Setelah sekian lama tidak ngeblog akhirnya ada waktu juga untuk duduk diam sejenak dan menguras otak, apa ya kiranya yang bisa saya tulis lagi? Terkadang kegiatan menulis itu tidak datang begitu saja namun harus ada kajian lebih lanjut dan mood. Nah... terkadang mood inilah yang swing banget. Saya tahu sih, kalau penulis yang sebenar-benarnya tidak ada alasan untuk tidak menulis. Namun saya kan amateur writer jadi cincai lah ya. Okesip.
Puas?
Akhir-akhir ini saya sedang berpikir sendiri mengenai fenomena rasa syukur. Uooh... hell yea so deep. Iya. Saya sedang berpikir dengan keras, keras sekali menggunakan otak saya yang hanya seuprit ini. Kok susah ya untuk bersyukur atas segala apa yang kita miliki dan alami? Oh men, bunuh gue aja sob. Seperti misalnya masih diberikan nafas setiap harinya, masih diberikan pekerjaan, berterima kasih atas orang-orang yang kita sayangi, makanan yang kita makan, rekan kerja, sahabat kita, atau rezeki kita. Rasanya susah sekali menghitung kebaikan-kebaikan yang ada dan yang terlihat hanya kekurangan-kekurangannya saja, kurang puas, kehidupan yang gini-gini aja, kisah cinta yang amit-amit dan sebagainya. Sehingga kesempatan untuk berdiam diri, tersenyum dan bersyukur itu jarang. Ih... capek tau bernegatif ria dengan pikiran-pikiran itu karena hanya menimbulkan masalah baru dan ujung-ujungnya sakit.
Kebetulan saya ini tipe manusia yang nyebelin, saya ini manusia yang tidak pernah puas. Selalu harus ada goal yang harus saya kejar dan saya dapatkan, kalau saya gagal saya bisa penasaran setengah mati dan harus sampai ke sana. Terkadang capek juga ya seperti itu, apalagi kalau saya sudah mulai tidak sabaran dengan apa yang sedang saya jalani. Ih... rasanya ingin saya tinggalin. Bye. Namun ternyata hidup ini bukan perihal tinggal meninggalkan lalu melarikan diri namun seberapa kuatnya kamu bertahan sampai kamu dapat goal yang kamu mau. Ya gak sih? Sehingga dalam proses itu kamu harus memiliki rasa syukur. Karena rasa syukur ini adalah rasa positif untuk bisa bertahan. Percayalah.
Bukan lihat ke bawah
Suatu hari saya ada training singkat melihat-lihat produksi di suatu pabrik, memperhatikan kondisi mesin seperti apa, pembuatan produksi seperti apa. Dan ternyata pabrik itu seberisik, sepanas dan segerah itu. Seharusnya saya melihat-lihat bentuk dan cara produksi sebaik-baiknya namun ada satu hal yang mencuri perhatian saya. Saya merasa tergelitik dengan sebuah quote yang ditempel di dekat mesin produksi. Kira-kira bunyinya begini: Kalau tidak kerja, mau makan apa? Dan banyak sekali quote-quote serupa yang ditulis besar-besar beserta doa keselamatan kerja. Banyak loh orang di luar sana yang memang literally jika tidak kerja bisa gak makan. Menurut saya makan itu kan salah satu kebutuhan pokok manusia dan ketika itu tidak terpenuhi manusia bisa mati. Lalu saya berpikir lagi, banyak manusia yang bekerja sebegitunya untuk menyambung hidupnya, kerja hingga larut malam dan bekerja penuh resiko keselamatan. Lalu tiba-tiba teman saya ada yang bisik-bisik ke saya "Gila, kita harusnya bersyukur sekali ya bisa kerja di gedung AC, dingin, duduk, selamat tidak perlu panas-panas di sini meski hati dan kuping panas banget diomelin melulu... haha". Deg. Lalu saya merasa kok ada yang aneh ya dengan pernyataan ini.
Harus ya kita bersyukur atas kehidupan kita yang lebih 'beruntung' dari mereka? Maksudnya mengapa dengan melihat ke bawah terlebih dahulu baru kita bisa sadar dengan apa yang sudah kita punya? Lalu kita baru bisa menikmati apa yang ada yang kita punya? Kenapa sih harus lihat ke bawah dulu dan seolah bersyukur kalo nasib kita tidak seperti mereka? Saya kok tidak setuju ya?
Lalu kemarin saya iseng kepo melihat instagram orang lain. Orang ini posting foto dia dengan petani di daerah Tasikmalaya lalu captionnya seperti ini: "Kita harus bersyukur sekali karena gak bisa terbayang kalau kita harus kerja seperti mereka." Men....oh men. Lo ga salah, cuman dapet ginian doang jauh-jauh sebulan KKN ke Tasikmalaya lalu pulang mikirnya gini doang? Di situ saya merasa sedih.
Bukan perbandingan
Saya tahu sih kalau saya bukan orang alim lurus ke depan, saya juga sering belok-belok, tapi menurut saya bersyukur itu maknanya jauuuuh lebih dari itu, lebih dalam lagi. Kita kerap kali bersyukur karena kita merasa lebih mujur dari mereka.Sampai kita lupa caranya bersyukur dan menerima apa yang saya punya yang sudah Tuhan berikan pada saya.
Apakah benar kalau kita baru bisa bersyukur apabila melihat situasi orang lain lebih buruk dari kita dan kita berkata: "Aduh bersyukur sekali ya kita ga harus seperti mereka..." Saya rasa bukan bersyukur model begini yang sesungguhnya.
Hingga beberapa minggu yang lalu ada kotbah pastor yang menurt saya mengena di hati. Begini bunyinya, "Sudahkah saudara bersyukur dan menerima segala kesulitan dan tantangan yang Tuhan berikan pada anda dan bukan hanya bersyukur pada hari baik saja?"
Lalu dalam hati saya menjawab "Eh.... please ya Romo kalau yang itu levelnya masih ketinggian. Belom nyampe saya. Tapi masih otw ke sana sih." Malunya saya ini. Oh manusia.