Lima hari yang lalu kita merayakan Hari Kartini. Terlihat banyak postingan di twitter, instagram, facebook dan media sosial lainnya yang sibuk update status tentang Selamat Hari Kartini! Bergembira dengan euforia Hari Kartini ini saya lakukan dengan merenung saja di kubikal saya di kantor. Sembari bekerja dan berpikir tentang esensi Hari Kartini ini. Ya...inilah salah satu kelebihan perempuan, multitasking.
Issue tentang perempuan selalu ada di mana-mana, Saya pun hanya bisa mengikuti issuenya setengah-setengah lewat twitter saja. Diawali dengan kasus perjuangan Ibu-Ibu di Rembang yang memperjuangkan tanahnya, sumber hidupnya dari sebuah pabrik semen. Berlanjut dengan kasus pembunuhan seorang perempuan yang adalah seorang 'penjaja cinta online' yang dibunuh pelanggannya karena merasa sakit hati. Berlanjut dengan kasus Mary Jane yang akan dihukum mati karena kasus menjadi kurir narkoba dan usut punya usut beliau sebenarnya adalah korban trafficking, dan kasus-kasus perempuan lainnya. Kita melihat, kita mendengar kasus-kasus tersebut. Entah memang hanya gembor-gemboran media yang hanya menitik beratkan satu kasus saja sehingga mengaburkan fakta atau sebenarnya berita ini hanya untuk menutupi kasus besar lainnya. Tidak ada yang tahu permainan ini kan?
Perempuan masa kini
Kini zaman sudah berubah, perempuan pun sudah mempunyai ruang gerak yang lebih banyak di ruang publik. Namun apakah iya perempuan sudah mempunyai haknya yang sepenuhnya atas dirinya sendiri?
Beberapa waktu lalu saya sempat nguping pembicaraan. Saya memang usil dan doyan nguping dengan muka sok cuek tidak peduli saya, padahal saya mendengarkan sepenuh hati. Oke saya ngaku dosa di sini. Kemarin saya nguping pembicaraan beberapa pria usia kisaran 30-45 tahun di cafe. Mereka sedang bercengkrama dan bersenda gurau. Menurut analisis saya mereka adalah teman bisnis karena mereka berbicara tentang usaha mereka lalu pada akhirnya nyerempet ke urusan perempuan. Singkat cerita mereka berbicara tentang business trip mereka yang berakhir dengan entertain yakni yang tak lain tak bukan adalah perempuan. Pembicaraan mereka seolah sedang berbicara tentang 'barang baru' yang masih kinclong, bagus, tersegel dengan baik. Lalu mulailah mereka berbicara teman kantor perempuan mana yang bisa 'dipakai'.
Ibu saya selalu berpesan kalau nguping itu tidak sopan dan hari itu saya nyesel harus nguping pembicraan mereka. Bukan hanya karena saya merasa tidak sopan tapi akhirnya saya tersadar bahwa ternyata hal ini ada di dunia nyata. Naif sekali ya saya. Lepas dari pembicaraan om-om tadi, saya jadi pusing sendiri. Mungkin perempuan yang dibicarakan om-om tadi memang memanfaatkan seksualitas mereka untuk mencari uang atau mencari jalan agar perjalanan karir mereka bisa 'lempeng'. Namun di sini saya jadi tertohok karena tetap saja di mata society, perempuan itu dihakimi dari seksualitasnya. Seolah adalah barang komoditi yang bisa diperjual belikan. Seolah menjadi objek. Padahal seharusnya tubuh perempuan adalah miliknya sendiri bukan milik society. Mengapa soal menyoal tubuh perempuan dan keperawanan harus diatur juga oleh society sih? Tidak paham.
Lubang
Terkadang tidak adil apabila society melihat perempuan dari sisi itu saja. Saya ingat pernah membaca sebuah buku, saya lupa judulnya apa. Buku itu seperti sebuah pemberontakan perempuan akan pandangan masyarakat tentang virginity. Di sana ia menjelaskan bahwa ia merasa seolah Tuhan itu seperti memberikan segel pada perempuan yang sekali dibuka habis. Seolah pada saat pembuatan perempuan, seperti di pabrik-pabrik yang peralatannya bisa mencomot satu-satu lalu kaki-kaki perempuan dilebarkan lalu diberikanlah segel yang adalah hymen di selangkangan mereka. Sehingga alhasil kalau segel itu dirobek, barang harus dibeli. Saat membaca itu rasanya saya sempat tertawa miris. Penggambaran yang sadis sih namun tidak ada yang bisa lebih baik lagi menggambarkannya.
Oh ya saya juga sempat sebal sekali dengan sebuah berita tentang test keperawanan yang ada di beberapa sekolah apabila ingin masuk belajar di sana. Haduh, saya cuman bisa tepok jidat sambil geleng-geleng saja, mungkin maksudnya test moral seorang individu lha tapi kok ya di selangkangan ya? Memang moral yang crucial hanya dari sex before married? Kalo punya penyimpangan suka kekerasan, tidak bisa menghargai orang lain itu bukan moral juga? Kenapa harus selangkangan yang ditest, lha memang otak di selangkangan?
Zaman sekarang, sebagai anak muda kita harus berjuang lebih keras karena persaingan semakin ketat dan tenaga kerja asing dibayar double atau berkali lipat salarynya dari kita. Kalau misalnya generasi tua msih sibuk test persoalan selangkangan oh pasti Indonesia akan tertinggal jauh.
***
Perempuan bukan objek dan bukan barang komoditi yang diperjual belikan. Saya rasa perempuan harus punya hak sepenuhnya atas tubuhnya sendiri. Urusan tubuh biarkan perempuan yang memutuskan. Perempuan juga bukan hanya perkara lubang. Kita perempuan dan laki-laki, semua lahir ke dunia ini dari seorang perempuan lewat lubang itu. Dan lubang itu namanya: vagina.