sesederhana itu dengan catatan: bersyukur. Kini
pertanyaannya apakah kita semua siap untuk bersyukur dan menyadari bahwa kita
sebenarnya memiliki banyak?
Mengingat Pramoedya Ananta Toer pernah berkata “Hidup sungguh
sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya.” Lalu serta merta saya
tidak bisa menahan diri untuk tidak menggangguk-angguk setuju. Padahal memang
hidup sedemikan sederhananya dengan menjalani apa yang harus dihadapi dan tidak
lari. Seberapa menakutkan, seberapa membosankan, seberapa menyakitkan, seberapa
menderita dan seberapa menyedihkannya
apapun itu. Tidak ada jalan pintas yang bisa menyasati kehidupan, dia sudah
hidup lebih lama dari kita. Hadapilah, menghidupi hidup dengan terus hidup.
Sempat berpikir bahwa dalam setiap musim di kehidupan manusia
sebenarnya kita tetaplah orang yang sama. Di tubuh yang tua renta sekalipun
kita tetap jiwa yang sama dengan pergulatan dan pemikiran yang bisa jadi tidak
berubah. Cara pandang bisa berubah namun pendekatan seseorang akan satu hal
tetaplah dengan cara masing-masing sesuai karakter. Saya menyadari ini saat
melihat kembali bahwa saya tetaplah seorang gadis remaja yang sama saat saya di
usia 14 tahun, yang memotong habis rambutnya hingga pendek sekali karena tidak
puas dengan raportnya dan menjadi semalu itu karena bukan barisan pintar dengan
nilai Matematika yang terbakar merah. Ketika pintar dan cerdas artinya adalah
memiliki otak eksak yang sempurna. Itu jelas bukan saya. Saya juga tetap adalah
gadis kuliah itu yang sangat sering bangun pagi dan jogging sendirian di taman karena
saya suka mendengarkan tarikan nafas sendiri yang terengah-engah, keringat yang
membanjiri t-shirt, pikiran liar yang harus dituntaskan, memperhatikan oma-opa
latihan Tai Qi, bermain dengan anjing di taman dan lalu menikmati sarapan
sendiri. Saya juga tetap menjadi gadis kutu buku itu yang duduk lama-lama di
sudut perpustakaan kampus lantai tujuh , menekuni lembar demi lembar dan mencatat
journal. Saya tetap adalah gadis yang sama. Tidak ada yang berbeda dari jiwa
kita, kita hanya mengalir. Kita hanya berubah sedikit lebih tua, sedikit bijak
dan berpengalaman. Itu saja.
Mungkin seperti perpaduan antara teori Democritus yang
menyatakan alam ini tidak berubah karena tersusun dari bahan dasar yang sama, namun di lain pihak juga ada benarnya teori Heraclitus yang menyatakan semua
ini ‘mengalir’ sesuai dengan siklusnya. Kita tetap adalah diri kita, inti jiwa
kita tetap namun mengalir. Teori yang tumpang tindih namun menjelaskan pola,
bahwa hidup kita terdiri dari pola yang sudah diatur sedemikian rupa hingga
tidak ada yang akan bertabrakan dan hancur. Hanya bersinggungan dan saling mengisi.
| pic: Aga, analog Nikon 10 fm, 35mm |
Sedemikian rumitnya menjabarkan pola dan musim dalam hidup
kita, semi dan gugurnya yang ada masanya, ada waktunya. Betapa semesta ini sudah dijaga dan diatur agar setiap garis sesuai pada letak
koordinatnya. Hingga bisa saja saat koordinat kita sudah tepat dengan seseorang
maka di situlah terjadi pertemuan. Itu yang saya yakini. Dari berjuta-juta
orang di dunia ini untuk bertemu dengan seseorang pastilah bukan sebuah
kebetulan namun sudah digariskan. Bedanya apakah hanya selewat saja ataukah akan menetap dan kekal. Dan kita manusia harus mampu menerima ini selapang-lapangnya
karena jangan-jangan hati kita pun bisa diatur kadar perasaannya, layaknya diatur
oleh hal lain di luar diri yang sifatnya elementer seperti rintik hujan,
pelangi, jingga senja, derai ombak dan semilir angin. Dan semoga saja perasaan
kita bukan hal yang puitis semata namun nyata.
Memperhatikan diri saya yang ternyata seegois itu karena merasa
kesendirian sungguh menyenangkan. Seolah begitu terisi dengan kekosongan,
dengan udara hampa yang ringan, lalu akan ada bagian dari hati yang penuh
sendiri. Ada yang pernah berkata bahwa kesendirian dan kesunyian adalah bentuk
apresiasi dari mencinta itu sendiri. Kau tidak akan mengerti arti kehadiran
apabila tidak mengalami kesunyian dan kesendirian. Kau tidak akan mengerti arti
menemukan apabila tidak mengalami kehilangan panjang. Menikmati setiap detik
yang tumpah dan tidak menolak, hanya menerima. Menarik diri dan mencukupkan
diri dengan pertemuan pribadi yang tidak semua orang berani melakukannya.
Perjumpaan dengan diri sendiri dan berjalan ke kedalaman. Akan tiba waktunya
ketika permukaan, cangkang manusia menjadi sekedar kulit pelapis daging dan
tulang lalu akhirnya kedalaman jiwa-jiwa yang begitu dalam dan gelap itulah yang
akan kamu cari. Semua orang ingin ditemukan di sana bukan?
Lalu kemudian mengeja makna cinta yang tidak dimengerti namun ditampilkan wajah cinta yang sedemikian manis gula-gula kapas
yang bisa kita jumpai di etalase toko. Mungkin memang cinta memiliki banyak
manifestasi dan kedalamannya adalah sebuah lembaran yang putih baru. Seperti cinta
seorang anak yang tidak bisa pulang di hari Lebaran dan menuliskan pesan pada
Ibunya yang single parent: Mama sehat-sehat ya, aku sayang Mama, maaf tidak
bisa sering pulang. Lalu hati siapa yang tidak serta merta menjadi haru dan
menjadi sadar bahwa energi cinta bisa sedahsyat itu untuk menggulirkan
kehidupan? Kamu hanya perlu merasa dan
membuka indra lebar-lebar. Jangan terkecoh olehnya.
Apabila ide cinta itu sendiri sedemikian variatif, apakah ada
ide cinta yang kekal dan abadi? Yang sama bentuk, terjabar, terperinci, sesuai
ukuran, terdefinisi dan tidak berubah-ubah? Mungkin konsep ini sesungguhnya
sudah ditemukan dasarnya oleh Plato. Bahwa sesuatu yang nyata itu terdefinisi
menjadi dua yakni dunia indra yang
bisa kita rasakan melalui kelima indra kita. Hingga serta merta menjadi berubah
bentuk dan tidak ada yang permanen. Karena sekali lagi itu adalah kinerja indra
manusia yang bekerja terbatas. Dan ada pula yang dinamakan dengan dunia ide, sebuah pengetahuan sejati
dengan menggunakan akal kita bukan dari indra dan sifatnya kekal. Mungkin cinta
pun demikian, kita memahaminya dari dua dunia, dunia indra dan dunia ide. Hingga
apa yang kita lihat selama ini adalah bentuk cinta di dunia indra yang
berubah-ubah padahal di dunia ide dia tetaplah kekal, sebagai Cinta itu
sendiri. Dan bisa sangat dipahami apabila penggambaranya di tiap entitas pun
berbeda-beda, kita memiliki indra yang berbeda dan itu subjektif. Kita sulit menjadi objektif apabila tidak menggunakan akal
sehat dan hanya bergantung pada indra saja. Bukankah, Yesus pernah berkata: Berbahagialah dia yang tidak
melihat namun, percaya! Saya rasa Yesus sedemikian sadar dan paham akan
keterbatasan indra kita.
Manusia tidak akan habis mereka-reka dan menerjemahkan karena
hanya itu yang bisa mencukupkan otak kecilnya. Betapa membingungkan menjelaskan
arti kekekalan namun sesungguhnya dia tetap mengalir? Mungkin bukan hidup namanya jika
sedemikian gamblangnya tertera tanpa kejutan di sana sini yang menyertainya.
Mungkin bukan hidup namanya jikalau semestamu dan semestaku sedemikian luasnya
hingga beberapa kali kita mengira hampir sampai pada limit kita, namun ternyata
kita menemukan: Betapa luasnya dunia ini untuk dijelajahi!
Hingga saya jadi menyadari betapa kita pun bertumbuh dan
bergerak meski hanya satu senti, satu inchi atau satu langkah. Pengalaman
bertambah dan pandangan berkembang. Kita bertambah umur meski hanya angka yang
hitungannya sendiri pun dibuat oleh akal manusia. Kita akan tetap
terkagum-kagum dengan senja yang selalu berbeda di setiap harinya meski
seandainya mendung akan datang menutupi beberapa hari-hari kita. Saat harapan
dan pencerahan Tuhan seolah ilusi optik mata kita, lalu akan ada waktu di mana
mencintai Tuhan akan sesulit itu. Semoga di saat itu pun kita bisa menyadari
bahwa berserah dan tetap percaya adalah satu-satunya kekuatan. Kita tidak akan
pernah tersembunyi dari pada-Nya karena setiap helai rambut Dia hitung.
Sempat suatu ketika saya sebegitu menyukai parfum stroberi yang manis dan segar itu. Saya kira selama-lamanya saya akan menyukainya, namun
ternyata kini saya menemukan aroma baru
yang saya suka, dark musk. Saya
sempat kaget dan merasa bersalah karena menyalahi sistem sendiri yang akan
konsisten dengan ini itu. Ternyata konsistensi itu memiliki kelenturan sendiri
agar tetap bisa beradaptasi dengan keadaan. Kita akan tetap belajar seumur
hidup dan menemukan hal-hal yang sebenarnya sudah ada sedari dulu, namun kita
baru diberikan kesempatan untuk mengenal dan mengetahui hal yang kita anggap baru
itu. Semoga kita bisa selalu terpesona dan menemukan keindahan dalam apa pun
itu. Seperti saya menemukan aroma dark musk ini. Dia feminin namun maskulin,
dia manis sekaligus misterius. Saya rasa mungkin aroma ini cocok dengan wangi feromon
yang saya punya.
Saya ulangi sekali lagi: Kau akan selalu menemukan. Masih
banyak hal yang akan dialami untuk sampai pada kesimpulan arti hidup. Dan tidakkah
kamu tergoda oleh rasa penasaranmu untuk mencarinya terus menerus, meskipun akhirnya dia
sering kali meruap menghilang? Meninggalkan labirin otakmu yang menganga
kebingungan. Selamat berpetualang dalam longgar ruang semesta dan
kata-katamu. Kau akan baik-baik saja,
percayalah.
![]() |
| Bali, 2015 |


No comments:
Post a Comment