Hal yang menarik pada hari ini adalah hari Jumat yang libur. Betapa tidak? Rehat sejenak dari berbagai aktivitas yang monoton dan bisa berlibur panjang, entah jalan-jalan ataukah istirahat di rumah. Untuk beberapa orang tentu hari ini bukan sekedar liburan biasa karena hari ini adalah hari perayaan Jumat Agung, Hari Kematian Yesus Kristus.
Hari Jumat Agung selalu ditandai dengan hari mendung disertai hujan terutama pada pukul 3.00 sore. Setidaknya itu yang selalu saya perhatikan selama ini. Ibu saya selalu berkata pada jam kerahiman tersebut akan mendung dan mungkin hujan karena alam ikut berduka atas kematian Raja Semesta. Untuk saya yang mengimani hal tersebut saya mempercayainya. Bukankah terdapat sebuah garis tipis antara logika nalar kritis dengan hal-hal yang menyangkut dengan spiritualisme Ketuhanan? Saya sendiri terkadang masih terseret-seret antara kedua hal ini. Namun hal yang saya yakini adalah kedua hal itu eksis di kehidupan kita, jadi seharusnya bisa saling memberikan jawaban. Meski sekarang ini dalam beberapa hal masih terantuk-antuk, tidak menemukan jawabannya. Tapi hei, sesuatu yang kontradiktif juga adalah jawaban kan?
Mengimani sesuatu terkadang pelik, apalagi iman yang diterima bulat-bulat secara harafiah. Sering kali ibu dan babeh berkata "Segala hal jangan diterima langsung, litterlijk (baca: litterlegh, arti literally) Lihat dasarnya, lihat teologi dan filsafatnya." Namun tentu kita tetap dengan kemalasan otak dan ketumpulan berpikir hingga mengartikan segalanya satu persatu kata, ya kan? Itulah godaan paling besar di abad ini, menjadi dangkal karena itu paling mudah dilakukan. Saya sering begitu.
Sudah menyadari dan rasanya pernah menulis di tulisan sebelumnya bahwa saya bukanlah pemeluk Katolik yang militan. Sering bolong berdoa, malas gereja, bolos Legio Maria, lupa kalau harus Sakramen Tobat dan saya gemar mempertanyakan ini itu sampai ruwet. Sering kali enggan menyatakan identitas bahwa saya Katolik karena males ditanya ini-itu, malas berkonvrontasi dengan orang lain, malas untuk membicarakan agama karena takut baper. Saya rasa tidak sedikit yang pernah merasakan seperti ini. Hingga akhirnya kita memilih diam dengan dalil, sudahlah ntar ribet panjang ra uwis-uwis. Akhirnya kita hindari. Sesungguhnya sampai saat ini saya pun belum menemukan baiknya bagaimana sih haha. Saya masih mencari dan riset kanan kiri. Mungkin siapa tahu ada yang mau memberikan advise monggo loh, saya menanti.
Di hari Jumat Agung yang bagi saya spesial ini, saya menemukan sekelumit jawaban untuk sebuah ketakutan: kematian. Saya takut mati karena saya belum pernah. Oke alasan menggelikan, tapi sungguh saya takut karena saya tidak tahu seperti apa itu kematian. Kalau kalian pernah nonton film Before Sunset, tokohnya si Celine juga takut akan kematian. I think I'm afraid of death 24 hours a day … I'm so scared of those few seconds of consciousness before you're gonna die. Kematian adalah sebuah topik yang tidak mampu kita bicarakan blak-blakan ketika sedang berkumpul istirahat makan siang atau minum kopi. Bukan topik yang bisa kita ulas dengan santai tanpa ada rasa emosional di sana. Setidaknya itu yang saya rasakan. Terutama kematian orang yang kita sayangi. Sungguh sebagai manusia kita masih tergagap-gagap dengan kematian ini. Ya benar kita memang tidak mempunyai kendali atas urusan ini. Saya pernah baca salah satu tweet seseorang namun saya lupa siapa, dia menulis salah satu lagu di film Begin Again berjudul Lost Stars. Ada satu lyric bunyinya begini Who are we? Just a speck of dust within the galaxy. Kalau di translete kira-kira jadi begini: Da aku mah apa atuh? Cuman butiran debu. Haha nah ini cocok tepat sekali menggambarkan situasi ini. Kita cuman butiran debu di alas kaki Tuhan, coy!
Pernah suatu hari saya dan adik kecil saya yang masih berumur lima tahun, Abhimanyu sedang berjalan ke kuburan Oma untuk nyekar. Saat itu kami jalan berdua dan melewati sebuah kuburan anak kecil. Lalu Abhimanyu diam sejenak dan bertanya, "Ini kuburan kecil ya? Kok anak kecil mati, kenapa?" Saya pun menjawab karena dia sakit keras. Lalu Abhimanyu pun bertanya lagi "Aku juga sedang sakit batuk, aku nanti mati ya?" Saya bingung mau menjelaskan bagaimana, akhirnya saya pun menjawab " Iya... kita semua nanti akan mati. Tapi kamu kan kemarin sudah ke dokter sudah mau sembuh kan." Akhirnya pembicaraan itu selesai begitu saja. Saya tahu jawaban saya masih menimbulkan pertanyaan, di otak Abhimanyu masih berputar, anak kecil kok mati? Bukankah seharusnya orang dewasa? Jadi aku juga bisa ya? Sungguh saya tidak tahu bagaimana menjelaskan kematian pada anak kecil karena saya sendiri pun ketakutan untuk sampai ke sana apalagi membayangkannya.
Hingga akhirnya saya menemukan sedikit pencerahan dari Dia yang disalibkan dan kakinya saya cium tadi. Bahwa Yesus sendiri pun melewati kematian dengan penderitaan yang dia rasakan. Dengan ketakutan yang Dia alami dan berkata "Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." Yesus pun takut namun dia menghadapi penderitaannya dan kematiannya sebagai sesuatu yang harus dihadapi. Lalu akhirnya pada hari ketiga bangkit.
Penderitaan dan kematian tidak akan bisa dihindari manusia. Itu adalah bagian dari hidup manusia. Dengan kematian Yesus di kayu salib, mengubah makna penderitaan dan kematian sebagai sesuatu yang tidak perlu ditakuti, semua akan kembali pada Bapa dan ada kebangkitan serta keselamatan dari sana.
Kira-kira demikian. Lalu saya jadi bertanya lagi, jikalau memang kita dilahirkan dan pada akhirnya kita mati dan kembali pada Nya, sebenarnya hidup sendiri untuk apa ya?
Nah kan, mulai.