17.11.14

Dansa dansi


Hai, kamu!
Lelaki yang meminjam wangi hujan
Jikalau tidak ada waktu untuk berbicara
Kamu bisa menatap hitam mataku
Dan aku menangkap cahaya di matamu
Lalu kita berdansa

Meski kita mengetahui nama namun tidak mengenal satu sama lain
Ngomong-ngomong kamu tidak takut petir kan?


***




VANCE JOY-  Riptide


''Lady, running down to the riptide

Taken away to the dark side
I wanna be your left hand man
I love you when you're singing that song and
I got a lump in my throat because
You're gonna sing the words wrong''

16.11.14

Adiktif

1. Bandung
Kota kelahiran yang selalu membuat kangen dan rindu. Jangan-jangan Bandung adalah rahim Ibu. 
Ketika semua orang berlomba-lomba ingin pindah ke Jakarta dan sekitarnya. Saya sedang menabung untuk punya rumah di Bandung. Kata orang, kamu belum akan jadi romantis, kalau belum pernah tinggal di Bandung.  


2. Tibet
Suatu hari harus mengadakan perjalanan panjang ke Tibet. Iya... Tibet. Saya bosan sekali dengan
ibu kota dan mall-mallnya. 


3. Rak buku
Sudah membutuhkan rak buku yang agak bukuwi ( sinonim: manusiawi) karena buku-buku banyak, namun rak buku di rumah hanya sedikit. 


4. Menulis! 
Kegiatan reflektif yang mengasyikan adalah menulis. Menulis seperti menelanjangi diri sendiri. Dan memiliki blog itu semacam tong sampah asyik yang bisa dipandangi dan memuasi diri sendiri. Mungkin menulis semacam masturbasi. Puas sendiri, senang sendiri dan kegiatan yang paling sendiri. Tidak dilakukan beramai-ramai. Saya suka punya blog sendiri, meski tidak ada yang baca.  


5. Awkward drawing
Menggambar dengan komposisi dan warna yang nabrak itu sangat menyenangkan. Meski tidak bisa-bisa amat menggambar tapi sesuatu yang membuat kamu senang itu harus dipelihara. Lain waktu saya post ya..awkward drawingnya.


6. Menari
Seperti lagunya Elton John yang berjudul Tiny Dancer. Menari tradisional Indonesia adalah sebuah nadi yang menghidupkan. Pada akhirnya hidup ini adalah tarian-tarian kita dengan alam dan Pencipta.


7. Theater
Tidakkah kamu merasakan kalau menonton sandiwara dan theater itu sungguh mengasyikan? Berkumpul dengan mereka dan berdiskusi tentang seni, seperti sebuah energi magis. Menonton theater tidak akan membuat bosan. 


8. Bahasa
Mempelajari bahasa asing artinya kamu belajar jiwa baru. Mempelajarinya seperti belajar
suatu dunia baru dengan kultur mereka. Lalu kamu akan seperti spons yang siap menyerap bahasa tersebut.


9. Musik
Asyiknya seperti menonton band indie yang sedang manggung. Fenomenal sekali.


10. Industri kreatif
Tidakkah kamu merasa bahwa industri kreatif itu sangat brilliant? Gila. Harus punya satu itu rasanya.


11. Meditasi
Salah satu yang mengasyikan namun sangat sulit untuk dilakukan. Padahal sesuatu yang sepi itu lebih kaya dari pada hingar bingar. Mungkin jiwa saya ini jiwa oma-oma. Tidak suka pesta. 


12. Jurnalis itu adalah kelenjar
Saya tidak tahu sih, apakah jurnalis itu adalah panggilan saya atau tidak, namun terkadang merasakan
setruman-setruman listrik tegangan tinggi akan hal ini. Kita tidak pernah tahu kan? Jikalau bukan panggilan, namun itu tetap adalah kelenjar. 









Bersyukur untuk segala hal itu lebih mudah dari pada pencarian keinginan



Akhir-akhir ini rasanya seperti hidup dan berlari-lari. Tidak tahu sedang lari untuk apa. Tapi pastinya berlari-lari dan mencari-cari. Rasanya letih. I take many things for granted. Seperti berusaha untuk meniadakan dan menutup mata untuk banyak hal yang saya punya. Saya egois sekali dan ingin semua berada di keinginan saya. Saya inginnya buru-buru untuk bisa cepat 'menetas' dan tidak perlu melewati scene berdarah-darah terus-terusan. Hingga akhirnya saya lupa akan hal-hal dan momen-momen yang indah setiap harinya. 

Saya lupa banyak hal. Tentang teman-teman yang selalu ada dan memenuhi chatting whatsapp, untuk keluarga yang hangat, selalu mendukung dan mendoakan, untuk teman-teman dekat yang siap ditelepon kapan saja, untuk talenta yang diberikan Tuhan, dan tentunya untuk Dia yang selalu menjaga saya. 

Dan hal terakhir yang selalu saya lupa syukuri adalah betapa hebatnya kita yang masih memilih hidup sampai hari ini.






3.11.14

Eins

Seharian ini sedang berpikir akan suatu bacaan tentang  Nicolas Copernicus lewat teori ilmiahnya yang berhasil menghancurkan pemikiran astronomi tradisional teori Arisoteles dan Ptolomeus  yang mengandaikan bahwa bumi adalah pusat alam semesta. Copernicus mengatakan bahwa bumi mengitari matahari sebagai pusat alam semesta.

Lalu munculah penemuan teleskop oleh Galieo-Galilei yang membuktikan kebenaran teori Coperncus. Melalui bukunya Dialogo ( Dialog tentang dua sistem utama tentang dunia, 1632) akhirnya Galileo dipanggil ke Roma untuk dihukum oleh intelejen Gereja dan dicukil matanya karena dianggap membahayakan sistem pemikiran akibat penemuannya. Dianggap sesat.

Saya membayangkan bahwa pergantian zaman dari pemikirian religiusitas ke pemikiran modern yang sifatnya menalar sesuai dengan logika, terasa memiliki perjalanan yang panjang. Lalu munculah gerakan humanisme yang diawali dengan kepercayaan akan kemampuan manusia akan akal budi atau intelektualnya. Humanisme lebih mempercayai rasio dapat melakukan segalanya dan lebih penting dari iman. 

Apa yang mau saya sampaikan? Pemberontakan pemikiran tradisional itu selalu ada di berbagai zaman. Society akan terus menerus menang karena mengakarnya pemikiran tradisional dan tidak ingin berusaha untuk mengenal sesuatu yang sifatnya baru. Menang dalam arti memiliki suara terbanyak dan akan selalu dimenangkan karena banyak yang memiliki kepentingan yang merasa aman di sistem yang lama. Entah pada akhirnya sebenarnya paradigma itu benar atau tidak, society tidak peduli.Contohnya dengan teori bumi sebagai pusat semesta yang pada akhirnya ternyata salah, namun sayang bola mata Galileo tidak bisa dipasang kembali. Dibutuhkan seseorang segila Galileo untuk mempertahankan pemikiran dia dan pembuktiannya. Pertanyaannya apa yang Galileo cari? Mengapa ia mengedepankan pemikirannya sebegitu gigihnya? Karena dia menghargai dirinya sebagai makhluk berakal budi yang membutuhkan intelegensinya tersalurkan dan dibenarkan sebagai pembenaran.

Saya kira tidak mudah mempertahankan pemikiran sendiri tanpa dicap gila dan sinting. Karena manusia terbiasa harus seragam, harus sama. Agar sistem bisa terus berjalan semestinya tanpa ada hama parasit pengganggu yang nyeleneh sendirian. Jikalau terus menerus takut dengan pemikiran yang berbeda dengan society, sudah hendaknya kita malu dengan mereka yang membayar mahal nyawa dan biji bola matanya untuk sesuatu yang diyakininya.

Manusia sudah seharusnya memiliki otaknya sendiri yang tidak harus disetir oleh apapun. Seperti yang ditulis di Alkitab, 'Jadi karena engkau suam-suam kuku, dan tidak dingin atau panas, Aku akan memuntahkan engkau dari mulut-Ku.' 




28.10.14

Numpang Minum


pic: google



Pernah dengar sebuah pribahasa jawa yang kira-kira bunyinya begini, 'Irup mung mampir ngombe'? Kalau diartikan ke bahasa Indonesia jadi begini ' Hidup hanya mampir minum.' Mengapa minum? Pastilah ada falsafah jawanya, tapi kalau saya boleh sok tahu dengan otak saya yang seiprit ini mungkin maksudnya hidup ini terlalu singkat, terlalu sebentar.

Minum itu sifatnya menyegarkan. Coba saja bayangkan ketika kita selesai jogging. Berkeringat, panas, terengah-engah, pegal, lelah dan sudah pasti tenggorokan kering. Pasti kita ingin minum. Dan sudah bisa ditebak bahwa proses minum ini terjadi hanya sepersekian detik saja... glek..glek...glek... lalu sudah. Lalu dahaga pun hilang seketika. Ada momen menyegarkan pada saat kita minum. 

Akhir-akhir ini saya mendengar banyak berita sana sini tentang keluh kesah teman-teman saya akan hidup yang sedang dijalaninya. Tidak usah jauh-jauh, saya pun demkian. Mengeluh ini itu anu. Lalu curcol di blog panjang pendek sampai saya jadi super rajin ngeblog karena ingin mencari pelarian sendiri. Memang kita ini cuman manusia biasa yang mau saja terus menerus jadi budak keinginan. Saya sih menyadari betul kalau saya demikian. Saya sering mengeluh, sering merasa apa yang saya jalani sekarang ini tidak sesuai dengan keinginan saya. Ya terus? Mengapa hanya mengeluh saja namun tidak melakukan apa-apa?

Kalau kata Ibu saya, saya itu omdo, omong doang. Tapi memang berbicara itu lebih mudah dan lebih enak dari pada melakukan sih ya. Dan celakanya itulah yang kiranya harus diubah. Entah saya mengubah agar tidak jadi NATO atau saya sepenuhnya menerima. Itu dua-duanya pilihan yang bisa saya pilih satu sesuai kebutuhan.

Mbak Mega

Di tengah stress di kantor, dari pada saya ngobrol ngalor ngindul dengan teman kantor, saya lebih suka jalan ke toilet. Mengapa toilet? Karena saya butuh peregangan kaki dan pantat agar setidaknya bergerak sedikit. Di toilet saya suka sekali bernyanyi, joget atau ngomong sendiri, tentu kalau tidak ada orang. Toilet sudah seperti oasis di padang gurun.

Di toilet kantor, ada karyawati yang suka membersihkan toilet namanya Mbak Mega. Apa yang spesial dari Mbak Mega? Saya merasa dia seorang karyawati yang bertanggung jawab dengan tugas-tugasnya. Kalian bayangkan deh, membersihkan toilet setiap hari di dua lantai dan bisa dibayangkan toilet itu digunakan banyaaak orang. Apalagi toilet perempuan, sampah tissue, pembalut, tumpahan make up ada semua komplit di toilet. Namun ajaibnya toilet kantor saya itu selalu bersih, apik, tidak becek, sampah tidak berserakan dan wangi. Hebat tidak? Iya, itu yang mengerjakan Mbak Mega sendiri. Saya merasa dia hebat sekali, menjalankan tugas sebaik-baiknya dengan segenap tanggung jawab, lalu setiap kali saya ke toilet Mbak Mega sedang mengepel sambil senyum-senyum. Antara memang ramah atau pusing lihat kelakuan saya yang pecicilan di toilet. 

Tidak banyak orang yang bisa demikian, saya pun masih jaaaauuuhhhhhh...rasanya. Saya belum tentu dengan senyum-senyum mengerjakan tugas sebaik-baiknya, pasti saya kerjakan sebaik-baiknya dengan bonus muka bete lalu memasang senyum pembawa luka. Mengambil keputusan untuk merubah atau menerima sepenuhnya keadaan yang tidak enak memang sialan banget dan tidak enak. Sering kali saya dengan serba ingin cepat sampai ke 'tujuan' saya dan keinginan saya, generasi instan sih katanya.

Minum

Kalau seandanya hidup ini hanya numpang minum, berarti hidup ini hanya sebentar, seharusnya saya lebih aware dong dengan segala senti hidup saya. Seharusnya saya lebih sering merayakan kehidupan, senangnya dan susahnya. Lalu saya lebih menikmati alunan ombak hidup saya. Toh hidup cuman sebentar, ya kan? Sayang penerapannya sulit sekali. Tapi bisa dicoba, barangkali. Kita ini hanya makhluk titipan, bisa langsung tiba-tiba 'di-booking' Tuhan kapan saja. Saya dan kamu hanya titipan di dunia. Sehingga relevan kalau saya bertanya kepada kamu, 'Hidup seperti apakah yang kamu pilih?'

Saya tahu sih hidup ini cuman numpang minum, tapi minuman seperti apa yang ingin saya minum? Perlukah saya minum? Itu kembali lagi pada diri sendiri, ya kan?

27.10.14

Tol Serang-Serpong Kilometer 35


Tol Serang-Serpong Kilometer 35
pic: fotosendiridongehbuset

Memandang pemandangan jendela di luar, seraya sayup terdengar band indie Alvin and I yang lyric nya penuh sirat makna. ' Ada hal yang tidak akan terdengar, kemampuan dalam berbicara. Terpadu dalam cairan, cair dan emosi. Kita pasti pernah bersuara, kita pasti pernah bersandiwara, pasti pernah bersuara... dalam emosi.'

Ada sebuah janji dalam hati bahwa saya akan mengikuti hati saya sendiri. Saya berjanji kalau ternyata ada suatu panggilan yang menggugah dan tidak bisa saya abaikan begitu saja. Panggilan itu di mana-mana, berbisik-bisik, menggelitik hati dan mencair dalam waktu. 

Ada yang tertinggal untuk dibicarakan, ada yang tertinggal untuk didengar. Kata hati. Dia sifatnya cair dan mengalir sesuai wadah. Menyesuaikan tempat. Namun sesuai dengan sifat air yang bisa bergejolak, ternyata ada gelombang pasang yang bisa sewaktu-waktu datang. Dan giliran saya sekarang. Gelombang saya sedang besar. Ternyata menutupi kata hati itu tidak mudah. Ada banyak pertahanan yang harus tinggal. Ada sebuah bendungan yang sewaktu-waktu akan meledak. Entah kapan.

Ada sandiwara yang harus dilakoni terlebih dahulu sebelum pada akhirnya bisa menjadi diri sendiri dan terbang dengan sayap sendiri. Ada yang harus dilakukan sampai tuntas terlebih dahulu, demi bisa mendapatkan tujuan di seberang pulau. Ada jalan memutar untuk sampai pada tempat yang sebenarnya. Bukan salah jalan, hanya memang untuk menemukan jalan kita harus tersesat. 

Saya sedang tersesat sekarang. Ada kabut tipis di depan mata saya yang kadang menebal, kadang menipis. Adalah tugas saya meraba-raba dalam gelap dan mencoba-coba. Ada pedoman pasti, mercusuar saya yakni kata hati. Harus diikuti setiap langkahnya. Saya harus bersabar dalam kehilangan arah ini. 

Ada scene hidup yang tidak bisa di-skip atau dipercepat pergerakannya. Ada proses di sana. Ada pertumbuhan di sana. Ada kebijaksanaan di sana. Ada kedewasaan di sana. Dan ternyata menjadi dewasa itu tidak mudah. Ada cerita dibalik seseorang dalam mencari jati diri dan cita-citanya. Ada harga yang harus dibayar untuk sebuah mimpi. Entah saya akan sampai ke sana atau tidak. Atau mungkin bisa saja mati muda. Tidak pernah ada yang tahu umur seseorang kan?

Tidak harus ada yang harus ditakutkan. Mungkin begini penziarahan hidup manusia di dunia ini. Bukankah seperti yang dikatakan oleh Goenawan Mohammad di buku favorite saya Tuhan & Hal-Hal yang Tidak Selesai: Artinya Ia tidak pernah selesai dengan manusia. Mungkin Ia tak pernah puas. Ia mencintainya tapi harus menyaksikan cacatnya.”

***

Saya harus tidur.
Besok saya harus bangun pagi dan bersandiwara lagi.
Sampai akhirnya saya jadi diri sendiri.
Selamat malam, damai sejahtera untuk kalian, pengejar mimpi.
Kurangkul dan kukecup kalian dengan sepenuh hati.
Teman seperjalanan, ikuti kata hati. 






26.10.14

Chef

pic: google


Sebelum saya lupa akan begitu menginspirasinya film ini, lebih baik saya tulis terlebih dahulu. Ternyata terinspirasi pada suatu hal itu layaknya air ketika diberi panas. Mendidih namun pada waktu dan titik tertentu bisa menguap begitu saja. Sehingga alangkah baiknya kalau momen yang menginspirasi itu bisa kita simpan atau didokumentasikan. Hingga sewaktu-waktu bisa kita buka dan ingat kembali.

Ada yang ajaib dari sesuatu yang bisa 'menggerakan', ini semacam menjadi sebuah trigger untuk kita latah ikut berkarya atau berbuat sesuatu untuk hal yang lebih baik lagi. Sesuatu yang dapat 'menggerakan' ini pastinya memiliki gelombang yang sama dengan frekuensi kita. Adalah hal yang menarik ketika kita bisa tergerak oleh sesuatu dan akhirnya bergerak. Dan film ini salah satunya. Saya merasa tergerak, terinspirasi.

Film ini menjadi menarik karena mengangkat tema yang sedang ngehits yakni food porn. Generasi kita ini sedang gencar-gencarnya menyukai kuliner yang memanjakan lidah lalu diunggah di sosial media. Film ini seolah menjadi cerminan kita yang sudah hidup serba viral dan porno dengan artian segala hal menjadi konsumsi umum. Ditambah dengan soundtrack yang pas sekali dengan tema film ini, aroma musik mumba dengan bit yang riang dan cepat.

Menurut saya film ini tidak membosankan sama sekali, saya tidak harus pindah posisi duduk karena bosan dan pegal. Saya tidak perlu gelisah melihat jam terus menerus, saya dengan sepenuh hati menikmati film ini dari awal sampai akhir.

Ada hal yang sebenarnya menarik dari film ini, rasanya tema yang diangkat cukup dekat dengan pergumulan hati saya. Itu sih sebenarnya hal yang bisa membuat saya bisa berkata: Men, ini film gue banget! Saya tidak akan menceritakan filmnya di sini namun jalan cerita seorang Chef  di restoran terkenal dan ramai pengujung yang akhirnya banting setir menjadi seorang penjual makanan food truck, mengikuti hati kecilnya untuk melakukan apa yang dia suka sesuai passionnya ini benar-benar nendang! 

Menurut saya tokoh di film ini hebat ketika pada akhirnya dengan segala harga diri yang dia punya menarik diri mundur dari suatu rutinitas yang tidak sesuai dengan hati kecil dan panggilannya, padahal dia sudah melakukan pekerjaan itu bertahun-tahun dan dia sudah 'nyaman' dengan pekerjaan itu. Namun pada satu titik dia melepaskan keyamanan itu semua dan memulai bisnis baru yakni food truck makanan Kuba. 

Saya suka sekali pada sebuah adegan di mana Chef ini harus memutuskan langkah selanjutnya setelah dia berhenti dari restoran terkenal tempat dia bekerja. Temannya si pramusaji, berkata:
"Ketika kamu menemukan hidup kamu tidak berubah, itu tandanya sudah saatnya kamu pergi meninggalkan dan berubah." Edaaaaannn!

Adalagi quote paling pecah dari film ini. Begini bunyinya:

 Carl Casper: I may not do everything great in my life, but I'm good at this. I manage to touch people's lives with what I do and I want to share this with you.

Sebenarnya kita ini mempunyai panggilan masing-masing untuk menyentuh hidup orang lain, berbagai cara sesuai talenta kita. Hingga sudah seharusnya kita bisa melakukan yang terbaik dan mengikuti passion kita tanpa harus takut mengambil langkah besar untuk keluar dari kenyamanan. Memang sering kali meraih kebahagiaan itu harus susah-susah dahulu dan ternyata kebahagiaan untuk bekerja sesuai passion itu tiada tara.

***


Hai pembaca blog yang budiman, sudahkah mengikuti passion anda dan berbahagia karenanya?





22.10.14

Pertanyaan Penting Abad Ini



'Dalam bekerja kita bukan cuman kerjaan beres, gaji lancar, dapat bonus, ga dimarahin bos, bikin  kaya perusahaan, buat perusahaan maju dan terkenal doang kan?'

'Kita kerja untuk tujuan lebih dari itu kan?'

'Kita  kerja juga untuk berelasi dengan orang lain, kerja sebagai bentuk ibadah, kerja untuk  menyempurnakan eksistensi kita sebagai manusia dan menjadi manusia yang bisa jadi terang dan garam manusia, kan?

 'Ya kan?' 






18.10.14

Konklusi Akhir Pekan

Saya sedang membaca sebuah buku judulnya The Happines Project. Saya mengambil buku itu untuk dibaca karena akhir-akhir ini saya bertekad untuk mengubah hidup saya. Sering kali saya merasa bosan dengan rutinitas yang itu-itu saja, tanpa akhirnya bisa belajar sesuatu dari situ. Lalu pada akhirnya saya berandai-andai, seandainya saya bisa berada di pantai, menikmati sunset, mendengarkan lagu yang saya suka, membaca buku dan menulis, hidup saya pasti akan lebih baik. Itu yang setiap kali saya pikirkan setiap kali saya duduk di bus menuju kantor. Jelas dengan pikiran ini saya sedang 'tidak bahagia'. Saya tidak menemukan hal yang menarik di hidup saya akhir-akhir ini. Semuanya mundane. 

Ketika saya masih kuliah, saya punya anggapan bahwa happines is a state of mind. Itu sesuatu yang ada di pikiran kita bukan apa yang kita punya. Semudah bahwa sebenarnya pikiran itu bisa diperdaya untuk merubah hidup. Jikalau saya terus menerus berpikir bahwa saya tidak suka dengan hidup sekarang yang saya jalani ini, maka saya akan terus terusan merasa bahwa saya tidak bahagia.

Lalu akhirnya, saya memilih untuk membaca buku The Happines Project ini. Saya meneropong bahwa kerap kali saya melewatkan 'syukur' untuk apa yang saya punya. Saya melewatkan bahwa saya memiliki hal lain yang sebenarnya bisa dikembangkan. Menyadari bahwa kita memiliki sesuatu yang bisa kita 'berdayakan' hingga akhirnya membuat kita jadi semangat.

Saya mempunyai project baru untuk hidup saya karena saya tidak ingin menjadi orang yang lesu dalam hidupnya lalu nanti dengan menghela nafas akan berkata 'Saya belum melakukan apa-apa untuk mimpi saya.' Ouch, tragedi.

Langkah awal untuk menciptakan sesuatu yang baru selalu tidak mudah. Dan saya lakukan mulai dari diri sendiri dan bisa kelihatan yakni memotong rambut. Oke, simple tapi saya sudah senang dipijat-pijat kepalanya dan mendapat potongan rambut yang lebih fresh. Semenyenangkan bau rambut yang wangi sehabis keramas. Saya sudah senang. Ternyata bahagia itu sederhana.

Melihat gambaran saya yang memang pada dasarnya cepat bosan, membuat saya harus extra keras mencari sesuatu yang baru agar saya lebih tertarik dengan hidup. Sebenarnya dengan demikian saya belajar untuk lebih mengenal diri sendiri dan menerima kalau saya mudah bosan. Jadi, saya harus lebih aktif dari orang lain. Eh, gitu gak sih?




12.10.14

Firdaus




"Tidak sesaat pun saya ragu-ragu mengenai integritas dan kehormatan diri sendiri sebagai wanita. Saya tahu bahwa profesi saya telah diciptakan oleh lelaki, dan bahwa lelaki menguasai dua dunia kita, yang di bumi ini dan yang di alam baka. Bahwa lelaki memaksa perempuan menjual tubuh mereka dengan harga tertentu, dan bahwa tubuh yang paling murah dibayar adalah tubuh isteri. Semua perempuan adalah pelacur dalam satu atau lain bentuk. Karena saya seorang cerdas, saya lebih menyukai menjadi seorang pelacur yang bebas, saya lebih menyukai menjadi seorang pelacur yang bebas daripada menjadi seorang isteri yang diperbudak. " -  Perempuan di Titik Nol halaman 132-133  ( Nawal el-Saadawi) 

Ada segurat rasa penasaran pada sebuah buku mungil berwarna merah ini. Buku ini selalu disebut-sebut di setiap kritik sastra feminis. Ada yang berkata bahwa buku ini terlalu feminis, terlalu memojokkan peran laki-laki, sebuah kritik sosial yang pedas. Namun menurut saya, buku ini berani karena mengupas tatanan sosial dan politik pada zamannya. Pengarang buku ini adalah Nawal el-Saadawi, seorang dokter bangsa Mesir. Ia dikenal di seluruh dunia sebagai novelis dan penulis wanita pejuang hak-hak wanita.

Saya menyukai sastra karena dalam sastra saya bisa lebih mengenal hidup dari sisi yang berbeda. Bahwa sebenarnya hidup ini abu-abu, tidak sepenuhnya hitam dan tidak sepenuhnya putih dan bagi yang melihat hanya salah satunya saja, dia miskin perspektif. 

Seperti judul tulisan ini, Firdaus. Firdaus adalah tokoh utama dari buku ini yang adalah seorang pelacur. Pelacur yang meneriakkan suaranya akan ketidakadilan posisi perempuan di masyarakat. Mirisnya dalam buku ini adalah banyak perempuan yang tidak merasa ditindas lalu merasa itu adalah suatu hal yang lumrah untuk perempuan diperlakukan tidak adil. Dan malah berbalik menyerang Firdaus karena Firdaus merasa tatanan ini salah dan dia memberontak. Ada satu perikop yang cukup menohok saya yakni saat Firdaus kembali pulang ke rumah Pamannya karena habis dipukuli oleh suaminya namun Pamannya malah berkata bahwa semua suami memukul istrinya, dan istrinya menambahkan bahwa suaminya pun seringkali memukulnya. Lalu Firdaus pun berkata pada pamannya kalau tidak mungkin pamannya ini memukuli istrinya karena ia terhormat dan terpelajar dalam hal agama, tidak mungkin memiliki kebiasaan memukuli istrinya. Namun dibalas oleh pamannya dengan jawaban, justru laki-laki yang memahami agama mengijinkan untuk melakukan hukuman itu. Aturan agama mengijinkan untuk melakukan hukuman itu. Seorang isteri yang bijak tidak layak mengeluh tentang suaminya. Kewajibannnya ialah kepatuhan  yang sempurna.

Tidaklah saya mengerti bahwa tafsiran agama manakah yang dapat mengeluarkan statement seperti itu? Saya rasa ini bukan urusan agama namun manusia itu sendiri yang salah menafsirkan hingga akhirnya menjadikan agama sebagai dalil tertinggi untuk bisa dihormati dan dipatuhi. Saya benci sekali jikalau segala sesuatu dihubungan dengan hukum agama dan penafsiran sendiri bahwa Tuhan itu begono begini. Hingga akhirnya saya rasa manusia sendiri yang membuat gambaran Tuhan itu begono begini, bahwa Ia Maha Penghukum. Mungkin memang kita manusia terlalu sok tahu untuk menyelami semua pemikiran-Nya. Hingga akhirnya kita, manusia menjelma menjadi tuhan itu sendiri.

Buku ini sungguh menggambarkan bahwa tubuh perempuan bukanlah milik perempuan, namun milik laki-laki. Karena tubuh perempuan bisa dibeli dan sewaktu-waktu bisa ditinggalkan apabila sudah bosan. Perempuan tidak memiliki haknya atas tubuhnya sendiri dan di buku ini juga digambarkan bahwa perempuan tanpa dilindungi oleh laki-laki, maka dia tidak aman dan tidak dianggap. di masyarakat. Anggapan bahwa laki-laki sebagai pelindung rasanya sangat kontradiktif sekali. Melindungi dari apa? Dari laki-laki lain yang akan menyakiti dan merampas tubuhnya? Namun apa bedanya jikalau 'lelaki pelindung' atau suaminya pada akhirnya malah jadi momok yang menakutkan dan sumber kesengsaraan. Dari mana perlindungannya? 

Ada satu yang cukup menggelitik saya dari sekian tokoh laki-laki di buku ini. Ada satu tokoh namanya Ibrahim, dia adalah teman Firdaus yang menjadi salah satu kekasih Firdaus. Dia tipe laki-laki kritis, pintar yang meneriakkan revolusi. Seorang revolusioner, pada awalnya saya jatuh cinta pada tipe Ibrahim ini. Sosok yang memanjakan otak dan intelegensi bukannya menawarkan harta seperti lelaki lain di buku ini. Sosok yang menawarkan rayuan baru yakni sesuatu yang saya bilang sebagai tipe laki-laki yang mampu men-seduce otak dengan pemikiran-pemikiran smartnya. Sayang ujung-ujungnya dia pun lari meninggalkan Firdaus dengan putri presiden direktur tempat Firdaus bekerja. Hal yang mau digambarkan nyata dalam buku ini adalah betapa laki-laki mudah tergoda dengan kekuasaan. Saya rasa sebenarnya tidak hanya laki-laki namun perempuan juga. Pada akhirnya manusia menginginkan rasa menguasai manusia lainnya. Layaknya bermain peran budak-majikan. Sebuah perasaan primitif manusia untuk menguasai. 

Menurut saya buku ini buku yang galak. Kritiknya nyelekit dan tajam. Bisa saja pada zaman ini kita memandang buku ini sebagai kemarahan seorang perempuan atas laki-laki, mungkin karena dia aliran sakit hati pada laki-laki, sebagai pelarian cinta yang ditolak dan ditinggalkan. Banyak orang yang menuduh feminist seperti itu, namun kembali lagi. Kita tidak berhak menghakimi seseorang dan cara pandangnya, hanya karena dia bersebrangan dengan kita. Saya rasa si penulis buku ini adalah perempuan yang berani dan saya kagum dengan karyanya karena dia menyuarakan situasi ekstrem yang terjadi pada zamannya dan meneriakkan suara-suara perempuan pada zamannya. 

Bagi saya hal yang paling kasihan adalah bukan pada orang yang tertindas dan meneriakan keadilan namun dihiraukan. Tapi orang-orang yang tidak menyadari bahwa ia tertindas dan menganggap itu adalah tatanan sistem yang benar dan membenarkan hal itu terjadi pada orang lain. Tidak menyadari kalau dia juga korban itu kasihan, sungguh kasihan. 




20.9.14

Null


Pada hari ke enam dalam suatu minggu, bersantai mendengar hujan dengan rambut basah sehabis keramas, menggunakan baju longgar dan celana pendek, menulis dengan lutut kedinginan nampaknya sebuah kenikmatan tiada tara. Jangan tanyakan akan kehidupan lima hari sebelumnya karena sesungguhnya pada lima hari itu telah menjadi zombie rutinitas yang mati enggan hidup pun tak mau. Padahal sebenarnya mempunyai banyak pilihan untuk bisa mencari sweet escape dan mencari kebebasan. Benar kata orang bahwa tidak hanya di puncak gunung tertinggi di Tibet saja yang menjual galon-galon oksigen untuk hidup, dalam keseharian kita juga fakir oksigen. Di tengah gedung-gedung yang menjulang membosankan dan kosong. Pencarian dunia fana yang katanya adalah mencari nafkah. Namun apakah sebenarnya hidup ini hanya sekedar makan dan buang hajat saja? 

Radio dan televisi masih saja berkoar-koar membodohi publik dan membesar-besarkan berita menutupi bau masam rokok dari penjilat dan koruptor. Tidakkah kita termanja dengan media massa sehingga pada akhirnya menjadi budak-budak televisi dengan informasi simpang siur yang menjejali otak dua puluh empat jam. Hingga pikiran kita teracuni dan meneropong pada kenyataan yang salah sedangkan si cukong pembayar berita sedang tertawa-tawa akan pembodohan masal. Siapa yang harus kita percaya lagi?

Ada kegelisahaan yang rasanya belum bisa saya jawab, sebuah pertanyaan besar yang masih menggantungi kaki ke manapun pergi. Bahwa pada akhirnya saya bukan lagi manusia yang mengikuti ke mana hati membawamu, tapi manusia yang mengikuti ke mana realitas membawamu. Ternyata pembelajaran keras bahwa suara-suara dan pertanyaan yang tidak mau pergi itu selalu ada. Bahwa mulut bisa saja bungkam namun pikiran tidak. Kita ini manusia merdeka di pikiran kita masing-masing. Satu-satunya kemerdekaan yang kita punya sekarang yakni kemerdekaan pikiran, meski tidak memiliki kehendak bebas. 

Atau jangan-jangan sebenarnya manusia itu adalah budak dari keinginannya sendiri. Keinginan itu selalu ada dan terus menerus memupuk diri untuk bisa terwujud. Bagaikan anak kecil gendut yang merengek-rengek minta susu pada ibunya padahal gigi geliginya sudah soak di makan manis dan aliran air susu yang berkerak lengket sudah menempel di pipi, dagu dan lehernya. Jangan-jangan kita ini hanyalah budak dari idealisme kita sendiri. Keinginan untuk membuat sebuah situasi menjadi lebih baik lagi dan melihat segala sesuatu dari sisi humanisme padahal dunia tidak pernah memenangkan orang humanis. Dunia ini kapitalis. Siapa yang menawar harga tinggi dia yang memiliki dunia. Hingga tidak hanya dunia saja yang bisa dibeli, manusia juga bisa dibeli bagaikan barang komoditi. Menjual diri dengan kesadaran penuh karena ada banyak mulut yang harus diberi makan dan ada banyak nyawa yang harus disambung. Tidak ada lagi perkara adil dan tidak adil karena kita bukan tuhan yang bisa mengeja kata adil dengan sempurna. 

Hingga akhirnya, kita ini sebenarnya apa?

Lalu sayup-sayup terdengar lagu Donna-Donna mengalun. 

"Stop complaining", said the farmer
 Who told you a calf to be?
Why don't you have wings to fly with
Like the swallow so proud and free?










14.9.14

Before Sunset




***

Film yang isinya dialog semua ini bisa membosankan, kalau seandainya kamu penggemar film action
yang bak bik buk. Ini 100% percakapan. Dan ternyata saya memang rindu dengan percakapan yang ada content-nya. Ternyata percakapan itu sesuatu yang mahal harganya. Dan tidak semua orang bisa diajak berdiskusi dan bercakap-cakap. Jadi rindu masa kuliah di mana saya masih suka sok-sok pinter dan ngobrol ini itu tentang berbagai macam topic. Dan tidak melulu berbicara tentang ketertarikan lawan jenis. Namun mencari lawan bicara yang sepadan dan satu frekuensi itu tidak mudah. Iya. 





24.8.14

Beda Frekuensi


Berkenalan dengan laki-laki yang membuat alis matamu mengangkat tinggi-tinggi itu benar-benar suatu pengalaman. Ternyata di luar sana masih ada saja laki-laki yang harus menjadi nomor satu dalam segala hal, bahwa dia keren ini itu,  dia pintar ini itu, gaji besar ini itu, dia pergi ke sana sini, dia adalah Don Juan dengan gadis-gadis yang mengandrunginya ini itu. Ouch. Saya sarankan lebih baik kamu ( maksud 'kamu' di sini adalah kamu sebagai perempuan yang malas berpura-pura menjadi bego untuk mengelus ego mereka) minggir. Aduh itu rasanya 'nggak banget'. Kamu berbicara dan mengobrol tapi pembicaraannya melulu tentang dia. Dia begini begitu. Seolah membuat monolog pribadi. Seolah kamu dan dia hanya bertukar omongan saja bukan bercakap-cakap. Astaga membosankan sekali.

Tapi perlulah juga kamu berkenalan dengan banyak laki-laki seperti ini sehingga kamu menjadi tahu pasti bahwa ada loh 'makhluk beginian'. Laki-laki ini melihat segala hal bisa dibeli dengan uang, termasuk cinta. Mungkin saja dengan pengalaman yang dia anut dari perempuan yang dia hadapi hampir semuanya begitu. Dan saya bosan sekali dengan laki-laki ini, jikalau merasa dengan begitu cinta perempuan bisa dibeli.  

Saya pikir mungkin laki-laki seperti ini seharusnya memang bersatu dengan perempuan yang juga menyukai jenis seperti ini, yang harus menjadi nomor satu dan maskulin di berbagai kesempatan. Dengan pandangan penuh kekaguman menatap dia. Lalu berpura-pura bego sehingga dia bisa memamerkan kepandaiannya. Hingga kebutuhannya adalah diakui saja keberadaannya. Bukannya sebenarnya dia pamer itu sebagai pertanda dia insecure? Seperti anak baru pubertas yang butuh pengakuan dari orang tuanya, bahwa saya sudah dewasa.

Akh. Bosan sekali. Mungkin setelah saya pikir, kita hanya beda frekuensi. Frekuensi kita terpisah mungkin saya AM dia FM, tidak ketemu ujungnya. Ganjil. Kalau kebutuhan saya sebagai perempuan tidak bisa tercukupi dengan gaya sok maskulin dan maunya jadi nomor satu di segala bidang itu. Saya tidak bisa. Saya tidak suka jikalau saya harus membodohi diri saya dan menyadari bahwa ketertarikan kita berbeda. Dia menyukai sesuatu yang glamorous, sesuatu yang bisa dibeli, sesuatu yang mudah dilihat, dan pembicaraan kita seputar cewek cowok saja. Aih... gue berasa arisan sama ibu-ibu jadinya.

Ketika yang dia bicarakan adalah barang branded sedangkan saya lebih tertarik pada issue petani kopi yang tidak mendapat penghidupan yang layak padahal orang Indonesia suka kopi. Lha... gak nyambung kan ya? 

Sampai suatu kali saya spontan berteriak
" Ah, ini kan lagunya Queen yang Bohemian Rhapsody!"
" ..." 
" Gila gue suka banget sama Queen, Beatles..." ujarku lagi.
" Oh... Beatles. Gue gak suka Beatles, lagunya kenceng banget buat gue." 
...
...
"Pulang yuk." ujarku kemudian.

Apakah saya gak salah dengar? Katanya Beatles lagunya kenceng?! Gimana kalau dia dengerin Lamb of God? Meledoos kali kupingnya. 





19.8.14

Kumis


Tidak menahu apakah aku akan melanjutkan pertemuan kita setiap dua minggu sekali di gereja atau tidak. Pertemuan sakral menyita perhatian besar dan waktu yang mahal harganya untuk bisa dibeli kembali. Memilih baju manis, bangun tidur lebih pagi dari biasanya, acara mandi besar, mematut diri di cermin ribuan kali untuk meyakinkan diri rambut tertata sempurna, memoles lip balm berkali-kali, bukannya karena alpa tapi sekedar menebalkan niat demi hati yang bergemuruh gugup. Pertemuan ini sederhana tidak berlebihan, dengan frekuensi sebulan dua kali di minggu genap, ke dua dan ke empat. Mengapa harus genap? Kebetulan indah yang tak disengaja kurasa.

Semua yang berhubungan dengan dia harus dilakukan ekstra hati-hati. Sesuatu yang harus disempatkan dan diberikan ruang khusus bagi pengunjungnya. Sesuatu yang menggunakan hati dan menggunakan bahasa perasaan. Entah mengapa aku terjerumus ke dalamnya, tertular ritmenya dan tidak bisa menolak. Seberapa pun keras aku berusaha berontak, semakin erat ia menjerat. Barangkali cinta mereka menyebutnya.

Pertemuan pertama kami sekedar sebuah tatap mata dari kejauhan. Sebuah pesan maha cepat dari mata ke otak akan sebuah ketertarikan, sebuah pesan singkat yang bekerja kilat tanpa ruang dan waktu. Entah alasan khusus apa yang membuat aku menetap. Mungkin kumisnya. Kumis lebat yang membingkai wajahnya yang sempurna. Atau mungkin memang aku saja yang memiliki apresiasi lebih pada kumis.

Aku baru ingat waktu kecil pernah kudengar cerita dari ibuku saat pertama kali berjumpa dengan ayahku di bis. Aku bertanya saat itu; mengapa Ibu tertarik dengan Bapak yang biasa saja, lalu Ibu menjawab, “Karena bapakmu itu berkumis, macho sekali kelihatannya,” lalu Ibu tersipu malu. Saat itu sebagai gadis kecil yang buta akan cinta dan selalu kegelian saat dicium Bapak, jelas tak mengerti akan arti kumis Bapak bagi Ibu. Kini aku baru sadar bahwa apresiasi berlebihan pada kumis adalah bawaan genetik dari Ibu.

Minggu ini adalah pertemuanku yang kelima. Masih lama tiga jam lagi namun jantungku sudah tak karuan sedari kemarin. Seperti kata Pat Kay si siluman babi di film Kera Sakti, ‘Cinta, deritanya tiada akhir.’ Hanya itu kutipan cinta yang kuhafal dari jutaan kutipan cinta, pilihan ingatanku jatuh pada falsafah si babi mesum ini. Memang benar bahwa derita yang kurasa ini adalah percampuran khusus antara cinta dan sesak. Semakin kritis kurasa hatiku ini. Hatiku ini repot sekali karena dia gengsi dan takut dengan cinta. Dia sebenarnya mau dan penasaran tapi takut untuk hanyut di dalamnya karena sudah berkali-kali salah jalan, salah arah. Trauma, kalau kata orang. Mungkin sebenarnya ini yang salah, bagaimana mungkin bisa mencinta tapi terlalu penakut dan terlalu perasa. Terlalu banyak berpikir kalau kata temanku.

Pertemuanku kali ini singkat, setelah gereja usai lalu kami pun ngobrol sejenak. Hatiku rasanya malu sekali, aku yakin pasti senyumku sudah terpahat di sana, melengkung lebar dan tidak bisa luntur.  Aku merasa bodoh sekali dan jantungku sudah mau lompat rasanya terlampau senang. Bagaimana mungkin ada suatu situasi di mana kita setengah mati ingin bersama, sekaligus ingin melarikan diri sejauh-jauhnya karena takut terbakar sendiri dengan gejolak energi yang terlalu kuat. Benar kata orang kalau kebahagiaan yang berlebihan itu melelahkan.

“Mau makan siang apa?” tanyaku, berusaha santai dan kasual. Dia lebih muda satu setengah tahun dariku dan aku berharap itu tidak masalah. Toh, aku masih sering disangka anak sekolah dari pada anak kuliah tingkat akhir.

“ Belum tahu. Kalau kamu?”  Ia bertanya balik, menatapku dan tersenyum.

Aku seratus persen yakin kalau dia tahu aku hanya mencari-cari alasan basa-basi. Dia pasti tahu motivasi dibalik ini semua. Aku merasa seluruh darahku mengalir lebih deras ke wajahku, ingin rasanya aku melarikan diri saat itu juga dan menyembunyikan diri di tempat lain. Tapi tidak, aku masih ingin melihat binar matanya, sebentar saja.

“ Saya mau makan mie bebek saja. Kamu mau ikut?” Semua alasan, semua kesempatan aku raup menjadi satu. Terlanjur basah sekalian saja lompat dan berenang. Bukan begitu?

“ Rasanya saya tidak bisa, ada acara ulang tahun teman, kayaknya harus pulang,” jawabnya dengan ekspresi lucu. “Kita jalan pulang bareng saja, kebetulan searah,” ujarnya kemudian seakan bisa membaca mataku yang redup, kecewa seketika.

Pasti. Mukaku pasti sumringah dengan mata berbinar-binar. Aku tidak tahu bagaimana caranya untuk bisa menutupi hal tersebut agar tidak terlalu ketara. Aduh, itu tidak terlalu penting, kini permasalahannya apa yang harus dibicarakan agar tidak gagu dan mati gaya.

Tenang, tenang kamu pasti bisa! Anggap dia adalah teman biasa. Ujarku dalam hati guna menenangkan jantungku yang tengah berkerja keras. Dia nampak tenang, tinggi dan anggun. Sementara aku yang setengah mati berusaha mencari-cari pegangan agar tidak terjatuh agar lututku tidak lemah dan sanggup berpijak.

Aku tahu ini tidak baik, sudah terjatuh sedari awal. Tapi entah mengapa aku merasa tersedot ke gelombang energinya yang kuat dan aku tidak tahu apa itu. Seolah energi yang dia punya menarik energiku sendiri untuk lebih dekat dan aku pasrah. Aku tahu seharusnya aku tidak semudah ini menyerah dan menggunakan logikaku agar aku terlindungi dari rasa sakit yang bisa datang kapan saja. Siap atau tidak siap.

***

Ada sesuatu yang berbeda dari dia. Dia itu sederhana dan simpel, itu yang aku lihat. Aku suka melihat dia memakai baju oranyenya yang lusuh, belel dan kebesaran itu ke gereja, dengan kumis yang belum dicukur dan rambut tanpa gel. Pas. Nyaman dengan diri sendiri sepertinya itu poin paling penting buatku, rasanya itu daya tarik yang paling berkilau bagiku.  Dia seolah begitu yakin dan paham betul dengan keberadaan dirinya dan prinsip apa yang dia punya. Kalau kata temanku dia itu tipe lelaki di iklan-iklan rokok, jantan dan tahu apa yang dia mau.

“Hai, kamu mau makan apa? Mie bebek lagi?” tanyamu basa-basi seraya berdiri ketika aku menghampirimu selesai misa.

“Sepertinya begitu. Kamu apa?” tanyaku berbalik padamu. Berusaha tampil santai.

“Kamu tidak bosan yah setiap minggu makan mie bebek terus?” tanyamu dengan wajah lugu.

Sejenak aku bingung hendak menjawab apa. Mengapa otak dan mulut tidak pernah sinkron seolah jadi disfungsi setiap kali berbicara dengan orang yang kamu damba dengan segenap hatimu? Seolah otakmu tidak mengirimkan pesan-pesan pintar yang biasa kamu ucapkan dan mulutmu seolah kelu dan hanya sanggup tersenyum malu saja. “Aku tidak bosan, toh hanya satu kali dalam seminggu. Kurasa aku menyukai kebiasaan, sesuatu yang berulang dan sudah kukenal.” Hanya itu jawaban terbaik yang bisa aku keluarkan dari otakku yang lamban.

“ Apakah kamu orang yang suka tantangan atau sesuatu yang tidak bisa kamu control, sehingga mau tak mau kamu harus mencobanya?” tanyamu dengan menempelkan pandangan statis tak lepas.

Aku kelu seketika. Sepertinya dia tahu apa yang ada di dalam diriku. Bahwa aku si pencinta ‘zona nyaman’ yang takut dengan semua hal asing yang belum aku ketahui. Si penakut ini juga tidak suka dengan sebuah keadaan yang tidak bisa dia control. “Kamu kok tahu?”

“Mungkin ada baiknya kalau kamu memasukkan dirimu sendiri ke sebuah situasi yang membuat darah kamu berdesir dan takut. Kamu baru bisa jadi hidup. Hidup itu bukan sesuatu yang bisa kamu control terus menerus. Kamu tahu?” sahutnya dengan tersenyum jenaka. “Cobalah sekali waktu.” ujarnya lagi seraya memandangku. Apa yang dia katakan seolah sebuah pesan untuk jiwaku. Dia seperti sudah mengenalku sejak lama dan bisa membaca apa yang aku pikirkan. Aku tiba-tiba merasa ngeri dan senang.

“Apakah kamu punya pengalaman serupa? Nampaknya kamu berpengalaman sekali dalam hal ini.” tanyaku padanya seraya mencari matanya. Badannya tinggi kokoh mungkin tinggiku hanya selengannya saja. Apabila dia melihatku, dia harus menundukkan kepalanya dan mencondongkan badannya ke arahku. Kedekatan ini membuatku gerogi namun senang. Kadang aku mengutuki diriku sendiri, kenapa aku tidak bisa bersikap lebih tenang, mengapa aku seperti anak anjing yang hiperaktif kesenangan bertemu dengan majikannya setelah seharian tidak bertemu, dengan mata berbinar-binar dan ekor mengibas ke sana ke mari.

“Ya, ketika itu saya harus magang di sebuah hotel karena kebetulan ada mata kuliah yang mengharuskan saya untuk praktek. Saat itu saya khawatir sekali karena saya takut kalau saya tidak bisa tembus ke salah satu hotel internasional yang saya inginkan. Saya ingin menjadi salah satu staff di bagian front desk. Ada ketakutan tidak bisa melayani tamu dengan baik karena kendala bahasa. Namun pada akhirnya, saya lakukan saja dan saya belajar banyak. Tidak semua yang kamu takutkan itu terwujud, itu sebagian besar hanya ilusi dari otak kita saja yang terlalu pengecut untuk melakukan ini itu.” ujarnya panjang dengan mantab dan tenang. “Ketika kamu tidak mencoba, kamu tidak akan pernah tahu sampai di manakah kemampuan kamu. Dan setidaknya jikalau kamu gagal dalam hal tersebut, kamu sudah membuat suatu kemajuan dari diri kamu. Kamu berani sehingga kamu bisa mencari kesempatan yang lain. Daripada kamu bertanya-tanya pada diri sendiri, sampai di manakah kemampuan saya sebenarnya, lebih baik kamu coba.”

Aku mendengarkan ucapannya seraya berpikir betapa beruntungnya aku bisa bertemu dan berbicara banyak hal dengan orang ini. Entah mengapa berbicara dengannya selalu menarik dan menyenangkan, seolah dua otak kami mengeluarkan cairan ide yang serupa tanpa harus dijabarkan dengan kata-kata. Pembicaraan kami mulai berpedar ke keinginan kami masing-masing di suatu hari nanti, rencana-rencana ke depan, keinginannya untuk membeli motor bekas karena dia mulai malas naik bus ke mana-mana, keinginannya unuk pindah rumah dan sebagainya. Aku sudah tahu semenjak pertama kali aku berjumpa, aku akan jatuh hati. Namun aku tidak pernah tahu seberapa dalam jatuhnya. Aku harap hatiku bisa sedikit waspada dan memiliki sayap cadangan untuk berjaga-jaga, jikalau …

***

Sudah hampir sebulan dia tidak ke gereja lagi. Ada apa gerangan? Apakah dia sudah pindah rumah? Atau sedang sibuk? Tidak ada yang tahu. Aku mulai rindu dengan percakapan kami sehabis pulang gereja, rindu setengah mati dengan kumis yang membingkai wajahnya dan binar matanya saat menatapku dalam. Hatiku serasa payah dan dingin setiap kali kulihat dia tidak ada di mana-mana. Kamu ke mana saja? Pertanyaan singkat yang ingin aku ucapkan padanya jikalau bertemu kembali. Aku merindunya dengan segenap hatiku, seolah tubuhku pun merasakan sinyal otakku yang nelangsa. Bahwa sesungguhnya tubuhku ini menjadi begitu sensitif dan mengetahui apa yang hatiku rasakan hingga seluruh sel dalam tubuhku pun merindukannya. Seolah energi maha magis itu lenyap dan tubuh ini layaknya sebuah sterofoam yang mengapung di air, pasrah mengikuti arus ke mana saja.

Bagaimana cara menggambarkannya dengan lebih jelas? Ketika kita rindu dengan seseorang betapa rasanya satu alam semesta seolah bersengkongkol dengan melakukan segala hal yang membuatmu mengingat tentang dia, betapa terkadang banyak kebetulan-kebetulan kecil yang muncul lalu menguatkan rasa rindumu itu, lalu kamu mulai berbisik pada diri sendiri; aku kangen, kamu di mana?
***

Setelah sekian lama, kau datang kembali. Aku setengah mati ingin berbicara denganmu. Namun kulihat rasanya kau berbeda, bukan sosok itu yang aku kenal. Kau nampak dingin dan menyendiri, entah mengapa. Kau bahkan tidak berani memandang mataku, kau sibuk dengan duniamu sendiri. Kau nampak seolah kehilangan sesuatu yang penting darimu, kau seolah menghindar untuk berbicara padaku tanpa alasan yang jelas. Mungkin aku salah, tapi apa? Aku tidak tahu. Kuurungkan niatku untuk berbicara denganmu, mungkin kamu butuh jarak. Mungkin. 

***

Waktu bagaikan pencuri ulung yang datang tanpa permisi kapan saja. Seolah kita manusia dikhianati mentah-mentah oleh waktu. Kita mengira masih banyak waktu yang kita punya, kesempatan itu ada di mana-mana, dan momen itu sesuatu yang harus ditunggu sampai sempurna. Kenyataannya tidaklah begitu, kita salah jikalau selalu menunggu sampai momen yang pas untuk melakukan sesuatu karena nyatanya momen yang sempurna dan pas itu tidak ada. Kitalah yang membuat momen itu sendiri.

Aku harus segera menyampaikan pesan singkatku padanya kalau aku sebentar lagi harus pulang, untuk melanjutkan mimpi-mimpiku lagi. Betapa perkataan itu sulit sekali keluar dari bibirku, pesan singkat sederhana untuk berpisah. Bagaimana caranya untuk menyampaikan ini padanya karena sudah pasti hatiku meronta dan mengigil. Bahasa perasaan tidak pernah bisa disampaikan dengan sederhana, betapa sulit untuk mengucapkannya dengan jujur bahwa hati yang aku punya ini lebih dari ini, hatiku ini sudah menahu semenjak pertama bertemu bahwa dia sudah punya hatiku sedari awal. Sedari awal.

“Hallo.” Kuberanikan diriku untuk menyapamu. Kau menatapku.

“Kamu kapan pulang?” tanyamu langsung. Mungkin dia sudah tahu semua isi otakku.

“Akhir bulan ini.” ujarku padamu sambil mencari matamu. “Tapi saya rasanya tidak ingin pulang, saya masih ingin di sini.” kataku kemudian. Kutatap matamu dalam, yang kudapatkan hanya tatapan sendu nanar dan kau tidak bersuara. Diam.

“Sebelum pulang saya ingin makan bareng denganmu. Kamu ada waktu?” tanyaku berusaha mencuri kesempatan untuk sebuah momen perpisahaan yang bisa aku ingat. Kita kenalan baik-baik, dan berpisah pun harus baik-baik. Tapi aku selalu berbisik dalam hatiku, kita berdua pasti bertemu lagi, pasti ada kesempatan, pasti ada waktu, pasti ada momen, pasti ada.

“Kita lihat nanti yah, saya harus cek jadwal saya dahulu. Nanti saya kabari.” jawabmu dingin.

“ Iya, kabari saya, ya.” sahutku dan berbalik arah lalu pergi.

Sejak itu kita tidak pernah bertemu lagi. Saat itu juga aku merasa itu terakhir kalinya berbicara dengan dia dan menatap matanya. Kupejam mataku erat-erat dan kurekam detik-detik itu. Seandainya masih ada waktu. Seandainya kita bisa memperbaiki apa yang salah dan memulainya dari awal.

***
Tidak ada yang tahu kapan kadaluarsanya waktu kita bersama dengan seseorang. Meski rasanya indah dan hangat, bisa saja momen itu lenyap semudah embun di pagi hari. Tidak ada yang abadi dibawah langit ini. Tidak ada siapapun yang memiliki siapapun, kita ini hanyalah titipan. Tidak ada yang tahu kalau pandangan mata itu adalah pandangan mata terakhir yang aku punya dan tidak ada yang tahu kalau percakapan itu adalah percakapan terakhirku dengannya. Tidak peduli seberapa sakit hatiku, seberapa ingin hatiku untuk mencegah itu terjadi. Itu tetap terjadi dengan jalannya sendiri.

Aku terhenyak pada sebuah kenyataan, bahwa tidak setiap cinta berakhir seperti yang kita duga, ada beberapa hal yang tidak bisa kita dapatkan meski hati dan perasaan ada dan sama. Namun ketika waktu dan takdir tidak mengada, semua jadi tiada.
  
Namun satu yang tidak berubah, aku mencintainya maka aku tidak akan pernah selesai mendoakan keselamatannya*  dan aku yakin Tuhan pun akan selalu melindunginya.


&&&


Nb. Ini sebuah cerpen yang saya buat setahun yang lalu dan menang juara favorit.
Dari pada teronggok lebih baik kita taruh di sini bukan? :) 




*Sapardi Djoko D.

16.8.14

Lama-lama otak saya butuh reparasi


Saya akhir-akhir ini sedang gelisah dengan rasa penasaran saya. Otak saya sedang banyak pertanyaan yang tidak ada ujungnya, (karena setiap pertanyaan berbuntut panjang dan melahirkan pertanyaan lain lalu saya pusing sendiri dengan pertanyaan saya). Apakah karena terlalu banyak memperhatikan dan mengamati maka banyak berpikir, atau terlalu banyak bertanya sehingga akhirnya pusing? 

Saya akhir-akhir ini sedang berpikir tentang 'perbedaan'. Setiap manusia sangat sensitif dengan perbedaan, mereka mengidentifikasi sesuatu dengan mencari persamaan dan perbedaan. Lalu mereka akan menjadi nyaman dan erat pada hal-hal yang sama dengan identitas mereka.

Ada yang menarik, ketika pemikiran perbedaan itu menjadi sesuatu yang 'salah' dan 'beda', bukan sekedar sesuatu yang berbeda dan diterima begitu saja. Sebuah prespektif akan perbedaan yang dibeda-bedakan dan mengagungkan persamaan menjadi suatu kebenaran. Itu semacam cara penghakiman awal.

Saya sedang tergelitik dengan sebuah wacana rasisme. Jengjeng! Sebenarnya tentu ini bukanlah suatu wacana yang aneh lagi untuk diungkit-ungkit karena inilah realita kita di mana kita tinggal. Namun ternyata rasisme ini tinggal tepat di depan mata kita dan saya akhir-akhir ini baru menyadarinya kalau ini bahaya laten. 

Saya tinggal di sebuah keluarga campur, ayah ibu saya berasal dari suku yang berbeda, background yang berbeda dan profesi mereka berbeda juga. Saya bersekolah di sekolah pluralis. Sehingga bisa dibayangkan saya dimanjakan dengan pluralisme. ( Dan ayah ibu saya adalah dua manusia bebas yang membebaskan anaknya berpendapat dan bergaul dengan siapa saja).

Lalu akhir-akhir ini saya melihat suatu belahan dunia lain yang ternyata memiliki pandangan yang  akan apa yang saya lihat dan pengalaman yang saya alami. Mengenal seorang individu yang ternyata cukup kuat akan pemikirannya yang ternyata berbeda dengan pandangan saya. Ih saya kaget setengah mati. Sumpah. Rasanya seperti kepala saya ditempeleng keras-keras.

Saya agak terkaget-kaget dengan pemikiran dia yang 'berbeda' dan saya merasa ada yang aneh. Rasanya sampai saya mau tertawa keras-keras sampai kejungkel dari kursi saya. Sambil berteriak kencang "Men...hidup di dunia mana sih lo men?" 

Tapi ternyata stereotype akan racial itu ada di mana-mana. Label-label yang society berikan untuk beberapa orang dari suku dan bangsa yang berbeda itu masih ada di sini. Dan sebenarnya itu tidak akan pernah musnah. Rasisme itu nyata ada dan tinggal di hidup kita. Hingga bagaimana kita saling menyikapinya saja apakah kita berada di garis keras atau tidak.

Lalu saya berpikir, jika begitu bagaimana menyikapinya? Mungkin dengan pemakluman. Misalnya begini bayangkan jikalau kita memiliki mata minus 4 namun memakai kaca mata minus 1. Tentu tidak cocok, tentu tidak terlihat apa-apa, ya kan? Apa yang kita lihat tidak akan menjadi sama dengan apa yang matanya sehat lihat. Karena ada beberapa hal yang luput dari penglihatan. Sehingga jikalau saling berdebat tentu tidak akan menemukan jalan yang pas. Hingga dibutuhkan pemakluman. Bahwa perbedaan itu ada, ya saya menghargai perbedaan pandangan itu. Selesai. Mungkin tidak harus berdebat panjang. Mungkin hanya harus saling mengalami. Bahwa masing-masih kita memiliki pengalaman yang berbeda sehingga melahirkan suatu pandangan. 


Ah, tapi saya cuman sok tahu aja sih. Sebenarnya tidak tahu.
Lama-lama otak saya butuh reparasi.
Di mana sih?



14.8.14

Sebuah tulisan di awal umur 20 tahun(an)

Ada suatu desakan dari kepala saya untuk menuliskan sebuah uneg-uneg di kepala saya. Dan saya yakin desakan tersebut adalah sebuah energi baik untuk menulis. Yeah! Selamat datang kembali, untuk saya setelah beberapa waktu ini bertapa dengan pemikiran sendiri. Sudah waktunya, sudah tiba waktunya kegelisahan saya ini dibagikan. 

Akhir-akhir ini saya gelisah. Saya berpikir (lagi) tentang hidup, tetang passion, tentang arti diri sendiri, tentang jati diri. Apakah saya ini terlalu melankolis? Saya rasa tidak. Kebetulan banyak hal yang membuat saya tergelitik akhir-akhir ini. 

Passion

Ada sebuah tanda tanya besar di depan mata saya dan saya yakin ini pertanyaan besar di usia awal umur 20 tahun(an). Dalam pencarian jalan masing-masing individu, pernah tidak sedikit pun dari kalian berpikir, selama ini sudahkah saya berjalan di jalan yang benar? Sudahkah saya mengetahui apa yang saya mau? Sudahkah saya memakai seluruh talenta yang sudah Tuhan berikan pada saya? Sudahkan saya menjadi berkat untuk sekitar saya? JEDAR!

Lalu saya melihat sekitar saya, pada akhirnya berhenti dan akhirnya menerima apa yang hidup berikan pada kita. Sebenarnya saya belum sampai pada pemahaman menerima. Bagaimana mungkin kita disuruh mengejar passion kita, namun di lain pihak kita harus menerima apa yang kita punya sekarang? Ketika kita mengejar passion artinya sesuatu itu harus kita raih, kita berjuang gigih untuk mencapainya, sedangkan menerima maksudnya ya...menerima keadaan ini. Saya tidak melihat sinkronisasi pada dua hal tersebut. 

Di tengah pembicaraan ngalor ngidul dengan seorang teman lalu tersesat bersama di pemikiran awal dua puluh(an) ini, kami berdua pada akhirnya mengambil sebuah pemikiran bahwa untuk saat ini mengejar passion dan menjadi egois karenanya kita belum bisa. Lalu terlontar sebuah statement: "Met, lo mau idup, Met? Menurut gue screw your passion! Passion gak bisa kasih makan elo!" Lalu saya mengangguk-ngangguk dan tertawa terbahak-bahak. Namun tetap ada sebuah celah barang secuil di hati yang menyangkal hal tersebut, di hati kita berdua tetap pada akhirnya berbisik begini, mengutip quote Oprah Winfrey " You should do what you must do, until that you can do what you wanna do." 

Mungkin beginilah jalannya bahwa saya dan kamu (yang juga di awal umur 20(an)) harus berdarah-darah dulu baru dengan sesuatu yang mungkin jauuuh dari passion kita, namun pada akhirnya kita akan memenuhi panggilan hidup kita masing-masing untuk mewujudkan passion kita itu. Entah pada akhirnya kita akan sampai ke sana atau tidak, kita tidak pernah tahu kan? Istilahnya kita melakukan de tour dulu, berjalan memutar untuk pada akhirnya sampai ke jalan sebenarnya. Mungkin begitu.

Selain itu menurut Soe Hok Gie (saya juga nge-fans sekali dengan Soe Hok Gie, seorang penulis dan aktivis cerdas kritis), dia berkata begini: " Hidup adalah soal keberanian menghadapi yang tanda tanya tanpa kita mengerti tanpa kita bisa menawar, terimalah dan hadapilah."  Memang ada harga yang harus dibayar untuk kita bisa menuju sesuatu yang berharga dan sesuatu yang berharga itu tidak ada short cutnya, tidak ada jalan mudahnya. 

Cinta

Saya akhir-akhir ini bukan simpatisan cinta. Kembali lagi bahwa semua kesimpulan seseorang berasal dari pengalaman. Dan saya adalah orang yang mudah membuat kesimpulan. Hati saya sudah bosan dan pengap sekali dengan ini. Saya mau jadi apatis. 

Lalu kemudian beberapa hari ini saya menemukan sebuah artikel menarik tentang ini, dalam artikel tersebut ditulis bahwa ada saatnya orang datang dan pergi dalam hidup kamu dan mereka sebenarnya membawa pesan. Namun dalam proses tersebut kamu jadi tidak mengerti cinta itu apa, lalu kamu tidak percaya cinta. Mungkin proses itu membingungkan. Dan lebih membingungkan jikalau kamu ada di dalamnya.

Saya rasa saya sedang capek saja dengan yang satu ini. Bahwa bukan perkara mudah menitipkan hati pada orang lain. Bukan perkara mudah memulai dari awal berkenalan dan merasa nyaman lagi dengan seseorang. Bukan perkara mudah menemukan seseorang yang satu frekuensi dengan kamu. Auk ah. Bodo amat. 

Bahagia

Dan kamu semakin sadar bahwa semakin dewasa, definisi bahagia semakin pelik.


Tapi di atas semua itu, saya suka bahwa saya semakin dewasa, saya suka menjadi dewasa. Karena dewasa itu sexy. Dan saya tidak sabar melihat keindahan lainnya dan mengamati diam-diam. Lalu menulis. 



Pic: Google
Ini Banda Neira. Saya mau ke sana. Suatu hari.







*P.S. Kali ini saya tidak mau membuat kesimpulan dan menjawab pertanyaan dari isi kepala saya. Selain karena jawabannya masih ambigu dan amburadul namun juga saya belajar bahwa tidak semua pertanyaan bisa dijawab dengan jawaban, namun melahirkan pertanyaan baru juga adalah jawaban. 






new post

Angin Perubahan

  Aneh juga ya ketika merasakan ada sebuah angin perubahan yang sedang berhembus menelusup di kehidupan kita saat ini. Rasanya seperti diban...