Tidak
menahu apakah aku akan melanjutkan pertemuan kita setiap dua minggu sekali di gereja
atau tidak. Pertemuan sakral menyita perhatian besar dan waktu yang mahal
harganya untuk bisa dibeli kembali. Memilih baju manis, bangun tidur lebih pagi
dari biasanya, acara mandi besar, mematut diri di cermin ribuan kali untuk
meyakinkan diri rambut tertata sempurna, memoles lip balm berkali-kali, bukannya
karena alpa tapi sekedar menebalkan niat demi hati yang bergemuruh gugup.
Pertemuan ini sederhana tidak berlebihan, dengan frekuensi sebulan dua kali di
minggu genap, ke dua dan ke empat. Mengapa harus genap? Kebetulan indah yang
tak disengaja kurasa.
Semua
yang berhubungan dengan dia harus dilakukan ekstra hati-hati. Sesuatu yang harus
disempatkan dan diberikan ruang khusus bagi pengunjungnya. Sesuatu yang
menggunakan hati dan menggunakan bahasa perasaan. Entah mengapa aku terjerumus
ke dalamnya, tertular ritmenya dan tidak bisa menolak. Seberapa pun keras aku
berusaha berontak, semakin erat ia menjerat. Barangkali cinta mereka
menyebutnya.
Pertemuan
pertama kami sekedar sebuah tatap mata dari kejauhan. Sebuah pesan maha cepat dari
mata ke otak akan sebuah ketertarikan, sebuah pesan singkat yang bekerja kilat
tanpa ruang dan waktu. Entah alasan khusus apa yang membuat aku menetap.
Mungkin kumisnya. Kumis lebat yang membingkai wajahnya yang sempurna. Atau mungkin
memang aku saja yang memiliki apresiasi lebih pada kumis.
Aku
baru ingat waktu kecil pernah kudengar cerita dari ibuku saat pertama kali
berjumpa dengan ayahku di bis. Aku bertanya saat itu; mengapa Ibu tertarik
dengan Bapak yang biasa saja, lalu Ibu menjawab, “Karena bapakmu itu berkumis, macho sekali kelihatannya,” lalu Ibu
tersipu malu. Saat itu sebagai gadis kecil yang buta akan cinta dan selalu
kegelian saat dicium Bapak, jelas tak mengerti akan arti kumis Bapak bagi Ibu.
Kini aku baru sadar bahwa apresiasi berlebihan pada kumis adalah bawaan genetik
dari Ibu.
Minggu
ini adalah pertemuanku yang kelima. Masih lama tiga jam lagi namun jantungku
sudah tak karuan sedari kemarin. Seperti kata Pat Kay si siluman babi di film
Kera Sakti, ‘Cinta, deritanya tiada akhir.’ Hanya itu kutipan cinta yang
kuhafal dari jutaan kutipan cinta, pilihan ingatanku jatuh pada falsafah si babi
mesum ini. Memang benar bahwa derita yang kurasa ini adalah percampuran khusus antara
cinta dan sesak. Semakin kritis kurasa hatiku ini. Hatiku ini repot sekali
karena dia gengsi dan takut dengan cinta. Dia sebenarnya mau dan penasaran tapi
takut untuk hanyut di dalamnya karena sudah berkali-kali salah jalan, salah
arah. Trauma, kalau kata orang. Mungkin sebenarnya ini yang salah, bagaimana
mungkin bisa mencinta tapi terlalu penakut dan terlalu perasa. Terlalu banyak
berpikir kalau kata temanku.
Pertemuanku
kali ini singkat, setelah gereja usai lalu kami pun ngobrol sejenak. Hatiku
rasanya malu sekali, aku yakin pasti senyumku sudah terpahat di sana,
melengkung lebar dan tidak bisa luntur.
Aku merasa bodoh sekali dan jantungku sudah mau lompat rasanya terlampau
senang. Bagaimana mungkin ada suatu situasi di mana kita setengah mati ingin
bersama, sekaligus ingin melarikan diri sejauh-jauhnya karena takut terbakar
sendiri dengan gejolak energi yang terlalu kuat. Benar kata orang kalau
kebahagiaan yang berlebihan itu melelahkan.
“Mau
makan siang apa?” tanyaku, berusaha santai dan kasual. Dia lebih muda satu
setengah tahun dariku dan aku berharap itu tidak masalah. Toh, aku masih sering
disangka anak sekolah dari pada anak kuliah tingkat akhir.
“
Belum tahu. Kalau kamu?” Ia bertanya
balik, menatapku dan tersenyum.
Aku
seratus persen yakin kalau dia tahu aku hanya mencari-cari alasan basa-basi.
Dia pasti tahu motivasi dibalik ini semua. Aku merasa seluruh darahku mengalir
lebih deras ke wajahku, ingin rasanya aku melarikan diri saat itu juga dan
menyembunyikan diri di tempat lain. Tapi tidak, aku masih ingin melihat binar matanya,
sebentar saja.
“
Saya mau makan mie bebek saja. Kamu mau ikut?” Semua alasan, semua kesempatan
aku raup menjadi satu. Terlanjur basah sekalian saja lompat dan berenang. Bukan
begitu?
“
Rasanya saya tidak bisa, ada acara ulang tahun teman, kayaknya harus pulang,” jawabnya
dengan ekspresi lucu. “Kita jalan pulang bareng saja, kebetulan searah,”
ujarnya kemudian seakan bisa membaca mataku yang redup, kecewa seketika.
Pasti.
Mukaku pasti sumringah dengan mata berbinar-binar. Aku tidak tahu bagaimana
caranya untuk bisa menutupi hal tersebut agar tidak terlalu ketara. Aduh, itu
tidak terlalu penting, kini permasalahannya apa yang harus dibicarakan agar
tidak gagu dan mati gaya.
Tenang,
tenang kamu pasti bisa! Anggap dia adalah teman biasa. Ujarku dalam hati guna
menenangkan jantungku yang tengah berkerja keras. Dia nampak tenang, tinggi dan
anggun. Sementara aku yang setengah mati berusaha mencari-cari pegangan agar
tidak terjatuh agar lututku tidak lemah dan sanggup berpijak.
Aku
tahu ini tidak baik, sudah terjatuh sedari awal. Tapi entah mengapa aku merasa
tersedot ke gelombang energinya yang kuat dan aku tidak tahu apa itu. Seolah
energi yang dia punya menarik energiku sendiri untuk lebih dekat dan aku
pasrah. Aku tahu seharusnya aku tidak semudah ini menyerah dan menggunakan
logikaku agar aku terlindungi dari rasa sakit yang bisa datang kapan saja. Siap
atau tidak siap.
***
Ada
sesuatu yang berbeda dari dia. Dia itu sederhana dan simpel, itu yang aku
lihat. Aku suka melihat dia memakai baju oranyenya yang lusuh, belel dan
kebesaran itu ke gereja, dengan kumis yang belum dicukur dan rambut tanpa gel.
Pas. Nyaman dengan diri sendiri sepertinya itu poin paling penting buatku,
rasanya itu daya tarik yang paling berkilau bagiku. Dia seolah begitu yakin dan paham betul dengan
keberadaan dirinya dan prinsip apa yang dia punya. Kalau kata temanku dia itu
tipe lelaki di iklan-iklan rokok, jantan dan tahu apa yang dia mau.
“Hai,
kamu mau makan apa? Mie bebek lagi?” tanyamu basa-basi seraya berdiri ketika
aku menghampirimu selesai misa.
“Sepertinya
begitu. Kamu apa?” tanyaku berbalik padamu. Berusaha tampil santai.
“Kamu
tidak bosan yah setiap minggu makan mie bebek terus?” tanyamu dengan wajah
lugu.
Sejenak
aku bingung hendak menjawab apa. Mengapa otak dan mulut tidak pernah sinkron
seolah jadi disfungsi setiap kali berbicara dengan orang yang kamu damba dengan
segenap hatimu? Seolah otakmu tidak mengirimkan pesan-pesan pintar yang biasa
kamu ucapkan dan mulutmu seolah kelu dan hanya sanggup tersenyum malu saja.
“Aku tidak bosan, toh hanya satu kali dalam seminggu. Kurasa aku menyukai kebiasaan,
sesuatu yang berulang dan sudah kukenal.” Hanya itu jawaban terbaik yang bisa
aku keluarkan dari otakku yang lamban.
“
Apakah kamu orang yang suka tantangan atau sesuatu yang tidak bisa kamu control,
sehingga mau tak mau kamu harus mencobanya?” tanyamu dengan menempelkan
pandangan statis tak lepas.
Aku
kelu seketika. Sepertinya dia tahu apa yang ada di dalam diriku. Bahwa aku si
pencinta ‘zona nyaman’ yang takut dengan semua hal asing yang belum aku
ketahui. Si penakut ini juga tidak suka dengan sebuah keadaan yang tidak bisa
dia control. “Kamu kok tahu?”
“Mungkin
ada baiknya kalau kamu memasukkan dirimu sendiri ke sebuah situasi yang membuat
darah kamu berdesir dan takut. Kamu baru bisa jadi hidup. Hidup itu bukan
sesuatu yang bisa kamu control terus menerus. Kamu tahu?” sahutnya dengan tersenyum
jenaka. “Cobalah sekali waktu.” ujarnya lagi seraya memandangku. Apa yang dia
katakan seolah sebuah pesan untuk jiwaku. Dia seperti sudah mengenalku sejak
lama dan bisa membaca apa yang aku pikirkan. Aku tiba-tiba merasa ngeri dan
senang.
“Apakah
kamu punya pengalaman serupa? Nampaknya kamu berpengalaman sekali dalam hal
ini.” tanyaku padanya seraya mencari matanya. Badannya tinggi kokoh mungkin
tinggiku hanya selengannya saja. Apabila dia melihatku, dia harus menundukkan
kepalanya dan mencondongkan badannya ke arahku. Kedekatan ini membuatku gerogi
namun senang. Kadang aku mengutuki diriku sendiri, kenapa aku tidak bisa bersikap
lebih tenang, mengapa aku seperti anak anjing yang hiperaktif kesenangan
bertemu dengan majikannya setelah seharian tidak bertemu, dengan mata
berbinar-binar dan ekor mengibas ke sana ke mari.
“Ya,
ketika itu saya harus magang di sebuah hotel karena kebetulan ada mata kuliah
yang mengharuskan saya untuk praktek. Saat itu saya khawatir sekali karena saya
takut kalau saya tidak bisa tembus ke salah satu hotel internasional yang saya
inginkan. Saya ingin menjadi salah satu staff
di bagian front desk. Ada ketakutan
tidak bisa melayani tamu dengan baik karena kendala bahasa. Namun pada akhirnya,
saya lakukan saja dan saya belajar banyak. Tidak semua yang kamu takutkan itu
terwujud, itu sebagian besar hanya ilusi dari otak kita saja yang terlalu
pengecut untuk melakukan ini itu.” ujarnya panjang dengan mantab dan tenang. “Ketika
kamu tidak mencoba, kamu tidak akan pernah tahu sampai di manakah kemampuan
kamu. Dan setidaknya jikalau kamu gagal dalam hal tersebut, kamu sudah membuat
suatu kemajuan dari diri kamu. Kamu berani sehingga kamu bisa mencari
kesempatan yang lain. Daripada kamu bertanya-tanya pada diri sendiri, sampai di
manakah kemampuan saya sebenarnya, lebih baik kamu coba.”
Aku
mendengarkan ucapannya seraya berpikir betapa beruntungnya aku bisa bertemu dan
berbicara banyak hal dengan orang ini. Entah mengapa berbicara dengannya selalu
menarik dan menyenangkan, seolah dua otak kami mengeluarkan cairan ide yang
serupa tanpa harus dijabarkan dengan kata-kata. Pembicaraan kami mulai berpedar
ke keinginan kami masing-masing di suatu hari nanti, rencana-rencana ke depan,
keinginannya untuk membeli motor bekas karena dia mulai malas naik bus ke
mana-mana, keinginannya unuk pindah rumah dan sebagainya. Aku sudah tahu
semenjak pertama kali aku berjumpa, aku akan jatuh hati. Namun aku tidak pernah
tahu seberapa dalam jatuhnya. Aku harap hatiku bisa sedikit waspada dan
memiliki sayap cadangan untuk berjaga-jaga, jikalau …
***
Sudah
hampir sebulan dia tidak ke gereja lagi. Ada apa gerangan? Apakah dia sudah
pindah rumah? Atau sedang sibuk? Tidak ada yang tahu. Aku mulai rindu dengan
percakapan kami sehabis pulang gereja, rindu setengah mati dengan kumis yang
membingkai wajahnya dan binar matanya saat menatapku dalam. Hatiku serasa payah
dan dingin setiap kali kulihat dia tidak ada di mana-mana. Kamu ke mana saja?
Pertanyaan singkat yang ingin aku ucapkan padanya jikalau bertemu kembali. Aku
merindunya dengan segenap hatiku, seolah tubuhku pun merasakan sinyal otakku
yang nelangsa. Bahwa sesungguhnya tubuhku ini menjadi begitu sensitif dan
mengetahui apa yang hatiku rasakan hingga seluruh sel dalam tubuhku pun
merindukannya. Seolah energi maha magis itu lenyap dan tubuh ini layaknya
sebuah sterofoam yang mengapung di air, pasrah mengikuti arus ke mana saja.
Bagaimana
cara menggambarkannya dengan lebih jelas? Ketika kita rindu dengan seseorang
betapa rasanya satu alam semesta seolah bersengkongkol dengan melakukan segala
hal yang membuatmu mengingat tentang dia, betapa terkadang banyak
kebetulan-kebetulan kecil yang muncul lalu menguatkan rasa rindumu itu, lalu
kamu mulai berbisik pada diri sendiri; aku kangen, kamu di mana?
***
Setelah
sekian lama, kau datang kembali. Aku setengah mati ingin berbicara denganmu. Namun
kulihat rasanya kau berbeda, bukan sosok itu yang aku kenal. Kau nampak dingin
dan menyendiri, entah mengapa. Kau bahkan tidak berani memandang mataku, kau
sibuk dengan duniamu sendiri. Kau nampak seolah kehilangan sesuatu yang penting
darimu, kau seolah menghindar untuk berbicara padaku tanpa alasan yang jelas.
Mungkin aku salah, tapi apa? Aku tidak tahu. Kuurungkan niatku untuk berbicara
denganmu, mungkin kamu butuh jarak. Mungkin.
***
Waktu
bagaikan pencuri ulung yang datang tanpa permisi kapan saja. Seolah kita
manusia dikhianati mentah-mentah oleh waktu. Kita mengira masih banyak waktu
yang kita punya, kesempatan itu ada di mana-mana, dan momen itu sesuatu yang
harus ditunggu sampai sempurna. Kenyataannya tidaklah begitu, kita salah
jikalau selalu menunggu sampai momen yang pas untuk melakukan sesuatu karena
nyatanya momen yang sempurna dan pas itu tidak ada. Kitalah yang membuat momen
itu sendiri.
Aku
harus segera menyampaikan pesan singkatku padanya kalau aku sebentar lagi harus
pulang, untuk melanjutkan mimpi-mimpiku lagi. Betapa perkataan itu sulit sekali
keluar dari bibirku, pesan singkat sederhana untuk berpisah. Bagaimana caranya
untuk menyampaikan ini padanya karena sudah pasti hatiku meronta dan mengigil.
Bahasa perasaan tidak pernah bisa disampaikan dengan sederhana, betapa sulit
untuk mengucapkannya dengan jujur bahwa hati yang aku punya ini lebih dari ini,
hatiku ini sudah menahu semenjak pertama bertemu bahwa dia sudah punya hatiku
sedari awal. Sedari awal.
“Hallo.”
Kuberanikan diriku untuk menyapamu. Kau menatapku.
“Kamu
kapan pulang?” tanyamu langsung. Mungkin dia sudah tahu semua isi otakku.
“Akhir
bulan ini.” ujarku padamu sambil mencari matamu. “Tapi saya rasanya tidak ingin
pulang, saya masih ingin di sini.” kataku kemudian. Kutatap matamu dalam, yang
kudapatkan hanya tatapan sendu nanar dan kau tidak bersuara. Diam.
“Sebelum
pulang saya ingin makan bareng denganmu. Kamu ada waktu?” tanyaku berusaha
mencuri kesempatan untuk sebuah momen perpisahaan yang bisa aku ingat. Kita
kenalan baik-baik, dan berpisah pun harus baik-baik. Tapi aku selalu berbisik
dalam hatiku, kita berdua pasti bertemu lagi, pasti ada kesempatan, pasti ada
waktu, pasti ada momen, pasti ada.
“Kita
lihat nanti yah, saya harus cek jadwal saya dahulu. Nanti saya kabari.” jawabmu
dingin.
“
Iya, kabari saya, ya.” sahutku dan berbalik arah lalu pergi.
Sejak
itu kita tidak pernah bertemu lagi. Saat itu juga aku merasa itu terakhir
kalinya berbicara dengan dia dan menatap matanya. Kupejam mataku erat-erat dan
kurekam detik-detik itu. Seandainya masih ada waktu. Seandainya kita bisa
memperbaiki apa yang salah dan memulainya dari awal.
***
Tidak
ada yang tahu kapan kadaluarsanya waktu kita bersama dengan seseorang. Meski
rasanya indah dan hangat, bisa saja momen itu lenyap semudah embun di pagi
hari. Tidak ada yang abadi dibawah langit ini. Tidak ada siapapun yang memiliki
siapapun, kita ini hanyalah titipan. Tidak ada yang tahu kalau pandangan mata
itu adalah pandangan mata terakhir yang aku punya dan tidak ada yang tahu kalau
percakapan itu adalah percakapan terakhirku dengannya. Tidak peduli seberapa
sakit hatiku, seberapa ingin hatiku untuk mencegah itu terjadi. Itu tetap
terjadi dengan jalannya sendiri.
Aku
terhenyak pada sebuah kenyataan, bahwa tidak setiap cinta berakhir seperti yang
kita duga, ada beberapa hal yang tidak bisa kita dapatkan meski hati dan
perasaan ada dan sama. Namun ketika waktu dan takdir tidak mengada, semua jadi
tiada.
Namun
satu yang tidak berubah, aku mencintainya
maka aku tidak akan pernah selesai mendoakan keselamatannya* dan aku yakin Tuhan pun akan selalu
melindunginya.
&&&
Nb. Ini sebuah cerpen yang saya buat setahun yang lalu dan menang juara favorit.
Dari pada teronggok lebih baik kita taruh di sini bukan? :)
*Sapardi Djoko D.