|
tumblr |
Satu hal yang saya pelajari akhir-akhir ini adalah ketika kita menjauh dari Tuhan, kita pun semakin sulit untuk mempunyai relasi baik dengan sekitar kita.
Sampai suatu malam yang sumpek, saya berpikir dan menulis di buku jurnal saya: Kenapa yah rasanya akhir-akhir ini susah sekali untuk bersyukur? Saya merasa bahwa apa yang saya punya ini tidak cukup. Apa yang saya kerjakan tidak seperti yang saya harapkan. Saya merasa tidak cukup pintar dan cerdas untuk bisa dilepas di dunia kerja dan itu membuat saya gerogi saat mulai mengingat-ingatnya.
Saya tetap rajin ke kapel di sekolah saya untuk misa mingguan setiap hari Sabtu jam 8 malam, saya tetap rutin berdoa, namun entah mengapa ada yang hilang. Ada esensi yang hilang saat saya ke gereja dan saat saya berdoa, saya tidak merasa 'haus' atau 'rindu', yang saya rasakan adalah itu merupakan sebuah rutinitas. Entah mengapa kehidupan rohani saya menjadi sebuah rutinitas bukan sebuah kebutuhan jiwa saya. Layaknya kalau saya tidak mandi maka saya akan cepat-cepat mandi, atau layaknya kalau saya belum makan maka saya akan cepat-cepat makan.
Saya merasa perasaan seperti ini sungguh 'membunuh' saya perlahan. Saya jadi jumpalitan, saya merasa rungsing sekali dengan ini itu. Dan menurut saya ketika saya menjauh saya pun jadi sulit untuk dekat lagi, seolah rasanya jauuuuuuuuh sekali. Sama saja seperti sudah lama tidak bertemu dengan teman, ketika bertemu lagi maka saya akan canggung untuk berbicara, canggung untuk menyapa, lalu akhirnya berakhir dengan senyum-senyum bingung saja. Saya selalu merasa pdkt saya dengan Tuhan tersendat-sendat karena saya yang malaaaaaasssssss untuk sekedar menyapa: Hallo, Tuhan, apa kabar?
Dosa berulang itu dosa yang tidak kreatif
Hari ini di kapel ada pengakuan dosa sebelum Paskah. Saya merasa saya butuh sekali mengaku dosa karena rasanya dosa-dosa saya sudah berbau anyir menusuk. Saya mengaku bahwa saya adalah anak Tuhan yang durhaka karena meminta ampun terus-terusan tapi dosa saya dari tahun ke tahun berulang-ulang terus, gak kreatif.
Saya itu layaknya medusa dengan rambut tebal saya yang penuh ular berbisa hingga akhirnya otak saya isinya racun semua. Saya selalu lupa untuk bersyukur bahwa saya masih bisa hidup sampai hari ini tanpa kekurangan apa pun, bahwa Tuhan tetap memelihara saya sampai sekarang walaupun saya suka ngeyel dan pura-pura lupa kalau mau doa lalu akhirnya ketiduran bagaikan babi. Saya lupa bersyukur bahwa orang-orang di sekitar saya yang selalu setia dan mendukung saya. Pokoknya intinya, lupa bersyukur itu adalah sebuah kesalahan fatal dalam hidup yang akan membuat sudut pandang kita tentang dunia dan hidup jadi- gelap-gelap-gimana-gitu lalu berpangkal pada kegelisahan berlanjut galau. Kalau sudah begitu, panjang buntutnya.
Kenapa yah saya itu berdosa tapi berulang, berdosa tapi tidak kreatif? Kenapa sih punya hobi kok remedial? Kayak pas SMA dulu, hobi saya ulangan remedial matematika. Matematika saya pasti merah di rapot dan masalah saya itu-itu melulu. Kenapa yah saya itu selalu mengulang kesalahan yang sama? Apakah manusia itu adalah makhluk dungu yang kalau belajar harus diulang-ulang dulu baru dia mengerti? Kalau saya jadi tuhan, sudah capek hati saya melihat kelakuan manusia seperti saya ini, super bolot, diajarin susah.
Lalu saya pun tersadar, apabila saya remedial terus-terusan dengan dosa yang sama, itu tandanya saya belum bisa menguasai materi, ya kan? Saya masih belum bisa mengerti hingga maaf-maaf saja, pembelajaran pun diulang-ulang. Mungkin begitu juga dengan situasi ini, otak dan hati saya belum lebar-lebar amat untuk bisa terus menerus bersyukur atas apa yang saya punya sekarang. Bahwa terkadang halaman rumah tetangga saya rumputnya hijau-hijau subur semua, tapi saya mustinya bisa tetap bersyukur karena meskipun rumput di halaman rumah saya tidak tumbuh hijau subur cantik, tapi saya pelihara kambing yang unyu bukan main di halaman rumah saya. Ya kan?
Hati kita lebih dari ini
Pastor tadi berkata bahwa berdoa itu adalah nafas dalam hidup kita. Tidak perlu kata-kata panjang dengan doa hafalan. Cukup ungkapan dalam hati dan yakin bahwa Tuhan itu hadir di setiap langkah kita dan hari-hati kita.
Tuhan itu ada di mana-mana, maka di mana-mana itu ada ciptaan-Nya, sehingga seharusnya kita bisa lebih dekat dengan Dia. Ada Tuhan di setiap helai daun, ada Tuhan di setiap senyum, ada Tuhan di setiap semut yang berbaris rapi, ada Tuhan di udara, dan ada Tuhan di setiap hati.
Saya itu mempercayai konsep bahwa hati manusia tidak akan pernah bisa 100% penuh terisi. Hati manusia itu tidak akan pernah bisa kepenuhan, maka itu dia tidak akan pernah bisa puas. Dan jikalau Tuhan itu bisa dilihat, diraba dan ada wujudnya seperti makhluk hidup nyata di dunia, itu tandanya memanjakan indera manusia. Apabila indera manusia dimanjakan maka dia akan segera terpuaskan dengan apa yang sudah mereka ketahui dan mengerti. Sedangkan Tuhan itu Maha dan wujud Beliau pun diluar jangkauan indera dan nalar akal sehat manusia. Karena itulah kita manusia berusaha mengerti Tuhan yang ternyata tidak sanggup manusia mengerti dan akhirnya manusia terus-terusan mencari Tuhan yang manusia kira 'tidak ada di mana-mana itu.'
Saya dengan otak secuil ini pun mulai mengira-ngira sendiri, mungkin Tuhan itu sengaja membuat hati kita ada ruang kosong yang tidak akan pernah terisi. Ruang itu adalah bilik hati yang penuh misteri dan kadang rasa kosong itu berasal dari situ. Maka itu manusia akan terus mencari-cari potongan hati mereka yang hilang entah di mana, dengan harapan ruang kosong itu hangat dan penuh terisi. Padahal sebenarnya tempat bilik kosong itu adalah tempat Tuhan sendiri untuk berdiam dalam hati kita, karena tubuh kita adalah Bait Allah. Mungkin benar kata orang-orang zaman dulu, apabila ingin mencari Tuhan, carilah di kedalaman jiwa, di dalam hati kita.