Menurut thefreedictionary.com, lip service itu termasuk noun (kata benda) dengan arti: verbal expression of agreement or allegiance, unsupported by real conviction or action, atau kalau ditranslate bebas ke Bahasa Indonesia menjadi: keramahan di mulut saja alias NATO; No Action Talk Only.
Awalnya, saya diperkenalkan dengan istilah lip service ini oleh bapak saya ketika memberikan wejangan bahwa menurutnya saya ini masih terlalu naif dan dungu dengan keadaan dunia luar yang katanya kejam. Bisa dibilang saya itu orang yang mudah percaya dengan bibir orang lain tanpa menyaring, apakah orang ini bisa dipercaya atau tidak. Padahal jika saya cukup pintar harusnya omongan orang itu dikaji terlebih dahulu baru diterima. Nyatanya saya ini kok ya... bebal otak ber-IQ jongkok sehingga apa yang saya lihat dan dengar, ya saya terima apa adanya tanpa pertahanan.
Baca Hati
Beberapa waktu lalu saya membuat janji dengan teman lama untuk bertemu dan melepas kangen, setelah satu tahun tidak bersua. Waktu sudah ditentukan dan cocok, tempat sudah dipesan. Harusnya beres dong, tidak ada halangan, tinggal bertemu, duduk santai dan ngegosip. Simple dan mudah. Namun sayang, saya ini tidak terlalu memperhatikan apakah teman lama saya ini mempunyai hati yang tulus dan niat yang sama dengan saya untuk saling temu kangen. Kenyataannya didalam hatinya, keinginan kami untuk bertemu itu timpang sebelah.
Di hari H kita bertemu, tiba-tiba saja dia pergi ada janji lain dan mengundur jam pertemuan jadi agak malam, lalu ternyata dia pun memberikan alasan lain bahwa pagi harinya dia sudah ada janji dengan orang lain. Intinya pertemuan kami gagal dan saya jadi sadar mungkin sebenarnya dari jauh hari kita sudah tidak 'klik' lagi.
Kenapa juga yah saya sebagai teman lama kurang peka dengan perubahan dan gerak gerik teman lama ini? Toh satu tahun kami nyaris bisa dihitung jari saat-saat kami chatting dan ngobrol. Pada akhirnya saya baru tersadar bahwa terkadang ada beberapa hal yang orang lain tidak bisa ungkapkan dengan verbal. Ternyata tak peduli seberapa pun kita mengenal orang tersebut, kita tidak akan pernah tahu apa yang sebenarnya dia pikirkan dan rasakan.
Seperti sebuah pepatah: Dalamnya lautan bisa diukur, tapi dalamnya hati manusia siapa yang tahu. Ternyata banyak orang, termasuk saya, melakukan sikap ini, perbuatan dan kata hati yang beda jauh. Bisa jadi wajah tersenyum namun hati menaruh yang tidak-tidak.
Mari menolak
Manusia mana sih yang sanggup menerima penolakan dengan lapang dada dan langsung ikhlas? Pasti saja kita harus dihadapkan dengan perasaan sedih, tidak siap dan mungkin kalau lebay gaungnya bisa berhari-hari. Maka itu, ada beberapa orang yang tidak tega untuk menolak orang lain dan akhirnya lip service alias manis dimulut pun dilancarkan.
Kenapa juga yah kita harus tidak enakkan menolak sesuatu yang tidak kita suka atau tidak sanggup untuk kita lakukan? Untuk apa membebani hati yang sudah enggan? Hingga akhirnya kita terpaksa tidak jujur pada diri sendiri, mending kalau kita melakukannya, lha kalau malah hanya lip service, bermanis-manis di mulut namun ngomong ora tekan ati, tidak tulus. Apa berkatnya, apa untungnya?
Apa susahnya menolak sesuatu yang tidak kita sukai dan tidak sanggup untuk dikerjakan? Toh kita punya mulut untuk berbicara tentang hati dan pikiran kita, mengapa tidak digunakan sesuai fungsinya? Apabila takut dicap orang lain sebagai orang yang tidak sopan dan frontal, toh pada akhirnya orang lain akan melabeli diri kita ini dengan penilaian mereka sendiri. Hari gini masih dengerin kata orang, apa gak capek tuh?
Padahal mungkin orang yang menjadi target penolakan kita itu tidak keberatan apabila kita beri tahu dari awal akan pemikiran dan alasan kita sendiri. Sehingga dua belah pihak sama-sama enak, komunikasi lancar tanpa ada modus ini itu.
Apabila kita terus menerus melakukan praktik lip service ini, tidak ada bedanya dong kita dengan koruptor penebar janji manis palsu. Mungkin kalau sinetron Hidayah masih ada, niscaya pasti kalau mati mayatnya nanti digerogoti belatung, bibirnya dower lalu arwahnya dimasukan ke neraka yang penuh kretak gigi. Amit-amit yee bo!
Maka itu pada malam harinya saya jadi mikir, jangan-jangan sebenarnya saya ini juga sering melakukan praktik lip service itu, berkoar sana sini sampai mulut berbusa, meracau tak jelas persis wong edan. Masalah klasik yah?